Husna lalu mengajak minum teh panas di sebuah kafe. Beruntung masih ada meja dan kursi yang kosong. Faris mempersilakan Husna duduk.
"Biar saya yang pesan. Teh manis saja? Atau mau roti? Atau mie rebus?"
"Nggak. Teh manis panas saja."
Faris pun bergegas memesan minuman. Tak jauh dari situ ada tiga pemuda yang terus mengamati Husna. Husna sadar kalau dia sedang dilihati oleh tiga pemuda itu, tapi ia diam saja. Ketika Faris datang membawa dua gelas plastik berisi teh panas, tiga pemuda itu masih terus memandangi Husna. Faris menangkap ada ketidaknyamanan pada wajah Husna. Ia langsung tahu penyebabnya. Faris merasa tiga pemuda itu seperti serigala yang sedang memandangi mangsanya. Hati Faris membara. Ingin rasanya ia mencolok mata mereka.
"Dek Husna, yuk kita cari tempat lain yang lebih nyaman. Bawa tehnya."
"Iya, Bang."
Faris melangkah diikuti Husna. Faris melihat tempat istirahat lesehan tapi berbayar.
"Di lesehan mau, Dek?"
"Boleh, Bang."
Mereka mencopot sepatu dan memasuki ruangan istirahat di lesehan itu. Ruangan itu cukup luas. Sudah ada banyak orang di sana. Sebagian duduk-duduk, sebagian rebahan. Husna memilih tempat dekat dinding yang masih kosong, sehingga ia bisa duduk bersandar. Di dekat situ ada seorang ibu-ibu tua yang sudah duduk menyandar memejamkan mata. Husna duduk dengan hati-hati dan mengambil sedikit jarak agar tidak mengganggu istirahat ibu-ibu tua itu.
Faris menyeruput tehnya dengan kepala menunduk. Selama ini ia tidak berani memandang langsung wajah Kyai Shaliah dan keluarganya, sebagai bentuk penghormatannya. Demikian juga pada Hisna. Menghormati anak guru adalah bagian dari menghormati guru.
Husna mengeluarkan biskuit dari tas ranselnya. Ia mengambil biskuit itu, mencelupkan ke dalam teh panasnya, kemudian mengunyahnya.
"Bang, ambil!" Husna mengulurkannya. Faris mengangkat kepalanya. Ia melihat uluran tangan Husna yang membawa biskuit sekaligus melihat lurus wajah Husna. Ia mengangguk dan mengambil sepotong dan langsung mengunyahnya. Husna kembali mengambil sepotong, mencelupkan ke dalam teh panas baru melahapnya.
"Mau lagi, Bang."
"Udah cukup." Faris memandang wajah Husna sekilas. Putri kyainya itu memakai jilbab merah muda motif batik mega mendung. Berjaket hijau daun dan memakai celana kulot warna hitam. Ia baru menyadari bahwa gadis yang ada di hadapannya itu memiliki pesona kecantikan yang jauh di atas rata-rata perempuan biasa. Itulah sebabnya kenapa dua pemuda di kafe itu memelototinya seolah mau menerkamnya. Jika mendapatkan kesempatan, dua pemuda dengan mata jalang itu bisa benar-benar menjadi serigala. Ia tidak sedang berburuk sangka, tapi di dalam perjalanan sikap waspada adalah bijaksana.
"Dek Husna bisa tidur di sini. Bisa tidur dua jam, lumayan. Insya Allah aman. Saya akan berjaga."
"Iya, Bang." . .
"Tapi saya ke toilet dulu ya, Dek. Titip ransel saya."
"Oke."
Faris menyeruput tehnya, lalu bangkit bergegas meninggalkan ruang istirahat lesehan itu. Selain ke toilet, sebenarnya Faris ingin salat tahajjud dan witir, meski cuma tiga rakaat. Ia merasa Hisna telah ia letakkan di tempat yang aman dan nyaman.
