Chereads / Perjalanan Rindu / Chapter 18 - BAB18

Chapter 18 - BAB18

Kyai berjenggot putih tipis itu menjelaskan beberapa rencana ke depan. Saat itu sudah berdiri dua gedung, masing-masing dua lantai adalah pesantren mahasiswa. Ada dua ratusan santri. Fokus utamanya adalah menghafal AlQuran.

Faris pernah mendengar perjalanan hidup Kyai Buyung—atau kadang dipanggil Bang Buyung—hingga akhirnya berdomisili di Kota Singgalang. Ia mendengar ceritanya dari Bang Iqbal sambil membakar ikan di depan saung. Bang Buyung sebagai putra sulung Kyai Shaliah sebenarnya digadang gadang oleh Kyai Shaliah sebagai penerus yang akan memegang Pesantren Terpadu Singgalang. Namun Bang Buyung terpikat dengan gadis dari Singgalang, ia adalah salah satu peserta rombongan umroh yang dibimbingnya saat ia masih menjadi mahasiswa di Solok.

Bang Buyung menyelesaikan pendidikan dasar hingga Tsanawiyyah di Padang Panjang, lalu melanjutkan Aliyah di kota Padang, kemudian menghafalkan Al-Quran di Bandung, Jawa Barat. Ia kemudian melanjutkan kuliah di IAIN di kota padang jurusan Tafsir. Sampai selesai S1, Bang Buyung belum mau menikah. Kemudian ia malah memilih melanjutkan S2 di Universitas Sunan Kalijaga.

Saat kuliah di Sana, ia sudah beberapa kali pergi umroh. Suatu ketika ia mendapat tawaran dari sebuah travel untuk ikut membimbing jamaah umroh Ramadhan. Di antara jamaah itu adalah rombongan dari Kota Singgalang, keluarga seorang saudagar kaya bernama Haji Zainuddin. Satu rombongan itu ada empat belas, termasuk anak putri satu-satunya bernama Nur Halimah yang sedang kuliah di Fakultas Kedokteran di Singgalang. Bang Buyung berusaha membimbing dan melayani seluruh jamaah sebaik-baiknya secara maksimal tanpa membeda-bedakan.

Dua bulan setelah itu, tepat dua hari sebelum ia sidang munaqosah masternya, ia mendapat telepon dari Haji Zainuddin yang menanyakan kabar kuliah dan lain sebagainya. Ia tidak punya firasat apa-apa, lalu mengabarkan bahwa dua hari lagi ia akan menghadapi munaqosah master dan meminta doanya. Haji Zainuddin menanyakan jadwal kembalinya ke Indonesia. Kebetulan ia memang sudah beli tiket untuk pulang setengah bulan setelah munaqosah. Haji Zainuddin berpesan agar dirinya berkenan mampir ke Kota Singgalang saat pulang.

Maka, ia pun mampir ke rumah saudagar yang sangat dermawan itu. Hal yang sangat mengejutkan adalah Haji Zainuddin menanyakan kesediaannya menikahi putri kesayangannya, yaitu Halimah.

"Anak saya empat. Tiga lelaki dan satu perempuan. Dua hidup di Surabaya dan jadi pengusaha di sana. Satu di Bandung jadi anggota dewan. Dan tinggal Halimah yang menemani saya. Jujur di hari tua ini, saya mendambakan bisa dekat dengan santri. Tiap hari bisa ikut mengaji. Atau paling tidak mendengarkan mereka mengaji. Semua anak saya belajar di sekolah umum, demikian juga Halimah. Tapi saya lihat Halimah suka dengan kegiatan keislaman bersama teman-temannya. Dan saya sudah bicara sama dia, bagaimana kalau mencari suami nanti seorang santri, bukan dokter atau pengusaha? Dia bilang, selama itu pemuda yang saleh dia mau. Selama umroh kemarin itu saya perhatikan betul tingkah Halimah, dia benar-benar memperhatikan dan antusias mengikuti semua petunjuk dan tausiah Nak Buyung. Bahkan saat sudah pulang ini, dikit-dikit dia bilang, 'Kalau menurut Ustadz Buyumg begini.' Saya terpikir meminta Nak Buyung menjadi anak menantu saya, sekaligus berdakwah di sini. Semua anak saya sudah saya beri bagiannya, yang ada di sini milik Halimah dan semuanya boleh dimanfaatkan untuk berdakwah."

