melakukannya. Faris lalu menceritakan apa yang terjadi pada dirinya, bahwa ia tiba-tiba diajak sarapan oleh Kyai Shaliah dan diminta pulang kampung. Tepat saat ia sudah berada di dalam mobil dan siap berangkat ke stasiun, surat dari Siti ia terima. Dan ia baru membaca surat itu dalam perjalanan ke Jakarta menuju pulang. Mengenang ini semua, Faris tersenyum.
"Semoga baju koko pemberian Simbah Kyai Shaliah ini semacam isyarat."
"Isyarat apa, Uda?" "Isyarat bahwa Kakek akan bangun dan segera memakai baju koko ini." . "Maksudnya, Kakek akan sadar dan sembuh?" "Semoga." "Tapi dokter saja sudah angkat tangan." "Jangan berputus asa dari rahmat Allah. Kita harus tetap ikhtiar semaksimal yang kita mampu." "Iya, Uda, Itu sudah kita lakukan semaksimal mungkin "Dan kita akan terus ikhtiar." . Faris teringat ada kerabat istrinya Bang Iqbal yang terkena stroke, dan seluruh tubuhnya seperti mati, hanya kedua matanya saja yang bisa berkedip. Pada suatu hari akhirnya tubuhnya bisa bergerak kembali setelah ditelateni dengan pijat syaraf dan bekam. Orang itu kembali bisa duduk, bicara, dan menggerakkan kedua tangannya meskipun harus pakai kursi roda. Tetapi memang harus orang yang benar-benar ahli pijat syaraf dan ahli bekam yang menangani. Faris terpikir untuk mencoba ikhtiar ini untuk menyembuhkan kakeknya—selain tetap memasang infus, karena dari situ kakeknya mendapat asupan nutrisi. Pun obar dari dokter tetap diberikan melalui selang infus.
Maka hari itu, Faris mengatur hal-hal yang harus segera ia lakukan, terutama terkait membelanjakan uang yang ada dalam genggaman tangannya. Setelah beberapa amplop ia buka, kini ia punya uang dua juta dua ratus ribu rupiah. Satu juta akan ia gunakan untuk modal usaha, dan selebihnya untuk makan sementara serta hal terkait pengobatan kakeknya. Ia akan mencari ahli pijat syaraf dan ahli bekam. Dan ia merasa alat komunikasi itu sangat penting. Apalagi sebagai orang yang tinggal di pelosok kampung. Ia harus membeli ponsel agar bisa berkomunikasi.
Siang itu Faris mengendarai motor meninggalkan Pondok Melati. Tujuannya adalah ke Pagaruyuang dan Kota Singgalang. Ada tiga hal penting yang harus ia lakukan hari itu juga. Pertama, mencari informasi tentang ahli pijar syaraf dan ahli bekam. Kedua, survey jalanan dan tempat-tempat di sekitar Pagaruyuang dan Singgalang yang cocok untuk membuka usaha. Ketiga, membeli ponsel bekas agar mudah berkomunikasi.
Faris merasa motor tua pemberian Kyai Buyung itu sangat membantunya. Motor itu seperti menjadi kaki baginya. Ia jadi ingat bahwa salah satu yang membahagiakan seseorang adalah jika memiliki kendaraan yang nyaman. Tidak harus mewah, yang penting berfungsi dengan baik dan nyaman. Kendaraan yang bisa mengantarkan pemiliknya ke tujuan dengan lancar dan aman, merupakan faktor kebahagiaan. Hal itu, ia ingat betul, disampaikan oleh Kyai Shaliah saat pengajian, seraya menyitir sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban.
Ada empat perkara termasuk kebahagiaan, istri yang shalihah, tempat tinggal yang lapang, teman atau tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman.
