Chereads / Madu Ke-3 / Chapter 3 - Bab 3. Penebus Utang

Chapter 3 - Bab 3. Penebus Utang

Seminggu berlalu ….

Brak! Zu mendobrak pintu rumah seseorang dengan keras. Pintu pun terbuka lebar. Sebelum tuan rumah mempersilahkan untuk masuk, Zu terlebih dahulu masuk ke dalam rumah. Di belakangnya, nampak Ben berjalan masuk diiringi Jack dan Kaisar.

Tak lama kemudian, dari dalam rumah berjalan seorang lelaki paruh baya dengan sedikit berlari. Wajah lelaki itu terlihat pias saat mengetahui siapa tamu tak diundang tersebut. Tanpa permisi, Benedict mendudukkan bokongnya di sofa.

"Tu-tuan, Anda," gumam lelaki paruh baya yang beberapa waktu lalu telah kehilangan jarinya.

"Aku kemari untuk menagih janjimu. Kau tidak mungkin melupakannya bukan?" tanya Benedict penuh dengan penekanan.

"Tu-tuan, bi-bisakah Anda memberikan saya sedikit waktu lagi?" lelaki itu meringis pilu. Jantungnya bertalu-talu menandakan ia benar-benar ketakutan.

"Apa maksudmu? Kau ingin menunda lagi?" tanya Benedict dengan sorot mata yang begitu tajam. Ia menegangkan otot lehernya. Bersiap untuk menumpahkan amarah.

"Saya belum meriasnya, Tuan," suara lelaki itu terdengar parau. Sesekali ia mengusap peluh yang menetes di wajahnya.

"Oh sudahlah … Seret dia ke hadapanku. Aku sudah muak untuk terus berada disini. Setelah kau memberikan dia padaku, aku akan menganggap semuanya selesai," ucap Benedict santai.

"Sayang, bawa Arumi kemari," panggil lelaki itu pada istrinya.

Beberapa menit berlalu. Tanpa ada jawaban yang menyahut. Benedict mulai diambang batas kesabaran. Hingga kemudian terdengarlah suara keributan diiringi tangisan seorang gadis belia. Benedict segera menoleh. Terlihat seorang gadis muda diseret paksa oleh dua orang yang sepertinya seorang ibu dan anak gadis dari pria paruh baya itu.

"Tu-tuan Malik, tolong saya. Tolong saya, Tuan. Saya tak ingin kemana-mana," rengek gadis itu. Buliran bening membasahi kedua pipinya. Ditelinga Benedict, suara gadis itu bagaikan violen yang mengalun merdu.

Pandangan Benedict menelisik jauh pada gadis yang tengah tersedu dihadapannya. Tangan gadis itu dipegang erat oleh 2 orang wanita. Entah mengapa, Benedict berfikir gadis itu nampak berbeda.

Benedict berdecak. Entah mengapa hatinya sedikit berminat pada gadis dihadapannya. Kedua netra gadis itu begitu teduh. Wajah cantik yang polos tanpa polesan make up, dan surai hitam panjang terjatuh bebas di punggungnya. Penampilannya memang tak seperti gadis dari kalangan orang berada. Tiada menarik bagi Benedict. Biasa. Sangat biasa. Namun, sedikit menyentil hati Benedict untuk segera membawanya pulang.

"Arumi … mengertilah. Hidup itu kejam dan penuh perjuangan." Laki-laki itu berusaha menenangkan Arumi. Kemudian ia beralih menatap Benedict, "Tuan Benedict, dia adalah Arumi Larasati. Sekarang Arumi, ikutlah Tuan barumu. Maaf aku tak bisa membantumu," lelaki paruh baya yang bernama Malik itu meminta maaf pada gadis bernama Arumi itu.

"Tuan Malik, tolong … apa salah saya?" tangis Arumi semakin pecah. Tatkala ia menyadari orang yang duduk di sofa dengan santai itu memiliki aura menyeramkan.

"Zu … kita pulang. Seret wanita itu untuk ikut dengan kita. Tuan Malik … kau sudah memastikan jika dirinya seorang perawan bukan?" tanya Benedict curiga.

"Tentu saja, Tuan," jawab Malik dengan mantap. 

Setelah mendapat jawaban, Benedict bangkit dari duduknya dan segera beranjak meninggalkan rumah itu. Arumi semakin memberontak. Air mata kian luruh di kedua pipinya.

"Waktunya pulang ke rumah," kata Benedict seraya menarik sudut bibirnya puas. Ya, gadis yang ditumbalkan oleh Malik sedikit mengusik hatinya.

"Tidak! Kumohon, jangan bawa aku! Tolong! Tuan Malik!" teriakan Arumi menghilang dari balik pintu. 

Karena Zu telah menyeretnya dengan paksa dan melemparkan tubuh Arumi untuk masuk kedalam mobil. Setelah Benedict masuk, mobil mulai bergerak menuju kediaman Benedict.

Empat puluh menit kemudian, mobil memasuki halaman rumah mewah. Arumi tak mampu berkutik. Ia mendekap tubuhnya dengan kedua tangan miliknya. Sesekali, Arumi menggigit bibir bawahnya. Dirinya baru saja menjejakkan kakinya di kota besar beberapa waktu yang lalu. Mengapa malah justru mendapat kejadian menakutkan ini.

