Brak brak brak..
Seorang gadis cantik berulang kali meminta tolong dari bibirnya yang bergerak tapi tak bersuara. Di dalam sebuah mobil di kegelapan malam, gadis itu meronta. Seolah ingin bertahan hidup, tetapi 4 pria itu tak ada yang ingin membantu. Bahkan salah satu dari mereka ada yang tersenyum sinis.
"Salam dari neraka!" seorang pria berkuasa melemparkan sebuah korek api.
Tentu saja api segera menyambar begitu saja. Api bahkan kian membesar. Tak hanya itu, 4 pria itu meninggalkan sang gadis begitu saja. Terlihat gadis cantik itu terus panik.
"Zu, ayo kita pulang," ajak Ben.
Ketiga pria yang lain segera mengikuti jejak langkah Ben. Mengikuti dalam diam. Mereka terus menyusuri jalan setapak hutan. Meski gelap gulita, para pria itu seolah tak terusik dengan suara-suara binatang malam.
"Pengkhianat itu bagaimana?" tanya Ben.
"Sudah dieksekusi. Organnya bisa kita jual. Memang, wanita adalah racun dunia, Tuan. Tapi saya tak menyangka, jika perempuan itu lebih berbisa. Dia menjual tubuhnya hanya untuk melancarkan aksinya," timpal Kaisar.
"Sudah mengantongi nama-nama geng mafia lain?" Kembali Ben bertanya.
"Sudah, Tuan. Saya sudah membobol data perusahaan mereka. Tinggal kehancuran mereka saja." Jo akhirnya membuka suara.
Ben tak lagi menjawab. Pria itu terus saja berjalan. Setelah sampai di atas, mereka segera masuk ke dalam mobil. Zu dengan cepat menginjak pedal gas. Hingga mobil melaju membelah kegelapan.
"Zu, kita ke markas. Aku harus mendisiplinkan bawahan yang tidak berguna!" sungut Ben.
"Baik, Tuan." Zu mengikuti titah dari Ben.
Di belahan bumi yang lain, Arumi segera bangun. Di lihatnya sepertinya Ben tak pulang semalam. Gadis itu menghela napas kasar. Tak ingin membuang banyak waktu, Arumi segera beringsut ke kamar mandi.
Empat puluh menit kemudian, Ratih datang saat Arumi telah selesai bersiap. Arumi yang paham akan kedatangan Ratih, segera melangkahkan kakinya menuju ruang makan untuk sarapan.
"Lihat dia. Seenaknya saja membuat kita menunggu!" sungut Sela. Wanita yang sekiranya berusia 23 tahun itu mencebikkan bibirnya.
"Mentang-mentang disayang sama tuan, makanya dia seenaknya saja. Sudahlah, Sela. Dia tidak akan mengerti. Dasar kampungan!" cela Emira. Wanita itu mulai menyiduk nasi.
Tatapan Arumi kini mengarah pada Ruri yang bungkam. Gadis itu menghela napas. Lalu mendudukkan bokongnya di kursi. Arumi sadar diri. Ia memang kampungan. Tak ingin membalas apa yang telah dilontarkan oleh Sela dan Emira.
"Aduh," pekik Arumi.
Arumi menatap tajam ke arah Sela. Dari posisi tendangan di bawah meja, Arumi bisa memastikan jika yang menendang kakinya adalah Sela.
"Kenapa?" ketus Sela.
Arumi tak menjawab. Memilih bungkam dan mengakhiri perdebatan. Arumi menunggu para istri Ben yang lain mengambil nasi. Lalu ia baru berani mengambil nasi. Arumi sadar, jika tiga wanita itu tak menyukai dirinya. Namun, saat Arumi hendak mengambil ayam bakar justru Sela segera menyambar piring itu. Membuat tangan Arumi mengambang di udara.
"Yuni, ini berikan pada teman-temanmu di dapur," kata Sela sembari menyodorkan piring berupa ayam bakar tersebut kepada pelayannya.
Oh, Arumi sadar. Satu istri Ben memiliki satu pelayan pribadi yang bertugas melayaninya. Maid bernama Yuni itu mengangguk dan segera menyambar piring yang disodorkan oleh Sela. Arumi menyimpan kembali tangannya. Kedua mata Ayumi kembali mengamati meja makan. Bibir Arumi mengukir senyuman tatkala mendapati semangkuk besar udang balado. Tangan Arumi kembali terulur. Lagi, Sela menarik mangkuk besar berisi udang.
