Jarak rumah faris ke kota padang itu tidak dekat. Maka malam itu ia memfotokopi ijazah dan besok pagi akan ia legalisir sebelum meninggalkan pesantren. Faris berharap bahwa waktu keberangkatannya tidak pagi. Untuk itu ia harus terlebih dahulu menemui Bang Pando untuk memastikan semuanya.
"Jadi besok naik kereta api ke padang. Dari pariaman jam empat sore, sampai padang jam setengah tujuh malam. Terus lanjut ke kota singgalang pakai Bus Damri kelas terbaik yang keberangkatannya sekitar jam sembilan malam, sampai di kota Singgalang kira-kira pas ba'da shubuh. Di kota Singgalang turun di lampu merah simpang empat, nanti dijemput Kyai Buyung. Tiketnya sudah dibawa oleh Husna," jelas Bang Pando pada Faris.
Mendengar penjelasan itu Faris pun merasa lega, besok ia masih punya waktu sampai dzuhur untuk mengurus hal-hal yang perlu diurus, terutama legalisir ijazah sekolahnya. Yang membuatnya agak sedih adalah ia tidak punya uang sama sekali untuk membeli oleh-oleh. Ia tidak mungkin minta kepada Bang Pando atau Kyai Shaliah. Ia nyaris lupa bahwa tiket yang sudah disiapkan oleh Bang Pando itu hanya sampai Kota Singgalang, lalu bagaimana menuju desanya di Singgalang Barat? Sebenarnya ia tadi punya uang lima puluh ribu, pemberian Takmir Masjid Al Fuqan sebagai insentif mengajar TPA tiap Jum'at sore. Tapi uang itu sudah digunakan untuk memfotokopi data dan hanya tersisa lima belas ribu. Paling tidak ia memerlukan seratus ribu lagi untuk bayar ongkos travel dari Kota Singgalang — Sariak. Ah, ia akan pinjam pada Iqbal.
Tiba-tiba ia beristighfar dan merasa berdosa. Kenapa ia harus mengkhawarirkan ongkos pulang ? Bukankah yang menyuruhnya pulang adalah Kyai Shaliah? Tidak mungkin sang kyai tidak memikirkan ongkos kepulangannya. Dengan memikirkan ongkos itu, ia seperti merasa tidak percaya pada Kyai Shaliah.
Faris berjalan cepat dari rumah Bang Pando menuju kamarnya. Ia merasa sangat lelah dan ingin segera istirahat, karena besok adalah perjalanan panjang. Apalagi ia juga diamanahi menjaga Husna. Namun ternyata iqbal telah menunggunya di depan kamarnya. Lelaki berumur empat puluhan lima tahun itu tersenyum padanya. Entah kenapa hatinya selalu bahagia kalau bertemu Iqbal.
"Yuk kita ke saung!" bisik Iqbal.
"Aku ingin istirahat, Bang."
"Aku mau memberimu sesuatu. Sesuatu yang sangat berharga yang aku punya. Kau tidur di saung saja!"
Faris tidak bisa menolak. Ia membonceng Iqbal yang mengendarai motor GL tua menuju saung di area kolam ikan di pinggir Sungai tersebut. Sampai di saung, mereka disambut Fatan yang telah menyiapkan hidangan makan malam dengan lauk nila bakar.
"Sudah berapa tahun kamu belajar Silar Padauk, Ris?" tanya Iqbal sambil mencuil ikan bakar yang masih hangat itu.
Kening Faris berkerut, ia mengingat dan menghitung.
"Kalau tidak salah empat tahun tiga bulan, Bang."
"Kamu memang sangat berbakat, Ris. Jarang sekali aku ketemu anak muda yang punya bakat silar seperti kamu. Dalam waktu empat tahun kamu sampai pada tingkatan yang nyaris sama dengan aku, gurumu. Kau hanya satu tingkat saja di bawahku. Untuk sampai pada levelmu itu, dulu aku sampai memerlukan waktu hampir sepuluh tahun. Aku belajar silar di sebuah perguruan silat di Bangkalan Kerinci, dari umur 16 tahun sampai 26 tahun."