Setelah mobil berhenti, segera Zu menarik tangan Arumi untuk turun dan kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Zu terus menyeret tubuh Arumi menuju kamar tamu. Tetapi tiba-tiba, Benedict menghentikan langkahnya.

"Zu, bawa dia ke kamarku. Lalu suruh Ratih untuk membantunya membersihkan diri. Persiapkan dia sebaik mungkin. Aku beri waktu 1 jam," titah Benedict tak ayal membuat Zu, Jack dan Kaisar terkejut. 

Benedict menempatkan Arumi di kamar utama? Selama ini, Benedict tak pernah mengizinkan siapapun masuk ke kamarnya. Ketiganya mematung diri karena kaget.

"Ada apa Zu? Apa kurang jelas perintahku? Bawa dia ke kamarku. Katakan pada Ratih, siapkan dia sebaik mungkin untukku nanti malam." Benedict melangkahkan kakinya menuju ruang kerjanya. 

Sedangkan ketiga algojonya, segera beranjak untuk melaksanakan perintah. Jack berlalu mencari pelayan bernama Ratih. Kaisar sendiri segera menyiapkan semua kebutuhan gadis yang dibawa oleh Benedict.

Disisi lain, Zu segera melemparkan asal tubuh Arumi setelah sampai di kamar Benedict. Zu memilih bergeming. Ia menatap tajam sosok Arumi yang terjerembab di lantai. Sedangkan Arumi, ia tak berani bergerak karena tatapan seram dari Zu yang seakan mengunci tubuhnya.

Tak lama kemudian, tergopoh-gopoh seorang gadis berusia sekitar 20 tahunan berjalan di samping Jack. Keduanya menuju tempat Zu berdiri. Gadis itu membungkuk hormat pada Zu. Ya, posisi Zu sama pentingnya dengan Benedict.

"Ratih, kau bersihkan dia dan siapkan penampilan terbaik. Kaisar sedang mengambil semua barang yang diperlukan untuknya. Nanti, kau pakaikan dia dengan pakaian yang telah dipilih oleh tuan. Malam ini, tuan akan bersamanya. Ingat, jangan melakukan kesalahan. Dan pastikan dia mengerti dengan tugas pertamanya malam ini. Jangan sampai aku mendengar keluhan tuan. Jika tidak, kepalamu akan lepas dari tubuhmu," titah Zu.

"Baik, Tuan Zu," jawab seorang pelayan yang bernama Ratih. 

Gadis itu menundukkan kepalanya hormat. Sebelum akhirnya Zu dan juga Jack beranjak pergi meninggalkan kamar itu. Kedua iris hitam Arumi melebar. Mendengar apa yang dikatakan oleh Zu, membuatnya semakin ketakutan. Tubuhnya bergetar. Air mata tanpa isakan terus mengalir tanpa bisa dibendung. Sungguh aku takut. Pak buk, apakah hidup Arumi akan berakhir? Arumi membatin dalam hati.

"Tolong, menurutlah," pinta Ratih seraya menutup pintu. Imbuh Ratih, "buka bajumu, dan pakailah handuk ini. Aku akan membantumu mandi." Ratih menyodorkan sebuah handuk kimono pada Arumi.

Arumi menatap Ratih takut-takut. Ia dengan perasaan malu, menanggalkan seluruh pakaiannya. Sungguh, ia tak kuasa menolak. Pikirannya berkecamuk memikirkan apa yang akan terjadi padanya. Setelah memakai handuk, Ratih menggiring tubuh Arumi yang masih gemetar menuju kamar mandi.

Satu jam kemudian, Arumi dan Ratih keluar dari kamar mandi. Arumi merutuk kesal karena Ratih menggosok setiap inci tubuhnya. Seakan-akan tubuhnya benar-benar kotor. Tak hanya itu, Ratih bahkan memasukkan aroma wewangian di dalam bathup. Memangnya dirinya sebau itu? Batin kesal Arumi. Tapi gadis itu tak protes sedikitpun. Ia sadar diri, dimana ia berada.

"Arumi Larasati. Nama yang indah. Tapi sayang, dia dilemparkan oleh majikannya sendiri sebagai penebus hutang. Sekali masuk ke mansion ini. Jangan harap kau bisa keluar. Sayang sekali hidupmu harus berakhir sebagai penebus hutang. Sepertinya nanti malam aku harus menemanimu bermain-main. Ha ha ha." Benedict tertawa lantang. Ya benar sekali. Dia sedang membaca dokumen-dokumen milik Arumi Larasati. Gadis yang dilemparkan oleh sang majikan sebagai penebus hutang.

"Wanita sama saja. Bukankah mereka hanya sebuah alat untuk mendapatkan keturunan saja? Sampai kapanpun aku akan selalu mengingatnya. Mereka hanya ingin harta dan kedudukan. Heh … Meskipun aku telah memiliki tiga orang istri, bukankah tidak ada salahnya jika aku mempunyai seorang istri lagi? Ha ha ha ini akan sangat menarik. Mari kita lihat, apakah yang terakhir ini seorang perawan? Memiliki istri banyak hanya kedok belaka. Hm, menakuti Arumi sedikit saja, juga tidak masalah."

Gelak tawa Benedict begitu menggelegar. Bahkan menghiasi hingga ke setiap sudut ruangan. Entah alasan apa yang membuatnya harus memiliki lebih dari 3 istri. Sedangkan ketiga istrinya tak pernah dia sentuh sedikitpun.