Juga suara indah para gadis yang melantunkan lagu Malam Bainai itu sangat mengesankan mereka. Tak percaya rasanya ada gadis di daerah yang punya suara seindah itu. Mereka lalu mencari-cari asal suara itu.
Di samping pembawa acara, terlihat seorang gadis yang sedang memegang mikrofon dan menyanyi dengan penuh penghayatan. Gadis itu memakai pakaian biasa saja dengan kerudung yang menghiasi kepala. Gadis itu adalah Siti.
Tarian dan nyanyian lagu pertama sudah selesai. Kedua pengantin mengacungkan jempol. Semua hadirin bertepuk tangan.
"Berikutnya, izinkan kami kembali menghibur dua mempelai dengan membawakan lagu Pengantin Baru" kata Siti tenang. Alunan musik khasidah itu pun mengalun. Siti melantunkan suara.
Duhai, senangnya pengantin baru
Duduk bersanding, bersenda gurau
Aduhai, senangnya pengantin baru
Duduk bersanding, bersenda gurau
Bagaikan raja dan permaisuri
Tersenyum simpul bagaikan bidadari
Duhai, senangnya menjadi pengantin baru
Lalu musik pun mengalun. Para penari menari dengan semangat dan rantak. Para tamu terkesima dan bertepuk tangan dengan kompak. Sebagian ada yang histeris. Suara Siti tak kalah dengan suara Aktris Qasidah yang memasyhurkan lagu itu. Lirik-lirik lagu itu rupanya dihafal oleh sebagian besar penduduk desa itu, sehingga sebagian dari mereka bergumam ikut menyanyikan sambil bergoyang ringan.
Seorang ibu muda berjilbab biru bergumam pada temannya.
"Untung saja grup Orgen Tunggal yang diundang itu batal datang, sehingga kita dapat suguhan tarian-tarian yang indah. Daripada nanggap Organ Tunggal yang kadang biduannya tidak menjaga sopan santun dalam berpakaian, lebih baik menampilkan seni tradisional kita yang indah seperti ini."
"Benar Bu."
Tinggalkanlah masa remajamu
Peganglah amanah dari Tuhanmu
Tinggalkanlah masa remajamu
Peganglah amanah dari Tuhanmu
Agar menuntun hidup bahagia
Rukun dan aman, damai, sentosa
Duhai, senangnya menjadi pengantin baru
Kali ini salah satu tamu undangan yang menyambung mendendangkan lagu itu. Suaranya indah meski masih kalah di banding keindahan suara Siti. Siti tahu diri, ia diam, membiarkan sang tamu undangan itu melantunkan lagu Khasidah itu hingga selesai. Begitu selesai, semua hadirin bertepuk tangan dengan gemuruh. Tamu undangan itu menangkupkan kedua tangan di dada sambil mengangguk tanda terima kasih lalu duduk kembali.
"Suara ibu muda itu ternyata luar biasa indah, sungguh beruntung ya suami ibu ini," kata pembawa acara.
"Harus adaa! Tambah lagiii!" teriak seorang anak muda.
"Penonton masih belum puas itu, gimana nih?"
Siti tersenyum. "Baik, insya Allah kita masih punya dua lagu lagi."
"Apa itu?"
"Pertama, lagu dari daerah kita sendiri: Anak Sipasan. Dan akan kita tutup dengan lagu Zapin-nya Yeth Bustami!" Siti menjawab.
Penonton hanya mengangguk-angguk. Petikan gitar khas Minang terdengar, musik mulai mengalun. Para penari melenggok dengan anggun.
Anak sipasan dalam rimbo
Mati di golek-golek batang
Nan bapasan kami nan tibo
Ratok tangih manyuruah pulang
Ondeh-ondeh iyo…
Manyuruah pulang ondeh Tuan oi
Pilin-bapilin tali rantai
Katali sampan di muaro
Penonton kembali tersihir mendengar suara Siti yang merdu, tari yang padu, dan iringan musik khas Minang berlanggam Kasidah. Siti dan teman-temannya pun menyudahi persembahannya dengan lagu Zapin yang dipopulerkan oleh Yeth Bustami. Irama lagu itu bernuansa riang sehingga cocok didendangkan sebagai penutup persembahan.
