"Benar, aku on?" Tangan Ben mulai mengarah perlahan di celana yang kini terlihat mengeras dari dalam. "Gadis itu?"
Ben berpikir sebentar. Lalu pria itu keluar dari kamar mandi. Menatap sosok yang terbaring di ranjang peraduan miliknya dengan gelisah. Ben kemudian merangkak di atas ranjang. Kedua mata lekat menatap sosok Arumi yang juga tengah menatapnya.
"Tu-Tuan?" panggil lirih Arumi.
Tanpa menanggapi panggilan Arumi, segera Ben melancarkan aksinya. Mencium bibir Arumi dengan lembut, namun, juga berujung menjadi ganas. Arumi terus saja memberontak. Akan tetapi kekuatan Ben terlalu besar. Gadis itu hanya bisa menangis di bawah kungkungan Ben.
Malam kian beranjak. Akan tetapi Ben masih belum selesai menggarap Arumi. Tangisan Arumi samar-samar masih terdengar. Hingga akhirnya Ben terjatuh di samping Arumi. Pria itu menyunggingkan senyumnya. Sungguh, seumur hidup Ben ini adalah nikmat dari surga yang baru saja ia reguk. Meski harus memaksa Arumi untuk melayaninya, Ben tak pernah menyesal.
"Arumi, aku berjanji akan menjadikanmu milikku seutuhnya," bisik Ben di telinga Arumi. Lalu mendaratkan satu kecupan di dahi gadis itu.
"Aku sudah kotor. Bagaimana aku bisa menolak menjadi istri ke empatnya? Ini tidak mungkin dibiarkan. Bagaimana jika aku hamil? Aku tidak memiliki uang sama sekali. Bagaimana dengan ibu? Pasti ibu sangat kecewa sekali padaku." Arumi hanya membatin sembari tersedu.
---
Arumi menatap kepergian ibu, paman dan kedua adiknya dengan tatapan nanar. Setelah pernikahan digelar, mereka langsung pulang. Karena mendapati keadaan yang canggung dan kaku. Arumi mendesah. Mungkin saja keluarganya tak betah lantaran jurang kasta di antara dua keluarga.
"Nak Arumi," panggil Calysta. Wanita paruh baya itu adalah ibu kandung dari Ben yang Arumi tahu sewaktu pernikahan telah dilangsungkan.
"I-iya, Bu," jawab Arumi dengan kaku.
"Kok kaku begitu? Panggil mama ya? Biar sama seperti Ben memanggil. Mama titip Ben ya? Mama tahu ini pasti berat buatmu. Tapi, sekarang Ben adalah suamimu. Ini kartu nama mama. Kalau ada apa-apa, kamu kabari mama. Bisa?" tanya Calysta.
Dengan kedua tangan yang gemetar, Arumi menerima sebuah kartu nama milik Calysta. Arumi menatap tak percaya pada wanita paruh baya di depannya itu. Arumi ingin berburuk sangka. Akan tetapi, Calysta justru mengulum senyuman. Membuat Arumi tersenyum getir.
"Iya, Ma," sahut Arumi.
"Ya sudah, mama pulang ya," pamit Calysta.
Wanita paruh baya itu melirik ketiga istri Ben yang lain. Lirikan tajam serta penuh kebencian. Hingga akhirnya Calysta berlalu dari tempat itu. Kini justru tatapan kebencian yang diterima oleh Arumi dari ketiga istri Ben. Membuat Arumi mau tak mau menundukkan kepala.
"Siapa yang menyuruh istriku, untuk menundukkan kepalanya?" suara bariton dari Ben menyentak keempat wanita yang ada di sana. "Kenapa diam?"
"Ti-tidak ada, Tuan," jawab Arumi dengan sedikit tergagap.
"Ayo, kita ke kamar. Zu panggil Ratih." Ben memberikan perintah kepada Zu yang ada di sana.
"Baik, Tuan." Zu berlalu.
Sedangkan Ben segera menarik tangan Arumi agar mengikuti jejak langkah kakinya menuju ke kamar. Jantung Arumi semakin bertalu-talu. Gadis itu yakin jika Ben akan meminta haknya. Arumi semakin gugup tatkala Ratih memandikannya dan membantunya bersiap. Semakin membuat Arumi yakin jika Ben akan mengajaknya olahraga. Setelah kepergian Ratih, Ben segera menarik tangan Arumi untuk segera naik ke peraduannya.
