Faris pun bangun dan bergegas pergi ke kamarnya. Hatinya bergetar membuncah sangat bahagia. Sepanjang hidupnya baru kali ini ia diminta menemani sarapan kyai yang sangat dihormatinya itu. Faris cepat-cepat mandi lalu berkemas memakai baju dan sarung terbaiknya, meskipun semuanya sederhana.
Saat Faris kembali datang, Kyai Shaliah masih duduk di sofa membaca Al-Ouran. Melihat Faris, ulama yang sudah berumur lebih dari enam puluh delapan tahun itu tersenyum dan menyudahi bacaannya. Ia mengisyaratkan agar Faris mendekat. Kyai lalu mengajak pemuda itu duduk di ruang makan.
Sesungguhnya seluruh sudut rumah itu sudah tidak asing lagi bagi Faris, kecuali kamar Kyai Shaliah. Seluruh ruangan dan sudut adalah area kerjanya. Ia biasa menyapu dan mengepelnya. Hanya kamar Kyai Shaliah yang tidak pernah ia masuki dan sentuh. Ruang makan termasuk area yang paling sering ia masuki, karena selain membersihkan ruangan itu, ia juga sering membantu Etek Mariah menata hidangan di sana.
Tetapi entah kenapa pagi itu ia memiliki perasaan yang sangat asing saat memasuki ruang makan tersebut. Tak lain dan tak bukan karena momen pagi itu yang sangat berbeda. Jika sebelumnya ia biasa memasuki ruang itu untuk membersihkan dan menata makanan, kali ini ia memasukinya karena diminta Kyai Shaliah sarapan bersama. Sebenarnya menunya pun pasti serupa dengan menu yang akan ia makan jika ia mengambil jatahnya sendiri di dapur, seperti yang sering ia lakukan. Yang membuat menu sarapan pagi itu terasa sangat istimewa adalah karena ia akan makan bersama dengan sosok yang paling dihormati di pesantren itu.
Ketika Kyai Shaliah mempersilakannya duduk, Faris pun merasa canggung. Selama ini, saat lewat di hadapan kyainya itu ia sama sekali tidak berani berdiri tegak. Memandang langsung ke arah wajahnya pun ia tidak berani. Tiba-tiba kini ia diminta duduk di hadapan kyainya itu.
"Tidak apa, duduklah. Santai saja, Ris."
"Baik, Pak Kyai." Kyai Shaliah mengambil piring dan mengambil nasi dari rice cooker.
"Segini cukup, Ris?"
Faris pun kaget, karena dilayani oleh kyainya.
"Maaf Pak Kyai, biar saya ambil sendiri."
"Duduklah! Segini cukup?"
"Iya, cukup, Pak Kyai."
Kyai Shaliah meletakkan piring berisi nasi tepat di hadapan Faris. Kyai tertinggi di pesantren itu lalu mengambil nasi untuk dirinya.
"Ayo kita sarapan, lauknya ambil sendiri!"
Faris lalu melahap sarapan paginya dengan sangat hati-hati. Ia terus menunduk, pandangannya hanya tertuju ke piring nasinya. Ia sama sekali tidak berani memandang wajah teduh Kyai Shaliah.
"Mau tambah lagi, Ris!"
"Saya sudah kenyang, Pak Kyai."
Keduanya telah selesai sarapan. Kyai Shaliah pun mengambil pisang untuk cuci mulut.
"Ris, aku mau minta maaf padamu."
"Minta maaf apa, Pak Kyai?"
Kyai Shaliah mendesah.
"Minta maaf atas kelakuan Husna tadi malam yang nyaris mencelakakan kamu dan Nova. Aku sudah tahu semuanya. Tadi malam dia sudah aku marahi, tapi dia itu memang anak keras kepala."
"Saya tidak apa-apa kok, Pak Kyai."
"Sebenarnya aku sering agak jengkel sama keras kepalanya anak itu, tapi aku malah seperti melihat cermin. Ya seperti itulah watakku waktu masih muda dulu. Aku ini dulu dikenal sebagai anak yang sering mau menang sendiri. Mungkin sifat itu menurun pada Husna. Tapi yang aku suka pada anak itu, dia jujur dan bertanggung jawab."