"Mutia, berikan ini pada teman-temanmu yang lain. Kalian sudah lama kan, tidak makan seafood. Ayo, ambil. Tidak usah malu-malu." Sela kembali menyodorkan mangkuk besar berisi udang itu kepada Mutia pelayan dari Emira.
Maid muda itu tersenyum. Mengucapkan terima kasih, lalu undur diri. Emira yang menyadari rencana Sela, tersenyum sinis ke arah Arumi. Sedangkan Ruri, seakan tak terusik dengan ulah Sela.
"Terima kasih, Sela. Kau memberikan pelayan kesayanganku makanan yang enak," ucap Emira.
"Kita kan penghuni lama, wajar saja bila kita bisa bersikap sesuka hati," sinis Sela. Seraya melirik sinis Arumi.
Arumi hanya mampu menghela napas. Kemudian, gadis itu mulai menggerakkan tangannya kembali. Memilih menuju pada rendang daging yang terlihat menggiurkan. Kali ini bukan tangan Sela, melainkan tangan dari Emira.
"Yuni, bawa ke belakang. Anggap saja, kami sedang berbaik hati menyambut penghuni baru di rumah ini." Emira menyeringai. Mendapati tangan Arumi memilih menarik sayur tumis kangkung.
Setelah selesai sarapan, Arumi hendak beranjak. Namun, Emira segera mencekal tangannya. Membuat Arumi mau tak mau menoleh ke belakang.
"Mau kemana? Tidak lihat piring kotor?" tanya Emira.
"Maaf, Nyonya. Nona saya harus istirahat," sela Ratih.
Bugh.
"Beraninya pelayan sepertimu membantah! Ingat statusmu! Kau hanya pelayan, yang tidak memiliki posisi penting! Nona, nona ah brengsek! Kami ini lebih senior. Kenapa kau tunduk pada si kampungan ini? Heh kamu! Sekalipun kau istri dari tuan, kau itu berasal dari kampung! Sadar diri dong! Cepat cuci piring itu! Atau aku membuat pelayanmu dipecat!" bentak Sela.
"Tidak, Nona! Jangan pedulikan saya. Tidak ada sangkut pautnya, dengan para Nyonya-Nyonya yang ada disini. Majikan saya hanya Anda. Dan hanya Anda yang berhak memecat saya," ucap Ratih seraya sesekali meringis kesakitan.
Bugh.
"Argh." Ratih memekik saat sebuah tendangan mengenai perutnya. Emira bahkan menarik rambut Ratih sekuat tenaga.
"Hentikan! Tolong, Mbak. Lepaskan Ratih." Arumi memelas. Membuat Sela dan Emira tersenyum.
"Nah, gitu dong. Harusnya kau sadar diri. Jangan seenaknya saja disini! Cepat cuci bersih semua yang ada di meja makan. Yuni, kau awasi mereka. Jangan sampai Ratih membantu si kampungan itu!" kata Sela.
"Baik, Nyonya," sahut Yuni.
Arumi segera menumpuk piring-piring kotor tersebut tanpa banyak bicara. Percuma juga dirinya harus meladeni Sela dan Emira. Sudut mata Arumi melirik Ruri yang juga beranjak meninggalkan ruang makan. Hanya Ruri yang tak banyak bicara dan sayangnya, Ruri juga menutup mata akan keributan yang terjadi di ruang makan. Arumi mendesah. Sepertinya hidup di dalam istana megah ini tidak akan mudah.
"Nona, saya bantu." Ratih menawarkan bantuan. Tapi seseorang mencekal tangannya. Membuat Ratih segera menoleh. "Kenapa?" Nada suara Ratih terdengar meninggi.
"Jangan sampai kau membantunya. Ingat, Nyonyaku tidak akan tinggal diam," ucap Yuni memperingatkan Ratih.
"Tapi, aku harus membantu Nonaku! Ini adalah tugasku." Ratih berusaha melepaskan cekalan tangan Yuni.
"Ratih! Majikanku tidak akan melepaskan majikanmu! Ini juga demi juga majikanmu! Sudahlah. Jangan menambah majikanmu tambah susah," jelas Yuni.
"Sudah, Ratih. Ini hanya sedikit. Benar apa yang dikatakan Yuni. Bisa saja nanti mereka menyusahkanku lagi. Aku ke belakang dulu," lerai Arumi.
Ratih menatap tajam Arumi, hendak protes. Akan tetapi otak waras Ratih masih bekerja. Ia tahu, apa yang dikatakan oleh Arumi dan Yuni ada benarnya. Pada akhirnya Ratih hanya mendesah