"Bang Faris, saya mau tidur ya, lumayan bisa lelap dua jam. Kalau naik kereta saya bisa tidur nyenyak. Naik mobil pribadi juga bisa, tapi entah kenapa kalau naik bis saya tidak bisa tidur. Jadi sekarang saya akan tidur, karena nanti malam pas naik bis kemungkinan saya tidak bisa tidur."
"Silakan, Dek." "
"Nanti kalau keretanya sudah mau sampai tolong dibangunkan, jangan pas sudah sampai. Pusing nanti kepala saya, baru bangun sudah harus cepat-cepat turun."
"Baik, Dek. Silakan tidur yang nyaman. Sebelum tidur jangan lupa membaca doa safar"
"Iya, Bang."
Husna lalu menutup tirai jendela kereta, mengatur kursinya untuk lebih rebahan dan memasang bantal berbentuk seperti roti donat di lehernya. Kereta belum berangkat, tapi putri bungsu Kyai Shaliah itu sudah tertidur lelap. Suara dengkurnya terdengar lirih.
Setelah Husna pulas, keharuan Faris meledak. Mata pemuda itu berkaca-kaca. la menyadari dirinya ada di dalam kereta, duduk di samping putri bungsu kyainya. Ia telah meninggalkan pesantren dan sedang menuju pulang. Inilah hidup, tidak ada yang tetap selamanya. Ia tidak mungkin terus tinggal di pesantren dan jadi santri sepanjang hayatnya.
Matahari terus berputar pada garis edarnya. Bumi pun berputar pada porosnya. Siang dan malam datang dan pergi secara bergantian. Ia lalu teringat nasihat Sikakek Kyai Shaliah dalam salah satu pengajiannya.
"Santri-santriku yang kusayangi, dalam peerjalanan mengarungi kehidupan dunia ini, jadilah kalian orang-orang yang penuh rindu. Orang-orang yang rindu pulang. Jadilah seperti orang yang berkelana dan sangat rindu untuk segera pulang bertemu keluarganya. Orang yang didera rasa rindu untuk segera pulang, tentu berbeda dengan orang yang tidak merasa rindu, meskipun mereka sama-sama bepergian. Orang yang didera oleh rasa rindu, tidak akan membuang-buang waktunya di perjalanannya, ia ingin segera cepat-cepat sampai rumahnya. Karena, ia ingin segera bertemu dengan orang-orang yang dicintainya. Sebaliknya, orang yang tidak merasa rindu, mungkin dia akan mampir di satu tempat dan berlama-lama di situ, jadinya banyak waktu yang terbuang dan sia-sia.
Sesungguhnya kita seperti orang yang bepergian di dunia ini, orang yang dalam perjalanan. Dunia ini bukanlah tujuan kita. Tujuan kita adalah Allah. Kita harus memiliki rasa rindu yang sangat mendalam kepada Allah. Dan Allah akan membalas dengan kehangatan rindu dan ridha-Nya yang tiada bandingannya."
Ia merasa sangat beruntung mendapat didikan Kyai Shaliah. Lebih dari itu, ia merasa sangat beruntung telah menjadi khadim yang sangat dekat dengan kyainya itu. Ada begitu banyak pelajaran yang ia dapatkan selama berkhidmah dan mendampingi Kyai Shaliah, yang mungkin tidak akan mudah didapat oleh santri biasa. Tiba-tiba ia merasa harus berterima kasih kepada kakeknya. Kakeknyalah yang memintanya tetap di pesantren untuk menjadi khadim Kyai Shaliah setelah lulus Di Sanawiyah.
Suara peluit terdengar melengking, tanda kereta api siap untuk berangkat. Beberapa detik kemudian kereta api ekspress jurusan Pariaman-Padang itu berangkat. Lirih suara dengkur Husna sudah tidak terdengar lagi, kalah oleh deru suara kereta.
Faris kembali pada kesadaran bahwa itu adalah perjalanannya untuk pulang. Pulang untuk segera berjumpa dengan keluarganya, orang-orang yang sangat dicintainya. Sudah hampir empat tahun ia tidak pulang ke kampung halamannya itu. Ia taati pesan kakeknya agar tidak pulang kalau tidak disuruh oleh Kyai Shaliah pulang. Tiga kali hari raya Idul Fitri ia rayakan bersama keluarga besar kyainya. Ia menjadi salah satu khadim yang melayani ribuan masyarakat yang bersilaturrahim pada kyainya.
