Tapi ia harus bersyukur karena Allah masih menyelamatkan nyawanya.
Mereka sampai di halaman rumah Bang pando pukul tiga dini hari. Bang Pando membuka pintu dengan wajah murka.
"Apa-apaan ini, Ris! Ke mana saja kalian, jam segini baru pulang!"
Faris diam menunduk.
"Bang Pando, Bang Faris jangan di marahi, Husna yang salah! Demi Allah dia tidak salah, Husna yang salah! Husna tadi yang maksa jalan ke Payakumbuh. Bang Faris tadi sudah melarang keras tapi tidak Husna hiraukan. Dia juga mau pinjam hp untuk nelepon Abang, tapi tidak Husna kasih. Husna yang salah! Maafkan Husna. Husna janji tidak akan mengulanginya lagi."
Bang Pando menghela napas setelah mendengar penjelasan adiknya.
"Ya sudah, yang penting kalian semua selamat. Sekarang kalian istirahat. Besok jangan sampai waktu shubuh kalian tidak bangun!"
"Kalau begitu saya pamit dulu, Bang."
"Iya. Terima kasih ya Ris."
"Iya Bang, sama-sama."
Faris mencium tangan Bang Pando, mengucap salam, lalu pergi.
***
Sekitar pukul setengah tiga dini hari. Kota padang masih tampak lengang dan sunyi. Hanya Pesantren terpadu yang mulai berdenyut ramai. Sebagian santri telah bangun, ada yang lirih mengaji, ada yang sujud pada Ilahi. Pukul setengah empat bel nyaring berbunyi. Pengurus pesantren membangunkan seluruh santri untuk bersiap mendirikan salat Shubuh berjamaah dan mengaji.
Faris hanya terlelap selama satu jam. Setengah tiga ia memejamkan mata dan setengah empat sudah harus bangun seperti biasa.
Usai wiridan shalat Shubuh, para santri langsung ikut pengajian sesuai selera dan tingkatannya. Ada yang ngaji Al-Quran di dalam masjid, dibimbing langsung oleh Bang Pando. Ada yang ngaji kitab Tagrib diampu Tuangku Farhan, menantu Kyai Shaliah. Ada yang ngaji kitab Imrithi yang digelar Bang Fauzi. Ada yang ngaji kitab Tanwirul Gulub yang langsung diasuh oleh Kyai Shaliah.
Pengajian kitab Tanwirul Gulub dirasa para santri sungguh sangat istimewa. Pertama, diajar langsung oleh Pengasuh Utama Pesantren. Kedua, diadakan di ruang Kyai Shaliah. Ketiga, terbatas hanya untuk santri senior. Tidak semua santri diperbolehkan ikut ngaji kitab Tanwirul Qulub, hanya santri dewasa dan yang sudah lulus Aliyah yang diizinkan. Walaupun tidak bisa hadir setiap pagi, Faris termasuk santri yang ikut ngaji kitab Tanwirul Qulub. Jika dirinya longgar, tidak harus ke pasar untuk membantu bagian dapur belanja, ia selalu ikut pengajian kitab itu.
Pagi hari itu adalah acara khataman kitab Tanwirul Qulub fi Muamalati Allamil Ghuyub. Para santri duduk pada lesehan di atas karpet ruang tamu, menckuri kitab, sementara Pak Kyai membacakan kitab dengan duduk di sebuah sofa. Mengikuti pengajian khataman kitab adalah kesempatan yang sangat istimewa, karena biasanya Kyai Shalia akan memberikan banyak doa penting untuk diamalkan oleh para santri, yang disebut dengan ijazah. Ijazah dari Kyai Shaliah itu sangat istimewa karena selalu ada sanadnya hingga sampai kepada nabi dan para auliya. Selain itu, Kyai Shaliah akan memberikan sanad kitab Tanwirul Qulub itu. Sanad itu menjadi mata rantai keilmuan yang begitu penting. Kyai Shaliah akan memberikan silsilah dari kyai mana saja beliau belajar kitab itu, lalu nama gurunya, terus sampai kepada penulis kitab Tanwirul Qulub, yaitu Al "Allamah Al Imam Muhammad Amin Al Kurdi.
