Chereads / Perjalanan Rindu / Chapter 14 - BAB 14

Chapter 14 - BAB 14

Apalagi ketika dirinya mulai dipercaya oleh Kyai Shaliah untuk menjadi salah satu asisten sekaligus pengawalnya, selain Bang Iqbal dan tiga santri senior lainnya. Sejak saat itu ia sungguh mendapatkan pengalaman yang sangat luar biasa, antara lain contoh kepemimpinan seorang ulama yang disegani oleh banyak kalangan, sekaligus adab dan etika seorang ulama.

Lebih dari itu semua, selama menjadi khadim Kyai Shaliah, ia selalu dibimbing dan diajari secara langsung cara berjalan menuju ridha Allah. Bagaimana menempatkan hak Allah dan rasul Nya di atas segalanya. Ridha Allah dan rasul Nya adalah kepentingan yang paling utama di antara semua kepentingan hidup di dunia. Itulah bagian yanh begitu paling indah yang ia rasakan ketika dekat dengan Kyai Shaliah. Itulah kenikmatan yang sangat berat ia tinggalkan. Itulah kenapa ia menangis saat diminta pulang, yang berarti jauh dari Kyai Shaliah. Tak terasa hampir genap lima tahun ia menjadi khadim dan asistennya Kyai Shaliah. Tidak semua santri yang ingin menjadi khadim beliau diterima. Ia termasuk santri yang paling beruntung yang langsung diterima, entah kenapa. Dan dari beberapa santri yang menjadi khadim, tidak semua dipercaya untuk menjadi asisten yang mendampingi Kyai Shaliah berpergian mengisi acara atau menemui tokoh-tokoh penting.

Faris mengenang perjalanannya menjadi khadim. Begitu ia diterima, ia melakukan apa pun yang diminta oleh Kyai Shaliah dan keluarganya. Setengah tahun pertama lebih pada bersih-bersih dan ikut membantu di dapur pesantren. Lalu ia diminta oleh Kyai Shaliah ikut menjadi pasukan Bang Iqbal mengurus dan menjaga ternak ikan. Bukan berarti tugas bersih-bersihnya hilang, mengurus budidaya ikan itu adalah tugas tambahan baginya.

Hingga pada suatu malam, ia ditugasi Bang Iqbal untuk menjaga kolam ikan yang siap panen itu. Malam itu ia sendirian. Kira-kira jam satu malam, ada lima orang yang berpakaian serba hitam datang. Rupanya mereka mau memanen ikan yang dijaganya. Faris mencoba menghalangi. Namun tentu saja ia tidak mampu menghadapi lima perampok itu. Lalu Ia jadi bulan-bulanan. Tangan dan kakinya diikat, mulutnya disumbat pakai kaos kaki, lalu digebuki dan ditendangi sampai pingsan. Menjelang waktu shubuh Bang Iqbal datang dan menemukan dirinya dalam kondisi yang sangat kritis. Ia lalu dilarikan ke rumah sakit dan harus menjalani perawatan selama beberapa hari.

Setelah dua bulan kemudian ia pun sudah pulih kembali. Kyai Shaliah sempat bertanya apakah ia merasa trauma dan kapok, ia menjawab tidak. Kyai Shaliah memerintahkan Bang Iqbal untuk secara khusus mengajarinya ilmu bela diri. Bang Iqbal—pengawal utama Kyai Shaliah—adalah seorang pendekar asli Kerinci. Ia telah belajar silat selama sepuluh tahun di Bangkalan kerinci di kampung halamannya kemudian merantau ke Surabaya dan bekerja sebagai sekuriti di sebuah bank swasta di Pasar Senen. Tiga tahun lamanya bekerja di Surabaya, Bang Iqbal banyak bertukar ilmu dengan sesama pegiat bela diri di sana. Bang Iqbal telah menguasai Silat Salendang, Tarung Derajat, dan Jiu Jitsu.

Di Kota Surabaya Banf Iqbal bertemu dengan seorang gadis asal Sumatera Barat yang bekerja di sebuah warung nasi. Ia lalu menikahi gadis itu. Ketika hamil, istrinya itu meminta untuk pulang dengan alasan mau melahirkan di kampung. Setelah melahirkan, istrinya tidak mau balik lagi ke Surabaya. Bang Iqbal pun bingung. Istri Bang Iqbal itu ternyata masih ada hubungan kerabat dengan istri Kyai Shaliah. Anak Bang Iqbal yang memberi nama adalah Kyai Shaliah. Kegalauan Bang Iqbal ditangkap oleh Kyai Shaliah, lalu ia diminta mengabdi di pesantren. Sejak itu Bang Iqbal ikut Kyai Shaliah. Dari Bang Iqbal-lah ia belajar kesetiaan tanpa syarat pada sang kyai.