Zapin aku dendangkan
Lagu Melayu
Pelipur hati
Pelipur lara
Suara Siti mengalun penuh penghayatan mendendangkan lagu pungkasan. Tuan rumah, kedua mempelai, keluarga besar kedua mempelai, dan para tamu undangan semuanya merasa terkesan. Hanya satu yang terasa kurang, Siti berpakaian terlalu seadanya. Jika saja Siti memakai pakaian yang sama dengan para penari itu, maka, alangkah serasinya.
Penampilan Siti di pesta pernikahan malam itu sesungguhnya adalah karena dipaksa. Ia dipaksa oleh Lika, teman sekaligus kakak kelasnya waktu SMP yang biasa mengantarkannya ke mana-mana. Santri dan beberapa temannya menginisiasi pendirian sanggar tari yang bertujuan untuk melestarikan tari-tari tradisional Minangkabau, terutama tari Piring yang bernuansa Islam. Mereka sudah latihan tiga bulan, dan sudah melakukan pementasan di beberapa acara antar kecamatan. Selama ini mereka menari menggunakan rekaman lagu.
Lika diminta oleh pengantin perempuan untuk menampilkan grup tarinya di pesta pernikahannya. Pengantin perempuan yang masih sepupu Lika—menyampaikan bahwa bayaran yang telah ditetapkan untuk orgen tunggal akan diberikan kepada Lika dan grup tarinya. Organ Tunggal itu batal tampil karena biduanita utamanya mengalami kecelakaan tunggal dan kini dalam kondisi kritis di rumah sakit. Lika lalu menyanggupi dan berpikir untuk memberikan persembahan terbaik. Maka ia meminta Siti untuk menyanyi dan minta tolong sebuah grup orkes dari Pondok Benali untuk mengiringi musiknya. Awalnya Siti tidak mau dan merasa keberatan, tapi Lika terus merajuk.
"Tak ada yang lebih baik dalam bernyanyi di Pondok ini dari kamu Siti. Kamu bahkan pernah menang lomba nyanyi waktu di sekolah. Tolonglah Siti, sekali ini saja, agar sanggar kami bisa hidup! Karena dibayar profesional, maka kami juga harus profesional!"
Akhirnya Siti menyerah, apalagi ia teringat selama ini Lika telah banyak membantu dirinya. Penampilan malam itu ternyata menjadi hiburan tersendiri bagi Siti yang selama ini hanya terpaku mengurus kakek, nenek, dan adiknya. Malam itu, sejenak, ia ikut larut bahagia.
Sebelum rebahan di kamarnya, Siti teringat Faris. Kalau kakak sepupunya itu ada di rumah, apakah akan mengizinkan dirinya menyanyi? Apakah Beliau akan ikut tepuk tangan dan ikut berdendang gembira? Sudah hampir lima tahun lamanya berpisah, ia bahkan tidak tahu seperti apa kakaknya itu sekarang. Apakah ia sudah jadi ustadz di pesantren sana, atau bagaimana? Sebelum memejamkan matanya, gadis itu sempat mendoakan seluruh keluarga yang disayanginya.
***
Bis berwarna biru itu sampai di gerbang Pelabuhan B Merak. Lagu Istri Shaleha, dan kerudung putih mengalun pelan. Kelihatannya sang sopir bus penggemar berat lagu-lagu Si Raja Dangdut tahun delapan puluhan. Sepanjang perjalanan hanya lagu Si Raja Dangdut itu yang diputar berulang-ulang.
Bersama puluhan kendaraan, bis itu antre untuk masuk ke pelabuhan. Husna melihat jam tangannya, pukul sebelas malam lebih sedikit. Sejak berangkat dari Padang, gadis itu sama sekali tidak tidur, sementara Faris telah tidur pulas bahkan sampai mendengkur. Tiga puluh menit kemudian bis itu pelan-pelan memasuki kapal penyeberangan. Kondektur bis mengumumkan dengan suara lantang agar semua penumpang bersiap-siap. Mesin bis akan segera dimatikan, semua penumpang harus turun. Perjalanan menyeberang ke Serambi akan memakan waktu antara dua sampai tiga jam, tergantung cuaca dan kondisi lautan.
Mendengar suara lantang kondektur Faris terbangun.
"Sudah masuk kapal ya?"
"Iya, Bang. Siap-siap turun."
"Iya."
Sesaat kemudian Faris dan Husna turun dengan membawa barang serta tas ransel mereka. Kapal itu memang cukup besar. Mereka naik eskalator menuju tempat istirahat.