Chereads / Perjalanan Rindu / Chapter 20 - BAB20

Chapter 20 - BAB20

... pas nahas lalu dicegat mereka, apa yang bisa ia lakukan? Lebih menakutkan lagi, apa yang akan mereka lakukan padanya'? Kalau mereka hanya merampas uang atau mobilnya ia masih bisa lega, tapi.kalau yang lain? Itu juga kalau ia dibiarkan hidup, kalau tidak?

Akhirnya ia memutuskan mengikuti saran pemuda itu. Malam ini ia akan menginap di kampung itu, baru keesokan harinya melanjutkan perjalanan. Pemuda itu benar, akal sehat dan kewaspadaan sangat penting untuk menjaga keamanan dan keselamatan. Sayang sekali ia tidak tahu nama pemuda itu karena tidak menanyakannya. Ia bahkan belum berterima kasih, karena pemuda itu langsung menyampaikan sarannya. la merasa menjadi orang yang tidak tahu diri.

***

Pasar malam itu dipenuhi oleh para pengunjung. Lapangan kecamatan di Desa itu penuh manusia. Mereka tidak hanya berasal dari Kecamatan Tiga puluh koto saja, tapi juga dari kecamatan sekitarnya. Sudah tiga malam lamanya lapangan itu menjadi area bazar besar. Berbagai pedagang menggelar dagangannya, mulai dari pakaian, makanan, minuman, peralatan dapur, mainan, dan lain sebagainya. Bermacam-macam wahana permainan disiapkan. Ada pancingan, kolam bola, rumah balon, dan eskavator mini untuk anak-anak. Ada komidi putar dengan kuda-kudaan. Ada Tong Setan yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Dan tentu ada bianglala atau kincir air raksasa yang menjadi ikon utama pasar malam.

Siti sangat lega, dua jam sebelum pasar malam itu tutup, dagangannya pun telah habis. Semua tahu goreng yang ia bawa habis. Termos berisi untuk mrmbuat teh dan minuman jahe yang ia tenteng telah kosong. Malam itu ia mendapatkan keuntungan bersih empat puluh lima ribu. Baginya itu sebuah keuntungan yang besar. Ia harus segera pulang tanpa menunggu pasar malam itu tutup. Karena, katanya baru akan tutup jam dua belas malam. Masalahnya, bagaimana caranya ia akan pulang? Lika sudah bilang tidak bisa datang menjemput dan ia tidak mendapati orang yang bisa ia tumpangi.

Jarak pasar malam itu dari rumahnya lumayan jauh. Dua Belas kilometer jika melewati jalan biasa, delapan kilometer jika menerabas jalan setapak kebon kopi. Ada dua tukang ojek di dekat parkiran, keduanya tidak mau kurang dari dua puluh lima ribu untuk jasa mengantarnya pulang. Ia merasa itu terlalu mahal. Lebih dari separo keuntungannya berjualan.

Akhirnya, gadis itu nekat pulang dengan berjalan kaki. Dan ia nekat akan menerabas melewati jalan setapak kebon kopi. Ketika gadis itu berjalan sendirian menenteng termos dan keranjang kecil meninggalkan area pasar malam, dua pasang mata mengamatinya dari kejauhan.

Siti berjalan ke utara menapaki jalan aspal. Itu adalah jalan ke Pondok Ujung. Rumahnya berada di Pondok Melati yang berada di sebelah timur Pondok Ujung. Siti akan berjalan menyusuri jalan aspal itu sampai bertemu pertigaan, jika lurus maka akan sampai ke Pondok Ujung, ke kanan akan sampai ke Pondok Melati. Dua kilometer sebelum pertigaan, ia akan memasuki jalan setapak yang membelah kebun kopi untuk memangkas jarak.

Malam itu Siti memakai jaket usang, bercelana panjang kebiruan dan menutupi kepalanya dengan topi hitam. Ia terus berjalan menyusuri aspal dengan penuh kesabaran. Ia kuatkan hatinya untuk melawan rasa kecemasan dan ketakutan.

