Entah sudah berapa lama, Arumi berada di dalam ruangan gelap. Kedua kaki yang tertekuk, perut yang lapar, membuat Arumi berkeringat dingin. Tubuh Arumi juga terasa lemas. Hanya bisa pasrah, jika sang dewa kematian menjemputnya. Di saat keputusasaan melanda, terdengar pintu berderit dibuka oleh seseorang.
Kriet.
"Nona, Tuan menyuruh Anda untuk keluar. Ratih akan membersihkan tubuh Anda," ucap Zu seraya menarik tangan Arumi. Gadis yang kini lemah, hanya bisa mengikuti jejak kaki dari pria itu.
Saat sampai di kamar, Ratih telah menunggu kedatangan Arumi. Tanpa banyak membuang waktu, Ratih menarik tubuh Arumi untuk segera dibersihkan. Arumi menurut. Kini ia sadar, ada yang tidak beres di rumah ini. Para istri dari Ben, bahkan tak ada yang berbicara apapun ketika mereka berkumpul di ruang makan.
"Lain kali Nona lebih baik menurut. Di rumah ini tidak ada yang bisa melawan Tuan. Saya harap, Anda bisa belajar patuh. Ketika kita patuh, kita akan selamat." Kata-kata yang diungkapkan oleh Ratih membuat Arumi berfikir.
"Sepertinya, tidak akan ada yang bisa menolongku. Aku hanya bisa menyelamatkan diriku, dengan mematuhi segala ucapannya." Arumi membatin.
"Aku rindu keluargaku," cicit Arumi.
"Patuhlah. Maka izin itu akan Anda dapatkan," sahut Ratih.
Mendengar hal itu, Arumi menoleh seketika. "Apa itu benar?" tanya Arumi.
Ratih tersenyum seraya tangannya tak berhenti menggosok punggung Arumi yang tengah berendam di dalam bathup. "Tuan tidak seburuk apa yang Anda pikirkan," jawab Ratih.
Arumi bergeming. "Benarkah? Kenapa dia mengunciku di gudang?"
"Karena Anda membantah. Lebih baik Anda patuh. Sekalipun Anda menjadi istri tuan, kurasa Anda juga akan mendapatkan kesempatan untuk mencicipi kemewahan ini, Nona," ujar Ratih.
"Lalu aku harus merelakan harga diriku?" Arumi mendesah. Ratih tak menjawab kata-katanya.
"Sudah selesai. Mari saya bantu, untuk bersiap dan segera turun untuk makan malam." Ratih mengalihkan topik pembicaraan.
Arumi mengangguk. Memilih tak protes lagi, mengingat tubuhnya juga tak bertenaga. Arumi mengedarkan pandangan ketika Ratih membawanya ke sebuah ruangan walk in closet. Mulut Arumi bahkan menganga dengan banyak gaun, tas dan sepatu.
Tak hanya itu, Ratih membuka sebuah laci yang isinya tak kalah mengejutkan. Perhiasan dengan model yang cantik dan indah, membuat Arumi menutup mulutnya. Terlihat Ratih mengambil sepasang anting berbentuk bunga.
"Jangan kaget, Nona. Ini tuan berikan untuk Anda. Semua keperluan Anda sudah dipersiapkan," ucap Ratih dengan memasangkan sepasang anting di telinga Arumi.
"Ta-tapi, ini pasti mahal," gagap Arumi.
Ratih tersenyum. "Saya sudah bilang. Nona beruntung. Bisa memakai berlian tanpa bersusah payah mengumpulkan uang," timpal Ratih.
"Ya Allah. Jika aku menjual sepasang anting ini saja, aku bisa memperbaiki gubuk ibu yang reot. Tapi apa aku boleh menjual ini?" Lagi-lagi Arumi membatin.
"Semua fasilitas yang ada di ruangan ini, adalah milik Anda. Kenapa Anda masih ragu?" tanya Ratih.
"A-aku bingung. Aku datang dari desa, dan tiba-tiba majikanku menjualku ke tuanmu." Arumi mendesah. Memikirkan nasibnya yang sedang dipermainkan.
"Berapa gajimu?" Ratih bertanya kembali.
"Gaji? Tiga juta. Bagi orang kampung sepertiku, gaji tiga juta sudah besar," tukas Arumi. "Kau berapa?" Arumi memberanikan diri.
"Aku? Delapan juta," timpal Ratih seraya mengukir senyuman. Arumi tersentak mendengar gaji dari Ratih. "Asal kau bisa menutup mata dan telinga. Jangan sampai membocorkan apapun yang terjadi di rumah ini. Tapi, setiap hari raya lebaran kami semua mendapatkan banyak hadiah dari tuan."
Arumi tertarik. "Hadiah? Apa tuanmu sebaik itu?"