"Baik, Pak Kyai." Faris langsung ingat bagaimana Husna membela dirinya saat dimarahi Bang Pando tadi malam. Tak segan Husna berkata jujur bahwa semua itu adalah kesalahannya.
"Itu adalah hal pertama yang ingin aku sampaikan kepadamu. Aku sangat lega kau sudah memaafkan kesalahan Husna. Sekaligus aku sangat berterima kasih karena kau telah mengawal dan menyelamatkan nyawa Husna. Ya, sejatinya yang menyelamatkan itu adalah Allah, tapi tindakanmu yang gesit dalam membanting setir itu jadi wasilah-nya. Dan hal kedua yang ingin aku sampaikan padamu ini sangat penting."
"Baik Pak Kyai, sami'na wa atha'na."
"Waktumu ngaji dan belajar di pesantren ini telah khatam. Sudah saatnya kamu pulang ke Singgalang. Keluarga dan masyarakatmu saat ini pasti sangat memerlukan kehadiranmu. Berkemaslah, dan besok pulanglah ke Singgalang! Tiket perjalananmu sudah diurus oleh Pando."
Faris sangat kaget mendengar perintah itu. Tak sadar ia mendongak dan menatap wajah kyainya, seolah minta peneguhan bahwa yang ia dengar itu adalah perintah yang benar. Kyai Shaliah mengangguk lalu memejamkan mara.
"Harus besok ya, Pak Kyai?"
Kyai Shaliah mengangguk.
"Tapi skripsi saya belum tuntas, Pak Kyai...." Itu adalah satu-satunya pertanyaan yang bernada membantah yang pernah keluar dari mulutnya kepada Kyai Shaliah. Kyai Shaliah tersenyum.
"Aku tahu, kau masih berat meninggalkan pesantren ini. Tidak hanya masalah skripsi, kau masih ingin ngaji di sini."
"Benar, Pak Kyai."
"Ketahuilah Anakku, aku bahkan lebih berat lagi melepasmu. Kalau aku mementingkan ego pribadiku, aku ingin kamu di sini terus menemaniku sampai aku menghadap Rabbul Alamin. Tapi keluarga dan masyarakatmu saat ini sangat memerlukan kamu." Kedua mata Kyai Shaliah berkaca-kaca.
"Untuk skripsi, kau bisa selesaikan sambil jalan saja di kampungmu sana. Biar Bang Pando nanti yang memberitahu dosen pembimbingmu. Dia akan setuju dan membantumu, insya Allah."
"Baiklah Pak Kyai, sami'na wa atha'na."
"Oh ya satu lagi, hal yang keriga, titip Husna ya!"
"Maksud Pak Kyai?"
"Dia juga harus ke Singgalang untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran di sana. Dia akan tinggal di rumah kakak sulungnya. Harusnya aku sendiri, atau Pando yang mengantar Husna ke sana, tapi kami berdua berhalangan. Jadi sekalian kau pulang ke Singgalang, titip Husna dan antarkan ia ke rumah Buyung."
Faris mengangguk, yang dimaksud dengan Buyung adalah KH. Muhammad Jamil, Al Hafiz, Lc, putra sulung Kyai Shaliah yang kini menjadi pengasuh pesantren di Singgalang. Ia sudah tiga kali ke sana menemani Kyai Shaliah.
"Oh ya, pas khataman tadi kamu tidur ya?"
"Iya Pak" Faris kembali menunduk dalam-dalam. Ia merasa mukanya memerah karena sangat malu.
"Tidak apa-apa. Semua yang aku berikan saat khataman tadi juga aku berikan kepadamu, termasuk ijazah dan sanad kitab Tanwirul Qulub. Kau bisa menyalinnya dari Fauzi."
"Saya terima, Pak Kyai."
"Sudah cukup ya sarapannya, sekarang segera kemasi yang perlu kamu kemasi! Termasuk masalah kolam ikan dan semua amanah yang saat ini kamu pegang bisa kamu koordinasikan dengan Iqbal."
"Baik, Pak Kyai."
Faris bangkit dan mencium tangan Kyai Shaliah untuk pamit. Saat Faris mencium ulama penyayang itu, keharuannya tidak bisa ditahan. Ia menangis terisak-isak. Air matanya mengalir membasahi punggung tangan kanan Kyai Shaliah. Faris seperti tidak mau melepaskan tangan orang yang selama ini telah mengayominya.