Chereads / Perjalanan Rindu / Chapter 13 - BAB 13

Chapter 13 - BAB 13

Ketika pengajian usai dan nyaris sudah tengah malam, hujan pun turun. Bang Iqbal hendak melewati jalan yang sebelumnya dilewati, tapi Kyai Shaliah melarangnya. Dia minta agar lewat jalan memutar yang selain lebih jauh juga dan lebih berbahaya, karena ada beberapa ruas yang di kanan kirinya adalah jurang.

Kyai Shaliah tetap memaksa melewati jalan memutar itu. Lalu Bang Iqbal ekstra hati-hati mengemudikan mobil hingga akhirnya sampai di Pesantren Terpadu tepat saat adzan Shubuh berkumandang. Perjalanan itu telah memakan waktu lebih dari empat jam, padahal kalau lewat jalan biasa hanya memakan waktu sekirar dua jam. Dalam hati ia sempat menyalahkan Kyai Shaliah. Tapi tidak lama kemudian, ia mendengar sebuah berita bahwa ada bencana tanah longsor. Beberapa rumah dan dua buah mobil yang lewat di daerah itu tertimbun. Bencana itu terjadi di jalan biasa yang ingin mereka lewati saat pulang dari pengajian. Kejadiannya di perkirakan tepat pukul setengah satu, saat hujan turun begitu derasnya. Jika mereka jadi lewat daerah itu, maka mereka mungkin akan ikut terkena tanah longsor tersebut. Sejak saat itu ia tidak berani membantah ucapan Kyai Shaliah.

Ia masih penasaran, apakah Kyai Shaliah diberi tahu orang tentang kakeknya yang sakit, atau itu firasat seorang kyai yang begitu dekat dengan Allah? Nanti jika sudah sampai di kampung halamannya, ia akan segera mencari informasi apakah ada yang memberitahu Kyai Shaliah. Tapi yang jelas, kini ia tahu kenapa ia harus pulang. Kakeknya sudah dua bulan sakit dan tidak bisa apa-apa. Sakit apakah kakeknya itu? Apa maksud tidak bisa apa-apa?

Ia langsung terbayang wajah kakeknya, sosok pengganti almarhum ayah yang mendidiknya dengan penuh kasih sayang sejak ia masih kecil. Yang memaksanya untuk belajar di pesantren pun juga kakeknya. Ia masih ingat betul kata-kata sang kakek saat membujuknya agar mau diantar ke pesantren.

"Anak panah kalau tidak dilepas dari busurnya, maka ia tidak akan pernah sampai pada sasarannya. Demikian juga manusia, jika tidak berani merantau untuk mencari ilmu maka dia tidak akan pernah meraih kegemilangannya. Kamu harus belajar, jauh, merantau, agar banyak pengalaman yang kamu dapatkan. Dan kenapa harus di pesantren? Itu karena kamulah satu-satunya harapan untuk memenuhi wasiat almarhum kakek buyutmu, ayah dari nenekmu. Sebelum beliau meninggal, kakek buyutmu telah berpesan, bahwa anak cucunya nanti harus ada yang belajar di pesantren agar nanti bisa memakmurkan masjid yang didirikannya."

"Dan saat ini harapan untuk memenuhi wasiat kakek buyutmu adalah kamu, Faris. Almarhumah ibumu pasti juga akan sangat bahagia dan bangga kalau anaknya menjadi anak yang saleh, pintar mengaji, dan juga pintar baca kitab kuning."

Kekeknya juga memakai almarhumah ibunya untuk melunakkan hatinya. Dan dirinya memang akan luluh kalau sosok itu sudah disebut. Ibunya wafat saat ia baru kelas lima SD karena demam tinggi. Satu hari sebelum berpulang, ibunya sempat berpesan agar dirinya jadi anak yang saleh dan tidak membantah nasihat kakek dan neneknya. Ia selalu meneteskan air mata setiap kali ia teringat wajah almarhumah ibunya.

Akhirnya ia pun mau ke pesantren. Sekitar delapan tahun yang lalu, kakeknya sendiri yang mengantar dirinya ke Bukit Tinggi. Ia masih begitu ingat, itu adalah dua hari setelah ia mengambil ijazah sekolah menengah pertamanya. Ia merasa kalau pesantren yang dituju itu sangat jauh sekali, tapi ia tidak pernah protes sedikit pun. Ia percaya kakeknya pasti memilihkan pesantren yang baik baginya.