Sesungguhnya ia begitu cemas oleh kemungkinan dicegat oleh orang jahat dan saat itu ia sendirian. Atau dicegat oleh setan dan bangsa jin yang menyeramkan. Ia harus melawan semua kecemasan dan ketakutan untuk memperoleh rezeki untuk bisa makan. Untuk mengusir rasa takutnya ia banyak berzikir, menghadirkan Tuhan. Setengah jam berjalan Siti memasuki jalan setapak di kebon kopi yang gelap dan hitam. Ia hanya diterangi oleh nyala kecil dari senter mainan. Begitu memutuskan pulang dengan jalan kaki dan akan menerabas jalan setapak, ia mencari alat untuk menjadi penerang jalan. Ia membeli senter di tempat penjual mainan. Murah, hanya lima ribu rupiah. Selain akan ia gunakan untuk menerangi jalannya, senter itu bisa ia berikan untuk si kecil Titan. Adiknya itu pasti akan merasa senang.

Jalan setapak itu terasa panjang. Jalan masih berupa tanah, dan sesekali ada bebatuan. Sinar senter itu sangat menolong. Meski kecil, bisa menerangi dua meter ke depan. Siti lalu menemukan jalan aspal, ia lalu menyeberang mengikuti jalan itu sebentar, lalu kembali memasuki jalan setapak yang membelah kebon kopi untuk memangkas jarak perjalanan.

Suara jangkrik mengiringi perjalanannya. Siti melompati sebuah kubangan. Angin mendesau kencang. Langit mengerjap dan petir menggelegar kencang, tanda akan turun hujan. Siti lalu mempercepat langkahnya. Ia berdoa semoga sebelum hujan turun ia sudah sampai di teras rumahnya

***

Faris mengendarai motornya memasuki Pondok Mawar yang menjadi ibu kecamatan. Dari kejauhan ia melihat kincir raksasa yang bercahaya dan berwarna-warni. Seketika ia tahu ada pasar malam. Ia pun sempat berpikir apakah Siti dan Titan sedang di sana. Tetapi ia tepis pikaran itu, mereka pasti di rumah saja menunggui Kakek Mihun yang katanya sakit dan tidak bisa apa-apa. Ia bertekad, jika besok ada kesempatan ia akan mengajak mereka semua ke sana.

Faris sampai di pertigaan Kampung halamannya. Ada petunjuk menuju Pondok Ujung ke arah utara. Ia pun mengikuti petunjuk itu. Langit kembali menujukkan kilat dan petir yang menggelegar. Faris mempercepat laju motornya. Beberapa menit kemudian ia telah sampai di jalanan aspal yang membelah perkebunan. Sayup-sayup ia mendengar teriakan perempuan minta tolong. Ia berhenti dan mematikan motornya.

"Toloooong!"

Ya, itu suara perempuan minta tolong. Arahnya dari dalam kebun kopi. Beberapa meter di depannya ada jalan setapak membelah kebon kopi. Ia meninggalkan motornya di situ dan berlari ke arah suara. Ia khawatir ada orang yang dililit ular atau dalam bahaya lainnya.

. "Jangaan! Tolooong!"

Suara itu semakin dekat. Lalu Faris mendengar suara lelaki tertawa.

"Siapa yang bisa menolongmu malam-malam di tengah kebun kopi begini, hah?! Sudah diam saja, tidak usah teriak-teriak. Sebenrar lagi hujan! Jangan membuat kami marah!"

"Jangaan! Tol...!" 

Seorang perempuan terlentang di tanah. Dua orang lelaki tampak berlaku kurang ajar padanya. Seorang dari mereka Menyumpal mulut sang perempuan dengan kaos kaki, yang satu hendak membuka celana panjang korbannya. Gadis itu meronta. Air matanya meleleh dengan hebatnya.

Di saat yang sangat kritis itulah Faris sampai di situ.

Amarahnya meledak melihat kelakuan dua orang lelaki tersebut. Dua penjahat itu tidak menyadari bahwa Faris ada di belakang mereka. Fokus mereka adalah menggarap korban secepatnya sebelum hujan tiba.

Siti terus meronta, tapi ia tidak berdaya dan kehabisan tenaga. Dua lelaki jahat itu semakin kesetanan. Dan Faris melancarkan serangan dan sedikit pun tidak memberi ampunan. Ia menendang kepala lelaki yang hendak ...