"Kita sebagai seorang santri jangan kalah militan dengan yang namanya Kopassus. Kopassus sangat setia pada komandan dan korpsnya.

Kita harus melebihi mereka. Ketika kita mengawal Kyai Shaliah, maka kehormatan dan keselamatan beliau adalah segalanya. Kita harus siap mengorbankan diri kita untuk menjaga keselamatan beliau, Karena beliau adalah guru, orangtua, dan pemimpin kita." Begitu Bang Iqbal memberi masukan di suatu malam usai latihan silat.

Kereta itu mulai melambat. Beberapa orang bersiap-siap untuk turun. Kereta itu berhenti di Stasiun Lubuk Alung. Setelah beberapa penumpang turun, giliran beberapa penumpang lain untuk naik. Kereta itu lalu melanjutkan perjalanannya ke arah barat, menuju ke daerah lain.

Faris merasa haus. Ada beberapa pramugara yang menawarkan makanan dan minuman. Ia lalu memesan teh panas. Ia merasa beruntung, begitu banyak orang yang menyayangi dirinya. Ketika tahu ia mau berangkat, atau pulang meninggalkan pesantren untuk selamanya, para pengurus pesantren pun mengadakan iuran untuk memberi bekal padanya. Ia tak mungkin menolak pemberian, selain ia memang sangat memerlukannya, karena mereka memberikan sebagai ungkapan persaudaraan. Bang Iqbal juga memberi amplop yang berisi uang. Bang Pando mengulurkan lima lembar uang ratusan ribu. Kyai Shaliah selain memberi bungkusan oleh-oleh untuk keluarganya juga menyerahkan tiga amplop kepadanya. Amplop pertama berisi uang untuk dirinya. Amplop kedua untuk Bang Buyung. Dan amplop ketiga untuk diberikan kepada KH. Yahya Abdurrahim di Silaing. Ia merasa lega, karena ada bekal untuk pulang dan memulai hidup di kampung halamannya.

Jam tujuh kurang seperempat kereta itu sampai di Stasiun yang hampir mendekati kota Padang. Faris lalu membangunkan Husna. Gadis yang kini berjilbab merah muda bermotif bunga mawar itu menggeliat bangun dan mengucek-ngucek kedua matanya. Keretamulai berjalan lagi menuju stasiun terakhir, yaitu Kota padang.

"Sampai mana, Bang?"

"Kota Kenteng, Dek. Sebentar lagi sampai Padang."

"Sudah shalat Maghrib?"

"Niatkan jamak takhir saja, Dek! Nanti kita salat Isya di Padang, lalu cari makan malam di sana. Setelah itu baru kita cari bus Damri ke Singgalang. Kita punya waktu jeda dua jam, sangat cukup."

"Oke, Bang."

***

Sepasang pengantin baru itu tampak sangat bahagia. Keduanya terlihat masih malu-malu tapi mesra. Sesekali berbincang, sesekali tersenyum dan sesekali saling menatap. Mengenakan gaun pengantin adat Minang dengan Suntiang laksana mahkota di kepala, mereka terlihat begitu anggun dan berwibawa. Duduk berdampingan di kursi pelaminan biru, keduanya bagaikan seorang raja dan ratu.

Di panggung hiburan enam gadis yang berpakaian adat Minang Kabau yang indah, begitu kompak menari dalam mengikuti irama musik.

Malam malam baiko yo mamak

malam malam bainai yo sayang

Anak daro yo mamak

Jo mara pulai

Pasumandannyo banyak yo mamak

Manatiang-natiang piring yo sayang

Sambanyo lamak yo mamak

Patai jo jariang

...

Itu adalah lagu Malam Bainai yang terkenal. Para hadirin seperti tersihir mendapat suguhan pementasan karya seni yang indah itu. Juga Tari Piring Kreasi dari para gadis Desa di Singgalang ini berhasil merebut perhatian seluruh tamu undangan.