Sepuluh menit kemudian ia kembali. Ia kaget tidak mendapati Husna di tempat ia tinggalkan tadi. Ibu-ibu tua itu masih tidur dengan Ielap, tapi Husna tidak ada di situ. Justru dua pemuda bermata jalang yang ada di situ. Yang membuat ia kaget, mereka memegang gelas kertas berisi teh miliknya dan milik Husna. Emosinya menyala. Tapi ia tidak boleh gegabah sebelum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Faris mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ia mendapati Husna duduk mendekap dua tas ransel di pojok ruangan di antara dua ibu setengah baya yang sedang memejamnya mata. Husna seperti membuat benteng pertahanan. Di belakangnya dinding ruangan, kanan kirinya ibu-ibu tua, dan di depannya ia dekap dua tas ransel.
Faris lalu mendekati Husna. Wajah gadis itu tampak memerah marah dengan air mata meleleh. Melihat wajah putri kyainya seperti itu, amarah Faris membuncah.
"Apa yang terjadi, Dek?"
"Husna diganggu dua orang itu," kata Husna: menahan isak.
Tanpa bertanya lagi, Faris bangkit menghampiri dua pemuda yang sedang menyeruput teh miliknya dan milik Husna. Mereka melihat kedatangan Faris dengan tenang. Mereka meremehkan Faris karena yakin pemuda yang datang itu sebenarnya ketakutan sejak saling pandang di kafe. Melihat orang lain ketakutan, mereka semakin senang, seperti serigala melihat ayam ketakutan. Karena itulah mereka berani nekat mendatangi Husna saat sendirian. Sambil melangkah mendekat, Faris sudah memperhitungkan dengan matang gerakan apa yang harus ia lakukan dengan cepat jika diperlukan. Satu-dua gerakan yang paling efektif melumpuhkan lawan. Dua pemuda bermata jalang beraket kulit itu duduk bersila. Faris mendatangi mereka dan berjongkok tenang—meski sesungguhnya itu adalah kuda-kuda "Harimai Duduk Mengamuk'".
"Kalian apakan adikku itu?" tanya Faris tenang.
"Kami cuma mau ngajak ngobrol, hehe...."
"Dan kami minta teh ya, sedikit."
"Eh, tapi pelit sekali dia. Tidak dikasih. Ya kami colek dikit, eh dia..."
Belum sempat melanjutkan omongannya, Faris melancarkan tendangan dengan cepat dan kuat ke rahang pemuda yang satu.
Bruk! Kruk!
Tumit Faris menghantam rahang dan pemuda itu pingsan seketika. Pemuda satunya kaget bukan kepalang. Faris tidak memberi kesempatan kepada pemuda satunya sadar penuh, ia langsung menonjok leher pemuda itu dengan keras.
"Ughh!" Pemuda itu juga pingsan. Faris mengerahkan tiga perempat kekuatannya, berhati-hati agar mendapat hasil maksimal tanpa membuat nyawa mereka melayang.
Dari tempat duduknya Husna melihat apa yang dilakukan Faris. Santri dari Kota Singgalang itu marah besar kepada dua orang yang berani mengganggu dan mencolek putri kyainya. Faris meraih tangan kanan dua pemuda itu dan mematahkannya. Ia berjaga, jika mereka terbangun nanti tidak akan bisa macam-macam lagi dan agar menjadi sebuah pelajaran berharga. Faris lalu memanggil keamanan kapal untuk mengamankan dua pemuda jalang itu. Dua orang sekuriti datang saat kedua penjahat itu menggeliat bangun dan merasa kesakitan.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya sekuriti.
"Kami tidak melakukan apa-apa, Pak. Justru kami ini korban. Anak muda ini menganiaya kami tanpa sebab."
"Bohong, Pak. Dia berlaku kurang ajar sama saya!" sengit Husna.
Tiba-tiba datang seorang ibu-ibu tua berkerudung biru maron bersama seorang anak muda bertubuh tegap.
"Kayaknya dia itu Nak, yang ambil hape ibu!" kata ibu berkerudung itu.
"Tolong periksa jaket dan saku mereka, Pak!" pinta pemuda bertubuh tegap.
Mereka menemukan ponsel putih keluaran terbaru.
"Benar! Itu hape saya!" teriak ibu itu.
Dengan muka memerah, anak muda bertubuh tegap yang tak lain anak ibu itu langsung menghampiri dua penjahat itu dan memukulinya berkali-kali. Sekuriti seperti membiarkan penjahat itu dihajar. :
"Sudah cukup, Bang, biar mereka kami amankan?"