"Arumi, kau sekarang sudah menjadi istriku. Ingat, aku sudah memiliki hak yang kuat untuk memintamu melayaniku." Seringai Ben terbit di bibirnya.
Pria itu mendaratkan bibirnya di bibir ranum milik Arumi. Mendapatkan serangan secara tiba-tiba, Arumi kelabakan. Ciuman yang awalnya lembut, kini semakin lama semakin menuntut lebih. Tangan Ben mulai nakal, menyingkap kain tipis berenda yang membalut tubuh Arumi.
"Jangan menolakku, Sayang," bisik Ben di telinga Arumi.
Ben memainkan dua gundukan yang kini menjadi bagian favoritnya. Awalnya Arumi mencoba memberontak. Akan tetapi nihil, karena Arumi mulai menikmati permainan hebat sang suami. Padahal sebelum ini, Ben tak pernah bermain di ranjang karena miliknya yang tidak bisa ON.
Adegan penyatuan tubuh itu akhirnya terjadi. Pada akhirnya Arumi terbuai akan sentuhan demi sentuhan tangan Ben. Meski begitu, Arumi merutuki kebodohannya. Bagaimana tidak? Arumi dan Ben baru saja saling mengenal 8 hari yang lalu. Dan kini mereka telah menikah. Bukankah itu ajaib?
Arumi juga menyadari kebodohannya yang tak mampu berbuat apapun untuk mempertahankan kehormatannya. Di mana kehormatan yang direnggut paksa oleh pria asing. Bahkan Arumi begitu jijik mendengar suara-suara yang menggema di sudut-sudut kamar.
Setelah puas bermain, Ben mendaratkan kembali kecupan di kening Arumi dengan lembut. Seperti kemarin, sebagai tanda ucapan terima kasih. Ben pun menggulingkan tubuhnya di samping tubuh Arumi. Mengatur deru napas yang tersengal. Saat hendak memejamkan kedua mata, Ben mendengar suara dentingan dari ponselnya. Pria itu beringsut menyambar ponsel yang ia letakkan di atas nakas.
"Brengsek! Apa mereka tidak tahu jika aku ini sedang menjalani malam pertama?" sungut Ben dengan kesal.
Pria itu menekan tombol hijau untuk menjawab. Belum sempat Ben mengeluarkan sepatah kata, seseorang di ujung telepon memberikan satu berita besar untuknya.
"Apa?" Ben tersentak. "Siapkan mobil, aku akan segera ke sana!" Pria itu menutup sambungan telepon. Kemudian segera memungut pakaiannya yang berserak di lantai marmer. "Aku ada urusan. Istirahatlah," pamit Ben lalu mendaratkan kecupan lembut di kedua pipi Arumi.
Saat Ben telah berada di teras, terlihat Zu telah bersiap dengan mobilnya. Bahkan di dalam mobil juga ada Kaisar dan juga Jo. Ben segera masuk ke dalam mobil dan Zu dengan cepat menginjak pedal gas. Di dalam mobil, nampak Kaisar tengah berfokus pada laptop. Pria itu tengah mengamati sesuatu.
"Mengapa kita kecolongan?" tanya Ben.
"Ada pengkhianat," jawab Kaisar.
"Siapa?" Ben mengepalkan kedua tangannya saat menyadari ada yang masih tidak berterima kasih kepadanya.
"Saya sudah mengantongi gambaran pengkhianat itu, tetapi saya harus mencari bukti. Tidak akan bisa membuat kita bergerak leluasa, jika tak memiliki bukti apapun," sela Jo.
"Apa yang dia ambil dariku?" tanya Ben.
"Data rahasia perusahaan. Saya sedang berebut dengan pelaku pengkhianatan itu. Jo, lacak emailnya yang masih aktif!" Kaisar memberikan perintah kepada Jo.
"Baik!" Jo mulai melakukan hal yang sama seperti Kaisar.
"Aku akan memenggal kepala kalian, jika sampai data perusahaan itu raib dariku!" ancam Ben. Imbuh Ben, " Kenapa aku bisa lengah?"
"Musuh kita mengetahui kabar tentang pernikahan Anda. Karena kami bertiga juga sudah bisa dipastikan akan sibuk dengan pernikahan keempat Anda. Musuh seperti mengetahui keadaan dengan memungkinkan kita lengah. Untuk itu saya bisa menyimpulkan, jika di sekitar kita ada pengkhianat," papar Kaisar.
"Brengsek! Akan aku ambil nyawanya secara perlahan. Aku bersumpah akan membuatnya mati segan, hidup tak mau!" Ben mengegeram perlahan.