Chereads / Perjalanan Rindu / Chapter 17 - BAB17

Chapter 17 - BAB17

Dua penjahat iru diringkus dengan kepala menunduk penuh luka lebam.

"Aku sudah hukum mereka. Tangan kanan mereka akan keple, lumpuh seumur hidupnya. Memegang sendok saja tidak bisa. Kecuali dia datang minta maaf kepadamu dan kita minta tolong Bang Iqbal memperbaikinya. Mungkin bisa disembuhkan."

"Biar kapok mereka!"

"Kita masih ada waktu satu jam lagi. Dek Husna bisa istirahar, saya tidak akan ke mana-mana."

"Terima kasih ya, Bang."

"Tidak perlu berterima kasih. Ini memang sudah menjadi kewajiban saya."

"Tapi rasanya aku sudah tidak bisa tidur lagi."

"Tidak apa. Dek Husna mau saya belikan teh lagi?"

"Iya, Bang."

Faris beringsut dan pergi ke kafe untuk membeli teh. Husna baru saja tahu salah satu alasan kenapa Faris sangat dipercaya abahnya. Bahkan umminya pernah cerita kalau abahnya paling nyaman mengisi pengajian jika dikawal oleh Bang Iqbal atau Si Faris. Sepanjang perjalanan ia bisa merasakan betapa hormatnya Faris itu kepadanya meskipun lelaki itu lebih tua darinya.

~

Pukul setengah dua dini hari bis itu keluar dari kapal dan menginjak tanah Sumatra. Diana melihat pemandangan Pelabuhan Teluk Bayur yang temaram, sementara Faris berdzikir dengan kedua mata terpejam. Bis merah itu bersimpangan dengan kendaraan-kendaraan dari Sumatera yang akan masuk kapal menyeberang ke Sumbar

Menyadari dirinya sudah menginjak tanah Singgalang, tiba-tiba aroma kampung halamannya tercium harum di hidung Faris. Aroma semilir gunung singgalang, aroma kebun teh, aroma batang padi, aroma lantai kayu masjid tua di dekat rumahnya tempatnya dulu ia pernah mengaji. Ia baru tersadar betapa besar rindunya pada kampung halamannya.

Di tengah jalan, bis itu sempat berhenti di sebuah rumah makan Padang. Para penumpang diberi waktu tiga puluh menit untuk turun dan makan. Dan sesaat setelah adzan Shubuh berkumandang, bis Royal Class itu memasuki Kota Singgalang.

"Yang Nona Nila siap-siap, Nona Nila, Nona Nila!" teriak kondektur.

"Maksudnya apa sih Bang, Nona Nila?" tanya Faris penasaran. Kebetulan ia duduk di kursi nomor r dua dari depan. :

"Turun di UNILA"".

"Oalah. Dek Husna, siap-siap, sebentar lagi kita turun."

Saat bis berhenti sempurna, beberapa penumpang turun. Termasuk Faris dan Husna. Kondektur membantu menurunkan barang-barang para penumpang dari bagasi bis. Faris sibuk mengangkat koper Husna. Seorang lelaki berwajah ramah berkopiah putih menghampiri mereka.

"Husna!" sapa lelaki itu.

"Bang Buyung!"

Husna menghambur, mencium tangan kakak kandungnya itu lalu memeluknya erat.

"Sendiri? Kak Mutia mana?"

"Iya, sendiri. Kak Mutia di rumah, jaga santri," jawab Husna. Ia melihat jam tangannya. "Kita cari masjid untuk salat Shubuh dulu, yuk?"

"Shalat di rumah saja. Cukup waktu. Dekat kok!"

Bis merah telah bergerak melanjutkan menuju akhir perjalanan. Kyai Buyung, putra sulung Kyai Shaliah itu mengajak Husna dan Faris ke mobilnya yang terparkir  hanya beberapa meter dari situ. Faris menyeret koper dan membawa tas bawaannya ke mobil. Seperempat jam kemudian mereka sudah sampai di rumah Kyai Buyuang. Faris diminta masuk ke kamar tamu yang sudah disiapkan, sementara Husna masuk ke kamarnya sendiri di rumah besar itu.

Setelah salat Shubuh bersama Kyai Buyung dan menikmati susu cokelat panas serta pisang goreng, Faris dipersilakan untuk istirahat..

"Jangan tergesa! Santai saja, istirahat dulu. Kira-kira jam sembilan Faris bisa bangun dan sarapan. Lalu kita bincang-bincang."