"Ha-ha-ha. Nona, Anda hanya melihat tuan dari sisi lain. Setahuku yang bekerja disini selama 5 tahun, mendapat sepeda motor atau perhiasan," ujar Ratih.
"Sepeda motor? Perhiasan? Tuanmu sebaik itu?" Ketakutan Arumi sedikit berkurang.
"Nah sudah. Ayo, kita turun. Saya harap Anda patuh. Jangan sampai saya terkena dampaknya, Nona. Saya masih ingin bekerja disini. Daripada Anda bertanya pada saya terus menerus, cobalah untuk menerima keadaan." Ratih langsung menarik tangan Arumi keluar dari ruangan walk in closet tersebut. Tanpa sadar, Arumi telah selesai bersiap.
Dalam perjalanan ke ruang makan, Arumi termenung. Memikirkan kata-kata Ratih. Jika memang begitu, Arumi sedikit tenang. Kalau memang ia akan dinikahi oleh pria otoriter tersebut, Arumi akan mengambil sedikit perhiasannya untuk orang rumah. Toh juga perhiasan yang ia miliki juga banyak.
"Nona, duduklah," kata Ratih menyentak Arumi.
Ternyata mereka telah sampai di ruang makan. Kedua istri Benedict tersenyum sinis. Pastinya mengejek, karena Arumi yang telah menjalani hukuman. Hanya satu istri Ben yang tersenyum. Tempat duduk di ujung, itu berarti dia bernama Ruri. Arumi segera duduk dengan patuh. Tak ingin kehilangan kesempatan untuk mengisi perut.
"Sudah lebih baik?" tanya Ben.
Arumi mengangkat wajah. Terlihat Ben menatapnya lekat. "Sudah."
Sudut bibir Ben terangkat. Menyadari jika Arumi sudah mulai patuh. Pria itu lalu memulai aktivitasnya. Membuat ketiga istri Ben, melakukan hal yang sama. Arumi mengamati interaksi di meja makan. Ternyata ketiga istri Ben begitu patuh terhadap pria itu. Membuat Arumi semakin yakin jika ketiga wanita itu juga mengalami nasib yang sama dengannya.
"Satu minggu lagi pernikahan kita," kata Ben mengurai keheningan.
"Uhuk." Arumi yang tersentak, segera menyambar gelas berisi air minum. Setelahnya ditatapnya Ben dengan wajah yang kebingungan.
"Orangtuamu akan datang kemari. Jadi, siapkan dirimu. Rawatlah tubuhmu dengan baik, jangan sampai mempermalukanku. Kenapa menatapku begitu?" Suara dingin Ben membuat Arumi menggigil.
"Em, tidak. Tapi, apa kau tahu tentang keluargaku. Aku rasa, Anda tak pernah bertanya apapun sebelum ini," timpal Arumi.
Senyuman sinis terlihat dari ketiga istri Ben. Membuat Arumi semakin kebingungan. Seolah ketiga wanita itu menertawakannya. Begitu pula dengan Ben. Pria itu justru tergelak nyaring. Arumi semakin kebingungan.
"Zu sudah menyiapkan semuanya. Dua hari lagi, keluargamu akan datang." Ben akhirnya memberikan jawaban yang memuaskan.
"Sungguh?" Suara Arumi melengking. Kedua mata belo itu berbinar.
"Aku tidak pernah bicara omong kosong!" tukas Ben.
Arumi tersenyum. Dia akan bertemu keluarganya? Bukankah itu adalah kabar yang cukup membahagiakan? Tapi, menikah secepat itu? Senyum Arumi lenyap kembali. Seolah ia sedang menggadaikan masa depannya.
"Berbagi suami? Aku tidak yakin bisa melaluinya dengan baik. Tapi, aku bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja. Ya Allah, pikiranku terlalu picik. Apa yang harus ku lakukan?" tanya Arumi dalam hati.
Setelah makan malam, Arumi kembali dituntun Ratih menuju kamar. Seperti malam sebelumnya, Arumi kembali mengenakan lingerie. Akan tetapi kali ini berwarna merah menyala dengan renda yang indah.
Arumi meneguk salivanya sendiri. Menatap lekuk tubuhnya yang terpampang nyata. Gadis itu segera merangkak ke atas ranjang. Menunggu dengan gelisah, seraya menggigit jemarinya.
Tak lama kemudian, Ben masuk ke dalam kamar. Senyum tersungging di bibirnya saat melihat Arumi yang sudah berada di atas ranjang peraduannya. Sesaat Ben menatap tubuh indah yang sedang menantinya di atas ranjang. Tiba-tiba di bawah sana milik Ben, bergerak. Hingga terasa menonjol untuk Ben. Senyum Ben lenyap. Kemudian berlari menuju kamar mandi dan membuka resleting celana miliknya.
"On?" kata Ben tak percaya.