Setelah dua tahun berada di pesantren, ia pun bertanya kepada kakeknya, kenapa memilih Pesantren Terpadu yang diasuh Kyai Shaliah. Kakeknya menjawab bahwa yang dipilih bukan Pesantren Terpadunya, tetapi Kyai Shaliahnya. Kakeknya bercerita bahwa ia pernah mendengar dari seorang kyai dari daerah Tanah Hitam bahwa Kyai Shaliah—atau lengkapnya Kyai Saliah Abdul Rozak yang berasal dari kota Serambi Mekah Padang Panjang—adalah seorang kyai yang begitu ikhlas, seorang pendidik yang penuh dengan kasih sayang. Mendengar itu, kakeknya pun ingin cucunya diasuh oleh orang yang ikhlas dan penuh kasih sayang itu.

"Kakek memilihkan guru untukmu, bukan memilihkan gedung pesantren atau desa di mana pesantren itu berdiri. Sama kalau kau belajar Silat Harimau tuo misalnya, pertama yang harus kau cari itu kehebatan ilmu sang guru silat itu, bukan kemegahan bangunan pedepokannya."

Kini ia pun tahu bahwa kakeknya telah membuatnya berguru pada sosok yang tepat, yang sekaligus di pesantren yang tepat. Pesantren itu terletak di Bukit Tinggi bagian selatan, di kaki Gunung Merapi yang sejuk. Airnya jernih, udaranya pun bersih. Warga sekitar pesantren juga ramah-ramah.

Di pesantren itu ia langsung masuk Madrasah Sanawiyah. Konsekuensinya, ia sangat ketinggalan dalam ilmu agama dan bahasa Arab dari para siswa yang sudah masuk pesantren sejak lulus SD. Ia juga menyadari bahwa ia bukan orang yang sangat cerdas, tetapi bukan juga orang yang bebal. Selama di SD dan SMP ia selalu masuk sepuluh besar terbaik, walaupun tidak pernah masuk tiga besar. Prestasi terbaiknya adalah lima besar di nilai kelulusan sekolah menengah pertama. Karena itu ia memasang strategi untuk bisa mengejar ketertinggalannya itu.

Setiap masing-masing siswa diminta untuk memilih dua kegiatan ekstra kurikuler. Sebenarnya ia sangat tertarik dengan Karya Ilmiah Remaja, tetapi ia harus mengejar ketertinggalannya di sisi ilmu untuk membaca kitab. Beruntung ada ektrakurikuler membaca kitab, meski sedikit peminatnya karena dianggap sangat membosankan. Tetapi karena itu yang ia cari, maka Faris pun memilihnya. Ektra kurikuler kedua adalah kegiatan pramuka. Ia memilihnya karena ia sudah sangat menguasainya, bahkan pernah berprestasi dalam kejuaraan Nasional, dengan demikian ia tidak perlu lagi banyak mikir. Pikirannya bisa ia curahkan sepenuhnya untuk mengejar pembelajaran membaca kitab kuning.

Dengan usaha yang mati-matian, akhirnya saat masuk kelas tiga Madrasah Sanawiyah, ia sudah sama baiknya dengan para santri yang dinilai fasih dalam membaca kitab kuning. Ia bahkan ikut lomba membaca Kitab Fathul Mu'in antar pesantren sekabupaten Bukit Tinggi, walaupun tidak menang.

Setelah tiga tahun lamanya, ia pun akhirnya lulus Madrasah Sanawiyah dan pulang ke kota Singgalang. Sebenarnya ia ingin melanjutkan kuliah di UIN Kota Padang, tetapi kakeknya berterus terang bahwa tidak bisa membiayainya. Tapi kakeknya ingin dirinya tetap belajar. Maka kakeknya mengantarkannya kembali ke Persantren Terpadu yang di asuh oleh Kiyai Shaliah dan menyerahkannya kembali kepada Kyai Shaliah tersebut untuk menjadi khadim, mengabdi kepada Kyai Shaliah. Sejak saat itu ia belum pernah pulang sampai diajak sarapan oleh Kyai Shaliah dan diminta pulang kemarin.

Menjadi seorang Khadim ulama besar seperti Kyai Shaliah adalah proses belajar yang melebihi sekadar membaca kitab. Ia banyak mendapatkan hikmah, keteladanan, juga kearifan dalam bentuk nyata.