Saat itu Bang Buyung tidak bisa menjawab, ia minta waktu untuk bermusyawarah dengan keluarga. Kyai Shaliah menanggapi positif dan langsung mengontak Haji Zainuddin untuk datang ke Bukit Tinggi. Haji Zainuddin terkejut ketika datang ke Bukit Tinggi. Ia kaget bahwa yang ia minta jadi menantu adalah putra kyai besar. Selama berada di tanah suci, Bang Buyung sangat rendah hati dan tidak pernah cerita kalau dia adalah seorang putra kyai. Saudagar kaya itu sampai merasa bersalah karena ia sering menyuruh-nyuruh Bang Buyung untuk membelikan ini dan itu. Maka Haji Zainuddin meminta maaf kepada Kyai Shaliah atas kelancangannya berani meminta Bang Buyung untuk jadi menantu.

"Pak Haji tidak salah, tidak perlu minta maaf. Saya kalau lihat pemuda saleh yang cocok buat putri saya juga akan melakukan hal yang sama dengan Pak Haji. Secara pribadi saya sangat mendukung anak saya, Buyung, untuk membuka pesanten di Singgalang. Keputusan sepenuhnya ada di tangan dia."

Bang Buyung akhirnya bersedia. Kepada umminya ia mengakui, bahwa sesungguhnya saat di tanah suci sudah ada semacam perasaan pada Halimah tapi ia berusaha menjaga hatinya.

Sebulan sesudah itu mereka menikah. Dan sejak itu Bang Buyung merintis pesantren di samping rumah mertuanya, tepatnya kira-kira dua kilometer sebelah utara UNILA.

Bang Buyung juga membantu mertuanya mengembangkan bisnisnya. Bahkan Bang Buyung membuka travel haji dan umroh yang berkembang pesat.

"Nanti kalau ada waktu, kapan-kapan kau ikut manasik umroh ya. Kau bisa buka cabang perwakilan di tempatmu."

"Tempat saya itu pelosok desa, Kyai."

"Coba nanti kapan-kapan aku tinjau, biar tahu kemungkinannya. Oh ya, apa yang paling kamu perlukan saat ini?"

"Tidak perlu apa-apa, Kyai. Doanya saja."

"Kata Husna kamu tidak punya nomor telepon ya?"

"Iya Kyai. Kan kegiatan saya di Bukit Tinggi ya seputar ndalem, kolam ikan, dan mendampingi Pak Kyai, cuma sesekali saja ke kampus. Ndak begitu memerlukan telepon."

Saat itu mereka berjalan di dekat garasi yang luas. Ada sepeda motor tua teronggok di sana.

"Itu motor siapa, Kyai?" .

"Motor saya, motor tua. Sudah lama tidak saya pakai. Banyak ditawar orang tidak saya lepas, karena itu motor kenangan saat kuliah di Surabaya dulu. Itu motor belinya bareng motor tua yang ada di Bukit Tinggi kalau masih ada."

"Masih ada Kyai, itu jadi motor dinas saya. Motor itu masih bisa jalan, Kyai?"

"Wah tidak tahu, sudah lama tidak saya pakai. Oh ya, kamu perlu motor ya. Gini aja, coba kamu tes bisa dinyalakan atau tidak. Kalau tidak, coba kamu bawa ke bengkel. Di sebelah kanan rumah ini ada bengkel. Nanti biayanya bilang suruh nagih ke saya. Cuma tiga ratus meter dari sini. Setelahnya, motor itu bisa kamu pakai."

Wajah Faris langsung bersinar. Setelah menerima kunci dari Kyai Buyung, ia melihat kondisi motor itu. Setelah diisi bensin, motor itu tidak juga bisa dinyalakan. Businya ia coba bersihkan juga tetapi tetap tidak bisa nyala. Akhirnya ia bawa ke bengkel.

"Ada beberapa onderdil yang harus diganti. Kalau ditinggal bagaimana, Bang?"

"Bisa diusahakan jadi hari ini nggak, Bang? Penting soalnya, mau dipakai!"

"Paling cepet jam tiga sore jadinya."

"Tidak apa, saya tunggu. Nanti jam tiga saya ke sini lagi."