"Terima kasih atas segala bimbingannya selama ini, Bang Iqbal. Saya tidak bisa membalas apa-apa selain doa, semoga Allah membalas dengan balasan yang terbaik."
"Aku sangat bahagia berkesempatan mengajar silat pada orang seperti kamu. Karena besok kamu sudah harus segera pulang ke Singgalang, malam ini aku ingin mengajari kamu satu jurus. Jurus ini adalah ciptaanku sendiri. Dan jurus ini aku namakan, "Harimau Duduk Mengamuk". Ini perpaduan Jurus Tujuh Jurai silat Gunuang tigo yang main bawah, kegesitan silat Kerinci, kekokohan silat salendang, kuncian mematikan Jiu Jitsu dan logika melumpuhkan Tarung Derajat. Sangat cocok untuk kyai atau ustadz. Jadi misal kamu di masjid lagi pengajian sambil duduk, tiba-tiba ada orang gila nyerangmu, kamu bisa pakai jurus ini. Jurus Harimau Duduk Mengamuk! Nah, sekarang kamu makan dulu, baru kita sedikit main-main di halaman!"
"Siap Bang!" Tiba-tiba rasa letih yang tadi dirasakan Faris hilang begitu saja. Kalau diajak latihan silat, ia memang selalu semangat dan bergairah luar biasa.
Malam itu, Iqbal melatih Faris jurus mematikan ciptaannya hingga jam setengah dua belas malam. Iqbal sangat yakin muridnya itu telah menguasai jurus baru ini dengan baik. Setelah itu mereka istirahat sambil minum jahe hangat. Tepat tengah malam, Iqbal pamit sementara Faris tidur di saung menemani Fatan yang harus menjaga kolam ikan yang siap panen. Walaupun itu kolam ikan milik pesantren, jika tidak dijaga bisa dipanen orang. Faris tidur sangat nyenyak. Dalam tidurnya ia sudah pulang ke kampung halamannya. Ia disambut hangat oleh ibunya, bibinya, Siti, kedua neneknya, dan Kakek Mihun. Di dalam mimpinya itu Siti masih kecil, baru berumur lima tahun. Tapi anehnya dirinya sudah besar. Siti berlari ke arahnya dan merengek minta digendong. Ia menggendong Siti dengan penuh bahagia. Siti kecil mencium pipinya dan berkata,
"Uda Faris jangan pergi lagi ya."
Faris terbangun. Hanya sepi dan hening, hanya suara jangkrik yang terdengar. Faris memperkirakan sudah jam tiga. Ia memaksakan diri untuk bangun dan salat tahajjud dua rakaat, witir satu rakaat, kemudian rebahan lagi. Suara jangkrik itu membuat batinnya terasa nyaman. Ia sangat percaya bahwa suara jangkrik itu sejatinya adalah tasbih dan tahmid kepada Allah. Sambil mendengar suara jangkrik ia bertasbih. Beberapa saat kemudian ia pun terlelap pulas kembali.
***
Tiga puluh menit sebelum kereta berangkat, Faris dan Husna sudah memasuki kereta. Air mata kesedihan Faris hampir tak terbendung saat meninggalkan pondok pesantren yang selama ini telah menempanya jiwanya, tetapi ia tidak mau terlihat cengeng di hadapan Husna. Ia tahan dengan sekuat tenaga agar kedua matanya tidak berkaca-kaca. Husna membawa satu koper besar, satu tas lainnya berisi oleh-oleh untuk Kyai Buyuang, dan tas ransel. Sementara ia hanya membawa satu tas ransel butut serta Barrel Bag yang sudah lusuh pemberian dari Iqbal, berisi beberapa pakaian dan oleh-oleh khas Bukit Tinggi. Barang bawaan Faris simpel dan terasa ringan, karena ia tidak punya banyak barang yang harus dibawa. Sementara koper besar milik Husna itu sangat berat, entah apa saja isinya. Faris membantu Husna membawa koper besar ke gerbong kereta lalu meletakkannya di tempat bagasi yang sudah di sediakan di atas kepala mereka.
Mereka duduk berdampingan di kelas eksekutif yang nyaman. Husna memilih duduk di dekat jendela, dan Faris duduk di bagian lorong.