Dan kini, meski sederhana, ia memiliki kendaraan yang nyaman. Terbukti kendaraan yang ia naiki itu mampu mengantarkan dirinya dengan lancar dari Kota Singgalang hingga ke Pondok Melati. Berhasil menempuh jarak kira-kira 220 kilometer dengan cepat dan lancar. Dan kini mengantarnya menyusuri Jalan Lintas singgalang. Ia memacu kendaraan dalam kecepatan sedang, agar ia memiliki waktu untuk mengamati kiri-dan kanan, kalau-kalau ada tempat yang strategis dan cocok untuk buka usaha. — Siang itu Kota singgalang berkabut. Faris memasuki kota dan langsung menuju pasar. Ia memarkir kendaraannya dan mencari tahu tentang banyak hal di sana. Ia teringat para sahabat nabi dari kalangan Muhajirin yang berhijrah, sebagian mereka minta kepada kaum Anshor untuk menunjukkan letak pasar. Sahabat nabi itu kemudian berbisnis dan menjadi pejuang lewat kekayaan yang dititipkan oleh Allah melalui kesuksesan bisnisnya. Di antara sahabat Nabi Saw yang seperti itu adalah Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Abu Bakar Ash Shiddiq.
Kyai Shaliah pernah menjelaskan bahwa thariqah- jalan menuju Allah—yang ditempuh para sahabat Nabi itu bermacam-macam. Ada yang melalui jalan dzikir seperti yang ditempuh sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Ada yang melalui jalan ilmu Al-Quran seperti yang ditempuh Abdullah bin Mas'ud dan Abdullah bin Abbas ra. Ada pula yang melalui jalan berbisnis dengan tujuan ibadah seperti yang ditempuh — Abdurrahman bin Auf ra.
Blusukan di pasar bukan hal baru baginya. Karena, selama jadi khadim Kyai Shaliah ia biasa belanja ke pasar. Skripsi yang ia tulis juga tentang pasar, jadi cukup mudah bagi Faris mendapatkan informasi yang diinginkannya, termasuk informasi tentang tukang pijat syaraf dan tukang bekam profesional. Dari penjual obat herbal di pojok pasar, ia mendapatkan nomor kontak kedua ahli pengobatan alrernatif itu.
Terakhir, Faris mencari ponsel bekas. Di sebuah toko ia mendapatkan ponsel android bekas seharga Rp470 ribu, sudah dengan bonus sim card. Ponsel yang sederhana, yang paling penting bisa untuk mengirim dan menerima SMS, juga bisa memakai aplikasi pesan, dan buka email. Ponsel itu juga punya fasilitas foto, meskipun hanya 3,5 megapiksel saja, Ia jadi ingat, komunikasi paling penting adalah dengan keluarganya. Kalau hanya dirinya yang punya ponsel, maka menjadi tidak maksimal manfaatnya.
Ia lalu membeli satu ponsel lagi yang lebih sederhana, yang fungsinya hanya menelepon, serta mengirim dan menerima pesan tertulis atau SMS. Ia mendapatkannya dengan harga Rp120 ribu, ditambah sim card menjadi Rp145 ribu. Ponsel itu akan diberikan kepada Siti, agar jika ada apa-apa mudah komunikasinya.
Siang itu juga Faris berhasil menjumpai tukang pijat, langsung di rumahnya. Tukang pijat itu bernama Pak Sukir. Dia juga berprofesi sebagai guru olahraga di SMP negeri. Dilihat dari hiasan di ruang tamunya, lelaki setengah baya yang kekar itu merupakan sosok yang religius. Dari perbincangan panjang, akhirnya Faris juga tahu bahwa Pak Sukir adalah seorang pendekar tapak suci..
Faris menceritakan dengan detil kondisi kakeknya, juga mengisahkan pengalaman ikhtiar kerabat istri Bang Iqbal. Mendengar semua itu, Pak Sukir bersedia untuk membantu pengobatan Kakek Mihun. Bahkan, Pak Sukir ingin melihat kondisinya hari itu juga.
"Kebetulan saya lagi kosong hari ini. Apakah saya bisa diantar ke Pondok Melati dan nanti diantar ke rumah saya lagi?"
"Dengan senang hati, Pak Sukir. Terima kasih atas kebaikannya."
Hari itu Pak Sukir melihat dengan saksama kondisi Kakek Mihun. Lelaki kekar itu menghela napasnya, "Saya akan coba telateni seminggu dua kali. Bang Faris jemput saya setiap Selasa malam jam delapan, dan Jum'at malam pada jam yang sama."