Dan kini, ia akan segera menemui keluarganya. Tiba-tiba rasa bahagia menyusup dan menjejeri rasa sedihnya. Ia bahagia akan bertemu keluarga dan ia pun juga sedih karena berpisah dengan kyai dan teman-teman seperjuangannya di pesantren. Terbayang olehnya wajah keluarganya, Nenek Masna, Kakek Mihun, Nenek Sulis, Siti adik sepupunya yang selalu ceria, dan Titan yang masih balita saat ia tinggalkan dua setengah tahun yang lalu.
Ah! Ia baru ingat bahwa ada surat dari Siti yang belum ia baca. Surat itu diberikan oleh Bang Fauzi tepat ketika ia sudah masuk ke mobil Bang Pando dan siap berangkat ke stasiun.
Bang Fauzi sampai berlari mengejarnya. Katanya, surat itu baru saja diterima dari petugas pos. Ia langsung memasukkan surat itu ke dalam tas ranselnya, karena saat itu ia sedang berjuang melawan rasa harunya yang begitu mencekam. Bertahan untuk tidak meneteskan air mata.
Faris meraih tas ranselnya dan mengambil surat tersebut. Amplopnya ia sobek perlahan-lahan. Ada selembar kertas di sana. Isi surat itu singkat dan lugas, ditulis dengan tulisan tangan yang rapi dan bagus.
"Menjumpai Uda Muhammad Al-Farisy Yang kami rindukan di Pesantren Terpadu Bukit Tinggi
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Mohon maaf Uda, terpaksa Siti tulis surat ini. Mohon maaf kalau kedatangan surat ini telah mengganggu belajar Uda. Siti berharap Uda sehat dan baik selalu. Siti tidak bisa basa-basi, langsung saja ya. Kakek Munarmihun sakit, sudah dua bulan, dan tidak bisa apa-apa. Siti mohon agar Uda segera pulang menjenguk. Siti sangat berharap Kakek Mihun bisa sembuh lagi, tapi jika Allah berkehendak lain, setidaknya Uda sempat melihat wajah kakek saat Beliau masih hidup.
Ini saja kabar dari kami di Singgalang. Segera pulang, kami menunggu Uda. Mohon maaf kalau ada salah kata.
Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
Adikmu, Siti Nury"
Setelah selesai membaca surat itu, tubuh Faris tiba-tiba gemetar. Itukah alasan kenapa Kyai Shaliah menyuruhnya pulang? Karena kakeknya sakit? Tapi bagaimana Kyai Shaliah bisa tahu kalau kakeknya sedang sakit? Bukankah surat itu baru sampai tadi tepat ketika ia mau berangkat ke stasiun? Apakah Siti atau orang di kampungnya ada yang menelepon ke Kyai Shaliah untuk memberitahu keadaan kakeknya? Tapi siapakah yang tahu nomor telepon pesantren? Beberapa waktu ini saluran telepon sedang dalam gangguan. Atau melalui nomor ponsel salah satu pengurus pesantren? Hanya beberapa orang yang memegang ponsel di pesantren itu, kalau ada kabar dari kampungnya pasti ia segera diberi tahu.
Tiba-tiba pertanyaan-pertanyaan itu muncul begitu saja dalam benaknya.
Kenyataan bahwa Kyai Shaliah punya semacam firasat yang tajam sudah beberapa kali ia saksikan langsung. Misalnya pada suatu waktu ketika ia pernah mengawal Kyai Shaliah mengisi pengajian di sebuah kampung di pelosok Koto tuo. Kampung itu harus dicapai dengan melewati hutan dan jalan bebatuan. Ada dua jalan ke sana, yakni jalan biasa yang kondisinya agak baik dan lebih pendek, ada yang lebih berbatu-batu dan memutar. Walaupun berbatu-batu, tapi jalan itu masih bisa dilewati oleh mobil dengan pelan-pelan.
Saat berangkat ke kampung itu, Bang Iqbal yang mengemudi mobil memilih jalan biasa dan sampai di tempat tepat pada waktunya.