"Panjang umur, itu Fatmawati. Baru kita omongin, eh ia langsung datang."
Sesaat kemudian seorang perempuan muda yang berpenampilan modis, bercelana jin, mengenakan jas kasual warna abu-abu muncul.
"Assalamu'alaikum semuanya."
"Wa 'alaikumussalam."
"Ayo Mbak, langsung makan aja."
"Iya, kebetulan aku laper banget nih."
"Syahrul mana?"
"Dia nemeni tamu dari Singapura makan malam di Rumah Makan Mak Hitam. Aku capek, lebih milih pulang aja. Eh Net, jadi gimana kuliahmu? Everythings okay?"
"Semua baik dan beres, Mbak. Aku lagi kirim paper ke Jerman, kalau diterima maka aku akan ikut presentasi di pertemuan mahasiswa kedokteran di sana. Doakan ya, Mbak."
"Selalu. Setiap saat Mbak tidak pernah melupakan mendoakan adik Mbak yang tersayang satu-satunya."
"Terima kasih, Mbak."
"Bahkan, seandainya, ini seandainya lho ya. Seandainya paper kamu ditolak, kalau kamu mau , tetap saja berangkat ke sana. Nanti Mbak temani. Kita keliling Eropa. Kamu lihat-lihat saja pertemuan itu, sementara Mbak akan jualan produk kopi kita ke Eropa."
"Mbak serius?"
"Ya serius lah. Apa sih yang tidak untuk adikku tersayang?" Fatma tersenyum lebar seraya menatap adiknya.
"Terima kasih, Mbak Fatmaku yang baik. Eh, by the way, kapan Mbak Fatma akad nikahnya dengan Bang Syahrul? Ini Ibu sudah ingin punya cucu."
"Ah, itu lagi yang dibahas."
"Bukan begitu Fat, Ibu memang ingin sekali punya cucu. Ingin nimang cucu. Mumpung Ibu masih bernapas."
"Ibu tenang saja, jika waktunya tepat kami akan segera menikah. Lagian, Bang Syahrul masih belum siap katanya, dan saya sendiri juga belum benar-benar siap."
"Neti mengingatkan, sebentar lagi Mbak Fatma sudah kepala tiga lho ya."
"Saya nggak peduli sama umur."
"Kalau terlambat, nanti Mbak Fatma sudah tua sementara anaknya masih kecil-kecil. Bahkan kalau sampai sangat terlambat dan menopause, Mbak Fatma bisa tidak punya anak lagi."
"Aku catat. Nanti aku bicarakan dengan Bang Syahrul lebih serius.
"Alhamdulillah."
***
Setelah berputar-putar di Kota Bukit Tinggi, Husna membawa mobilnya ke Jalan Pasar Baru Bukit Tinggi. Ia mengajak Nova dan Faris makan Nasi Ramas. Faris baru tahu bahwa putri bungsu Kyai Saliah itu sangat menggemari hidangan Nasi Padang itu. Ya, menurutnya itu juga sama seperti kesukaannya juga, hanya saja lauknya diganti dengan ayam rendang. Faris memilih daging rendang. Sementara Nova memilih dendeng batokok. Ditambah dengan segelas jeruk panas, ia merasa hidangan malam itu begitu nikmat.
"Baru jam setengah sembilan. Masih sore," gumam Husna sambil melihat jam tangannya.
"Kita akan sampai di Padang sebelum jam sepuluh, insya Allah. Jalan menurun biasanya lebih lancar," sahut Faris lalu menyeruput jeruk hangatnya.
"Kita tidak akan langsung pulang. Saya mau lanjut perjalanan."
"Maksudnya?" tanya Faris heran.
"Saya mau lanjut ke Payakumbuh, ke rumah teman saya."
"Ke Payakumbuh?"
"Iya."
"Asraghfirullah, itu jauh Dek. Jangan! Bang Pando kasih amanah mengawal sampai Kota Bukut Tinggi saja."
"Saya yang pegang kemudi, jadi Bang Faris harus ikut."
"Jangan nekat gitu Dek, tolong! Saya bisa dimarahi Bang Pando. Tolong Dek, kita pulang saja ya!"
"Tidak, pokoknya saya mau lanjut ke Payakumbuh. Hanya satu jam perjalanan dari sini. Kira-kira jam sepuluh lebih dikit kita sampai. Mampir rumah teman sebentar, baru habis itu kita pulang."
