Bab 2. Hukuman
Meja kayu yang ditendang oleh Ben menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Wajah merah padam Ben tergambar jelas menunjukkan emosinya yang meluap. Sesekali Ben memijit pelipisnya, tak habis pikir dengan keberanian Sela.
"Beraninya wanita jalang sepertimu menyentuhku! Apa telingamu sudah tuli, hah? Tadi aku mengatakan, agar jangan ada yang menggangguku. Siapapun itu!" Ben berseru hingga membuat keributan.
Tak lama berselang, Zu menyembul dari balik pintu. Ditangannya terdapat cambuk yang diminta Ben. Gegas Zu mendekati Ben dan menyodorkan pesanannya.
Lanjut Ben, "Zu, seret wanita jalang ini. Waktunya memberikan pelajaran untuknya."
"Ampun, Tuanku. Saya hanya ingin melaksanakan tugas saya sebagai istri Anda. Melayani Anda di ranjang. Apakah itu salah?" tanya Sela dengan air mata yang masih membanjiri wajahnya.
"Salah! Sangat salah!" Ben mendekati Sela. Wanita yang ia nikahi satu tahun lalu. Hasil dari penebusan hutang kedua orangtuanya. Kemudian Ben mengangkat tangan.
Plak.
"Tu-tuan … Anda, menampar saya?" tanya Sela sambil meringis.
Rona merah kini terlihat di pipi kanannya. Tempat dimana Ben mendaratkan mahakarya dari tangan kekar miliknya. Terlihat sekali, kedua mata Ben yang memerah.
"Kau masih berani bertanya? Wanita murahan, sepertimu siapa yang mau menampungmu selain aku, hah?" Ben meringis mengingat ketiga istrinya yang di mana semua hanya pajangan semata untuknya.
Tak ada yang mampu memberikannya setitik rasa untuk apa yang disebut cinta. Semuanya sama saja. Bahkan yang lebih miris adalah … ketiga istrinya sama-sama sudah melepas keperawanan mereka. Pergaulan bebas yang seakan mendarah daging dikota metropolitan, Jakarta. Di mana biasanya perawan dilepaskan atas nama cinta. Sungguh miris memang. Terlebih, ia juga memang tak bisa bergairah di atas ranjang.
"Ampun, Tuanku. Maafkan saya, Tuan. Saya mohon," pinta Sela dengan berlutut di kaki Ben.
"Zu … seret wanita jalang ini keluar. Aku akan memberikan hadiah atas keberaniannya naik keranjangku," kata Ben seraya berjalan meninggalkan kamarnya. Zu mengangguk dan segera menyeret dengan kasar tangan Sela.
"Tuan … Tuan, Zu. Ampuni saya. Tolong, Tuan," rengekan Sela berakhir nihil. Tak mampu menggoyahkan hati Zu yang dingin. Ia terus menyeret tubuh Sela dan mengikuti Ben.
Kini mereka semua berada di sebuah arena pelatihan milik Ben. Lapangan yang sangat luas diisi dengan berbagai macam senjata dan dijaga oleh banyak penjaga. Semua penghuni mansion berkumpul. Bahkan para maid beserta kedua istri Ben juga berada disana. Mereka semua begitu ketakutan. Kedua istri Ben itu saling menguatkan satu sama lain. Mereka berdua sudah curiga akan situasi ini. Terlebih yang memanggil keduanya adalah Jack dan Kaisar. Dua orang algojo setia Ben.
Kasak kusuk diantara mereka akhirnya mereda, tatkala Ben dan Zu telah sampai di lokasi berikut dengan Sela. Kedua istri Ben tersentak kaget, saat melihat tubuh Sela dilemparkan begitu saja oleh Zu di tanah lapang tersebut. Sela bahkan tersungkur begitu saja hingga tubuhnya terjatuh bebas di tanah lapangan.
Merasa belum puas, Zu mendekati Sela kemudian melayangkan tamparan sekuat tenaganya. Membuat sudut bibir Sela mengalami robekan dan menimbulkan cairan merah kental. Tubuh Sela terpekur tak bergeming. Ia tidak percaya akan mendapatkan perlakuan buruk ini.
Kini penampilan Sela sangat berantakan. Karena hal itu, ia mendapatkan sorotan tajam dari para pengawal yang notabenenya menyiratkan gairah. Bagaimana tidak? Sela saat ini hanya memakai jubah mandi saja dan sepertinya tak memakai dalaman. Sangat jelas karena bagian atas dadanya sedikit tersibak. Karena Sela tak memakai bra, tentu saja dua buah bukit yang indah dan mulus terekspos dengan jelas.
"Sela … lihatlah dirimu yang begitu menyedihkan. Kini tubuhmu bahkan bisa dilihat oleh mereka semua yang hanya seorang penjaga!" Zu berseru lantang seraya menyeringai menatap Sela remeh. "Mari kita bermain Sela. Kau ingin kita bermain bukan?"
Jack dan Kaisar berdiri tegap di belakang Zu. Mereka menunggu Ben untuk mendapatkan perintah. Sedangkan Ben berjalan angkuh mendekati Sela. Mungkin saja, ini juga akan memberikan peringatan untuk yang lainnya. Jika Ben sedikitpun tak bisa diusik. Atau nyawa bisa menjadi taruhannya.