Semua para santri yang ikut ngaji khataman Tanwirul Qulub pagi itu mengerahkan semua konsentrasi mereka untuk menangkap kata demi kata yang diucapkan oleh Kyai Shaliah. Tak boleh ada satu kata pun yang lepas, tak boleh lengah sedikit pun, apalagi kalau sampai mengantuk. Semua santri berkonsentrasi tinggi. Kecuali Faris. Santri yang sekaligus khadim untuk segala urusan itu tertidur pulas bersandar di dinding ruang tamu Kyai Shaliah. Faris yang sudah kelelahan mengawal Husna tak mampu lagi menahan kantuknya. Anak itu nyaris datang ke pengajian hanya untuk tidur. Suara dengkurnya bahkan terdengar oleh para santri yang ada di kiri dan di kanannya.
Pengajian khataman kitab pagi itu selesai tepat jam setengah delapan pagi. Tiga amalan ijazah telah diberikan dan sanad kitab Tanwirul Qulub telah dibagi. Kyai Shaliah telah meninggalkan tempat mengaji, dan para santri pun satu per satu meninggalkan ruang tamu kyainya itu dengan penuh khidmat dan hati-hati. Faris sengaja dibiarkan tetap tertidur dan tidak dibangunkan. Para santri sengaja mengerjainya.
Ruang tamu Kyai Shaliah kini sepi, hanya ada Faris yang tertidur pulas dengan posisi duduk menyandar ke tembok. Suara dengkurnya terdengar sampai ke ruang makan. Saat itu Kyai Shaliah, Bu Nyai, dan Husna sudah bersiap untuk sarapan pagi. Di waktu yang sama Bang Pandi beserta istrinya datang dari pintu belakang hendak gabung sarapan bersama. Mendengar suara yang tidak biasa, Kyai Shaliah meletakkan jari telunjuknya di bibir, meminta semuanya diam. Suara dengkur itu terdengar begitu nyaring.
"Siapa yang masih tidur mendengkur itu?" tanya Kyai Shaliah.
"Sepertinya suaranya dari ruang tamu, Bah. Coba saya lihat!" sahut Bang Pando.
Putra ke dua Kyai Shaliah itu bangkit dan melihat ke ruang tamu.
"MasyaAllah, itu si Faris, Bah. Dia tertidur pulas sendirian. Kok ya teman-temannya tega sekali tidak membangunkannya? Dia pasti sangat kelelahan gara-gara ngawal Husna sampai ke Payakumbuh tadi malam. Biar saya bangunkan!"
"Jangan, Ndo! Biarkan, biar saya sendiri nanti yang akan membangunkan dia. Ayo kalian sarapan, abah mau nambah wiridan dulu!" Kyai Shaliah bangkit dan berjalan pelan menuju kamarnya. Ia mengambil bantal lalu pergi ke ruang tamu, dan dengan penuh kasih sayang merebahkan Faris pelan-pelan untuk bisa tidur di lantai dengan memakai bantal. Faris tidak terusik sedikit pun tidurnya. Dengan posisi telentang di lantai, ia semakin nyaman dan nyenyak. Bang Pando melihat dengan saksama kasih sayang yang diberikan ayahnya kepada santrinya.
Kyai Shaliah kembali masuk ke dalam kamar. Di sana ulama sepuh yang sangat dihormati itu menggelar sajadahnya untuk salat Dhuha dan berdzikir tak kurang satu jam lamanya. Jam setengah sembilan seperempat, Kyai Shaliah keluar dari kamar dan melihat ruang makan telah sepi. Semuanya sudah melanjutkan aktivitas hari itu. Suara dengkur Faris masih menggema di ruang tamu. Kyai Nawir Shaliah, ia mendekati khadimnya itu dan membangunkannya. Faris menggeliat bangun dan kaget melihat kondisi dirinya: dibangunkan oleh Kyai Shaliah, dan tidur memakai bantal di ruang tamu itu. Ia langsung teringat bahwa habis shubuh tadi ia mengaji di situ—lalu jatuh tertidur.
"Mohon maaf, pak Kyai. Saya tertidur."
"Tidak apa-apa, sana kamu mandi terus ke sini lagi ya, temani aku sarapan."
"Menemani Pak Yai sarapan?"
"Iya, kenapa, kamu keberatan?"
Faris menggeleng.
"Kamu puasa?"
Faris juga menggeleng.
"Kalau begitu sana segera mandi, aku tunggu untuk menemani sarapan. Aku sudah lapar."
"Baik, Pak Kyai."