"Baik, Pak Kyai."

~

Matahari pagi menghangatkan Kampung Singgalang. Para petani sudah mulai bekerja di sawah dan ladang teh. Sepeda motor satria fu melaju di jalanan Pondok kampung Melati yang sepi. Tampak Siti membawa tas keranjang diboncengkan Lika. Motor itu memasuki jalanan ujung pondok dengan pemandangan rumah-rumah kayu beratap seng atau ijuk di kanan-kiri.

"Terima kasih ya, Lika. Maaf hanya bisa merepotkan kamu," kata Siti saat turun di halaman rumah panggungnya yang sederhana.

"Ah, ini bukan apa-apa. Santai saja lah! Selama aku bisa, aku akan bantu. Tak usah sungkan kayak dengan orang nggak dikenal!"

"Eh, mau minum teh atau kopi?"

"Nggak usah. Oh ya, sebentar!" Lika merogoh saku bagian dalam jaketnya. Ia mengambil dompetnya dan mengeluarkan dua lembar uang kertas.

"Ini untukmu!" "Apa itu?" "Ini bagianmu. Maaf aku cuma bisa kasih kamu segini. Empat puluh ribu untuk empat lagu itu." "Nggak usah lah, Lika! Kamu pakai saja untuk sanggar!" "Untuk sanggar sudah ada sedikit. Semua dapat haknya, mesti tidak banyak. Terimalah! Kalau kau tidak terima, artinya kau tidak menghargai aku dan teman-teman!

Siti kaget.

"Bukan begitu maksudku, Lika!"

"Maka terimalah!"

"Baiklah." Siti mengambil uang itu lalu mengulurkan satu lembar kepada Lika.

"Hakku empat puluh ribu sudah aku terima dan aku ambil dengan penuh kesyukuran. Ini dua puluh ribu tolong terima, jangan kau tolak Lika!"

Apaan ini?"

"Ini bukannya aku membayar kamu, bukan. Karena kamu bukan tukang ojek. Ini aku ingin sedikit membantu buat nambah-nambah beli bensin, tolong diterima. Kalau tidak terima, tidak usah antar-antar aku lagi!" Siti gantian mengancam.

Lika mengangguk.

"Baiklah."

Keduanya saling pandang dan tersenyum.

"Eh, satu lagi mumpung sedang ingat."

"Apa itu?"

"Nanti malam ada pasar malam."

"Yang di lapangan kecamatan itu?"

"Iya. Kau nggak ingin jualan di sana?"

Siti berpikir keras. Jualan teh panas atau kopi panas saja mungkin laku. Lalu ia bertanya, "Terus bagaimana aku pergi ke sananya?"

"Aku bisa antar, sore-sore kita ke sana. Tapi aku harus langsung pulang dan malam harinya aku tidak bisa jemput. Pulangnya kau cari akal gimana caranya."

"Aku pikir-pikir dulu, Lika."

"Pokoknya habis salat Ashar aku ke sini ya. Kalau kau mau jualan aku antar, nggak ya, nggak apa-apa."

"Terima kasih atas semua kebaikanmu."

"Sama-sama. Yuk, assalamu alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Lika mengendarai motor matiknya meninggalkan Siti. Gadis penjual tahu goreng itu membayangkan alangkah bahagianya kalau ia memiliki motor sendiri. Ia bebas pergi jualan kapanpun dan dimanapun. Seperti pagi tadi, ia pergi jualan di pasar pagi, jika memiliki motor sendiri, maka ia tidak perlu lagi merepotkan Lika. Nanti malam kalau mau jualan di pasar malam juga tidak perlu merepotkan Lika. Tapi dari mana ia bisa memiliki motor yang harganya jutaan rupiah?

***

"Alhamdulillah, atas rahmat Allah, tanah yang di samping itu yang berukuran satu hektar setengah bisa kita bebaskan. Harganya agak sedikit mahal karena posisi di kota. Rencana akan kita bangun sekolah dasar Al-Quran. Kita sudah studi banding ke Yanbu'ul Qur'an Kudus juga ke Al Muqaddasah, Padang Panjang. Setelah sekolah itu jadi, kita rencanakan lanjut bikin sekokah menengah pertama. Untuk sekolah menengah atas-nya kita akan bangun di pinggir kota saja."

Kyai Buyung mengajak Faris jalan-jalan melihat-lihat pesantren.