"Boleh saya nelepon Bang Pando dulu, Dek?"
"Tidak usah. Di sini saya yang memutuskan! Kalau Bang Faris mau pulang silakan, saya kasih ongkos, bisa naik bis jurusan Kota Padang. Biar Nova saja yang menemani saya!"
Akhirnya Faris pun terpaksa mengalah, ia tidak kuat menghadapi watak Husna yang memang keras kepala. Bang Pando saja sudah kewalahan, apalagi dirinya. Malam itu Faris mengawal putri bungsu kyainya membawa mobil ke Kota Payakumbuh. Sepanjang perjalanan jantung Faris berdegup kencang, karena medan jalan yang lebih menantang dari perjalanan sebelumnya. Faris sangat ekstra hati-hati dan teliti memberikan instruksi. Dan perjalanan itu ternyata lebih lama dari perkiraan Husna. Tidak satu jam, tapi dua jam lebih. Mereka akhirnya tiba juga di depan rumah teman Husna yang terletak di bagian selatan Kota Payakumbuh sudah hampir jam dua belas malam. Pintu rumah itu sudah tertutup rapat dan ruang tamu tampak sudah gelap, artinya penghuninya sudah tidur. Faris menyarankan untuk tidak usah mampir, sudah larut malam, kurang etis. Husna mengikuti saran itu. Faris menawarkan agar ia yang pegang kemudi pulang ke Kota Padang, tapi Husna tidak mau.
"Dek Husna pasti sangat capek, sebaiknya istirahat. Mengendarai mobil dalam kondisi terlalu capek itu berbahaya. Biar saya saja yang menyetir."
"Tidak usah, aku tidak capek. Kalau Bang Faris mau istirahat, istirahat saja di bangku belakang. Biar Nova yang di depan menemani."
"Tidak, biar saja saya tetap menemani di depan."
Tepat jam dua belas malam mereka berangkat pulang. Ternyata perjalanan pulang lebih membuat Faris jantungan. Beberapa kali Husna seperti kehilangan fokus. Faris melihat tanda-tanda putri kyainya itu kecapean dan mulai mengantuk.
"Biar saya ganti, Dek!"
"Tidak!"
Husna tetap ngotot tidak mau diganti. Nova yang duduk di bangku belakang hanya bisa diam, meskipun jantungnya ikut berdegup kencang. Sampai terjadilah sesuatu yang nyaris mencelakakan mereka semua. Di jalan menurun daerah Baso, Husna terpejam beberapa saat, mobil sedan itu masuk ke ruas kanan melewati garis tengah jalan. Sementara itu dari arah berlawanan sebuah mobil pick up melaju sangat kencang. Faris kaget bukan kepalang. Demikian juga Nova yang melihat ke depan. Mobil yang mereka tumpangi nyaris bertabrakan dengan pick up, untung Faris dengan refleks meraih kemudi untuk menghindari tabrakan. Pick up itu membunyikan klakson dengan keras, sopirnya sangat marah dan melemparkan sumpah serapah sambil melaju kencang. Husna luar biasa kaget atas apa yang terjadi. Nova mengucapkan hamdalah berkali-kali karena selamat. Faris membawa mobil menepi lalu menarik rem tangan.
"Minggir! Saya yang pegang kemudi!" tegas Faris.
"Tidak usah, saya tidak apa-apa kok. Saya masih bisa!"
"Minggir nggak! Pindah ke belakang, kalau tidak mau, saya paksa! Kali ini tidak ada kompromi!"
"Husna, tolong ikuti permintaan Bang Faris. Kamu itu sudah ngantuk, tadi itu nyaris saja tabrakan dengan mobil pick up! Kalau bukan karena pertolongan Allah yang memberikan kegesitan kepada Bang Faris, kita semua mungkin sudah bertemu Malaikat Izrail! Kalau kamu tetap masih ngotot mau pegang kemudi, saya memilih turun dan cari tumpangan menginap di rumah penduduk dekat sini!" Kali ini Nova pun berbicara panjang.
Husna akhirnya nurut. Ia lalu pindah ke kursi belakang. Faris mengemudikan mobil sedan itu pulang ke pesantren. Rencananya untuk memperbaiki skripsi malam itu gagal total karena harus mengawal Husna yang keras kepala.