"Tu-tuan, maafkan saya. Maafkan atas kelancangan saya. Saya tak berani lagi, Tuan. Saya mohon ampun, Tuan. Tolong berikan saya kesempatan sekali lagi, Tuan. Saya tak akan berani lagi. Saya mohon, Tuan." Sela memohon dengan posisi yang sama ketika di kamar Ben.
Wanita itu bersimpuh di kedua kaki Ben. Sungguh menyedihkan. Jubah mandinya yang semula putih bersih, kini terlihat lusuh sedikit kecoklatan akibat tubuhnya yang tersungkur ke tanah.
"Apa yang kau pikirkan, Sela? Aku hanya ingin mengabulkan permintaanmu tadi. Kau ingin kita bermain, bukan?" Ben membalikkan badannya. Kemudian menggerakkan tangan mengisyaratkan sesuatu. Jack beringsut, lelaki itu menyambar cambuk yang ada di tangan Ben. Sedangkan Ben, mendudukkan bokongnya di kursi yang telah disediakan oleh Zu. Sekali lagi, Ben menyeringai.
"Ayolah … permainan yang cukup menyenangkan untuk mereka semua. Bukankah tadi kau cukup bersemangat, hem?" Ben tersenyum mengejek. "Sekarang aku mengabulkan keinginanmu, Sela."
Lagi, Ben menggerakkan tangan kanannya. Membuat Jack menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Ia mengibaskan cambuk yang ada di tangannya. Terdengarlah suara yang membuat darah berdesir.
Wajah Sela pias saat melihat Jack yang telah bersiap. Segera ia meminta ampun sekali lagi, "Tuan, saya mohon ampuni saya. Saya tidak akan berani lagi, Tuan." Sa mencoba merangkak, mendekat ke tempat Ben berada. Sebelum Sela benar-benar menggeser tubuhnya, sebuah tendangan dari Jack membuatnya kembali tersungkur bergulat dengan tanah.
"Sudah kuperingatkan untuk yang keberapa kalinya, jangan membantah perintahku! Dan kau justru menyulut emosiku, Sela." Ben memijit pelipisnya.
Ia mencoba menahan emosinya. Lanjut Ben, "Ini akan menjadi contoh untuk yang lainnya. Jangan ada yang mencoba membantah perintahku," ucap Ben seraya memajukan dagunya sebagai isyarat untuk Jack. Jack Pun mengerti.
Plak plak plak. Cambuk itu telah mendarat sempurna beberapa kali di tubuh semampai Sela. Wanita itu menangkupkan kedua tangannya ke wajah. Mencoba menyelamatkan wajahnya agar tidak terluka.
"Aah panas, Tuanku. Aahh ahhh tolong ampuni saya, Tuan. Hu hu hu hu, tolong. Aarght," rintihan Sela terdengar memilukan.
Beberapa kali cambuk itu mengenai tubuhnya, ia masih bisa menutupi wajah menggunakan kedua tangannya. Namun seiring cambuk itu tanpa henti mengenai tubuhnya, Sela menekuk tubuhnya. Kedua tangannya jatuh lemas tak bertenaga.
Sela meringkukkan tubuhnya dan sesekali meringis menahan sakit yang kian menjalari tubuh. Tak lagi terdengar suaranya yang memohon dan meminta tolong. Terlalu menyakitkan rasa yang didera oleh Sela. Bahkan, jubah mandi Salsa kini mulai berwarna merah.
Menandakan, cambukan itu semakin lama menjadi luka. Kedua istri Ben tak memiliki keberanian untuk melihat adegan kekerasan tersebut. Mereka memilih memejamkan kedua mata dan berusaha menulikan telinga.
Plak plakk plakk.
"Berhenti." Ben menghentikan aktivitas Jack. Ia menatap jijik pada tubuh yang meringkuk di tanah. Setelah melihat kinerja Jack, Ben menyeringai puas.
Sedangkan Sela, ia tak memiliki tenaga untuk sekedar mengeluarkan suara memohon ampun kepada Ben. Ia hanya mampu meringkuk, merintih serta meratapi kebodohannya. Sela Pun tak bisa menangis. Ia menatap nanar sosok angkuh yang duduk dengan angkuh di sisi seberang. Perlahan pandangannya mengabur. Hingga Sela jatuh tak sadarkan diri.
"Bawa dia pergi, Jack. Suruh seorang maid untuk membersihkan tubuhnya dan panggilkan dokter keluarga Alreza untuk menangani lukanya," titah Ben pada Jack.
Lelaki yang mendapat amanat itu menganggukkan kepalanya. Kemudian menyerahkan cambuk kepada salah satu pengawal disampingnya. Setelahnya, Jack menggendong tubuh Sela yang bergelut dengan darah. Sepertinya Sela sekarat.
"Sekarang, masih adakah yang ingin menentangku? Atau berbuat lancang padaku? Ini hanya sedikit cara untuk menghukum seseorang yang sedikit nakal. Apakah ada yang ingin mencoba?" tanya Ben sambil mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kerumunan itu. Suasana Pun hening dan mencekam. Tak ada yang berani menjawab atau bahkan sekedar mengangkat kepala mereka.
"Asal kalian tahu … aku paling senang jika harus menertibkan seseorang yang melanggar aturanku. Ingatlah kalian, untuk tetap mengingat kejadian ini!" Ben segera bangkit. Dibelakangnya diikuti Zu dan juga Kaisar.