Kyai Shaliah sendiri yang berhati lembut pun tak kuasa menahan lelehan air matanya, dan membiarkan santrinya itu meluapkan keharuannya hingga puas. Sesaat lamanya Faris menangis. Tangan kiri Kyai Shaliah mengusap pundak santri yang sangat patuh itu. Dari dalam kamarnya, Husna mendengar semua pembicaraan tersebut. Diam-diam kedua matanya ikut basah. Dia adalah gadis yang keras kepala kalau punya kemauan, tetapi sesungguhnya ia juga berhati lembut.
"Sudahlah Faris, Anakku, kau pulang ke kampung bukan berarti kita putus hubungan. Kau tetap santri dan anakku. Aku adalah ayahmu. Insya Allah kita masih akan sering bertemu. Sudah, sudah, bismillah 'ala barakatillah!"
Faris melepaskan tangan sang kyai lalu menyeka kedua matanya.
"Assalamu'alaikum," lirihnya lalu melangkah keluar.
"Wa alaikumussalam."
Sepanjang langkah dari rumah Kyai Shaliah menuju kamarnya, rasanya ia masih ingin menangis keras, tetapi ia tahan agar tidak menyita perhatian. Faris tidak langsung ke kamar, melainkan cepat-cepat ke kamar mandi untuk membasuh muka dan menghapus jejak tangisnya.
Siang itu cuaca di Singgalang begitu cerah. Desa hujan di sebelah selatan Gunung Singgalang itu tetap sejuk meskipun matahari bersinar terang. Neti melihat jam tangannya. Seperempat jam lagi adzan Dhuhur akan berkumandang. Ia keluar dari mobil yang ia parkir di depan Masjid Bulan Bintang. Sejak jam sembilan pagi tadi ia telah berada di Kawasan Pesantren Terpadu untuk mencari gadis penjual tahu goreng yang menemukan ponselnya. Tapi gadis itu tidak juga tampak barang hidungnya. Akhirnya ia memutuskan, jika sampai shalat Dzuhur gadis itu tidak juga muncul, ia akan mencarinya ke beberapa titik Kota Padang, terutama titik-titik yang ia prediksi gadis itu menjajakan dagangannya.
Tepat pukul satu siang, Neti meninggalkan halaman Masjid Bulan Bintang. Gadis penjual pisang goreng itu sama sekali tak muncul di sana. Neti kemudian menuju ke tengah Kota Padang. Mahasiswi kedokteran berjilbab putih itu menyusuri jalanan kota yang tenang. Ia meneliti dengan saksama Kawasan Pasar Raya, lapangan depan Sarlantas Padang, Taman Raya Padang, juga tempat-tempat keramaian lainnya. Bahkan ia berpikir mungkin gadis itu berjualan di Pantai Puruih yang kini menarik banyak orang untuk melihat pemandangan Panta yang begitu ramai. Ia pun ke sana. Dan lagi-lagi orang yang ia cari tidak ia temukan.
Neti telah berazam akan memberikan sepuluh persen dari isi tabungannya. Di sana ada empat ratus juta, maka gadis itu berhak menerima empat puluh juta darinya sebagai tanda terima kasih. Baginya itu bukan uang yang banyak dibandingkan harga isi ponselnya yang tiada ternilai, tetapi bagi gadis itu uang tiga puluh juta mungkin akan sangat berharga. Bila gadis itu putus sekolah, maka dengan uang itu ia bisa lanjut sekolah. Atau, uang itu juga bisa digunakan untuk modal usaha membuat warung kaki lima, sehingga ia tidak perlu menjajakan air mineral eceran seperti itu. Neti sangat berterima kasih pada gadis jujur itu dan sangat ingin membantunya. Ia benar-benar terkesan bahwa masih ada orang baik di negeri ini.
Sampai menjelang Ashar, Neti tidak juga menemukan sang gadis penjual tahu goreng. Ia lalu memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Yang jelas, ia sudah benar-benar ikhtiar untuk mencari. Selanjutnya, ia akan minta tolong kepada anak buah kakaknya hingga gadis itu bisa ditemukan. Ia tidak punya waktu lagi, karena besok ia sudah harus balik ke kota Singgalang untuk masuk kuliah. Harapannya, ia bisa segera bertemu gadis itu dan memberikan hadiah tanda terima kasih untuknya.
Sementara itu di sebuah perumahan yang bernama Marina green, Siti sang gadis penjual tahu goreng tampak sedang merawat neneknya. Selain Kakek Mihun yang sakit, kini Nenek Sulis pun jatuh sakit. Sejak bada shubuh terus diare. Siti mengajak neneknya ke dokter, tapi sang nenek tidak mau. Nenek Masna menyarankan untuk terus membuatkan minuman hangat campuran gula dan garam, juga mencari pucuk daun jambu biji untuk ditumbuk lalu dicampur dengan sedikit garam, untuk diberikan kepada Nenek Sulis. Menjelang dzuhur diare Nenek Sulis mampet, tapi ia merasa seluruh tubuhnya kedinginan. Siti lalu membuatkan sop tahu dan menyuapi neneknya itu. Setelah memakan sop tahu, Nenek Sulis bisa istirahat tidur. Menjelang ashar Nenek Sulis bangun dan minta dipijit kakinya.
Hari itu Siti tidak bisa pergi ke mana-mana. Tahu goreng yang sedianya akan ia jual pagi hari di Pasar Pagi Simpang Raya terpaksa dikonsumsi sendiri dan ia bagi ke tetangga kanan dan kiri.
"Siti, maafkan nenek yang telah menyusahkan kamu."
"Tidak apa-apa, Nek. Nenek jangan berkata seperti itu. Siti ini cucu nenek, siapa lagi yang akan merawat nenek kalau bukan cucu nenek."
"Alhamdulillah, nenek punya cucu pengertian seperti kamu. Dulu nenek pernah berpikir yang keliru. Nenek berpikir kebahagiaan itu kalau punya harta banyak, ternyata tidak. Ternyata, kebahagiaan itu kalau kita bersama kebaikan dan orang-orang yang baik. Punya keluarga yang baik. Saat ini nenek merasa bahagia berada di dekat cucu nenek yang baik. Tapi apakah kamu merasa bahagia, Siti?"
"Siti bahagia hidup di sini bersama Nenek, bersama Nenek Masna, bersama Kakek Mihun, dan Adik Titan. Akan lebih bahagia lagi kalau Uda Faris pulang."
"InsyaAllah. Aku yakin Faris tak lama lagi akan pulang."
"Amin."
Sementara itu, nun jauh di Pesantren sana, sore itu Faris sedang sibuk mempersiapkan segala sesuatu sebelum ia pulang ke Singgalang. Ada banyak hal penting yang harus ia rampungkan, terutama terkait dengan beberapa amanah. Ia sudah menemui Iqbal dan menjelaskan semuanya. Segala urusan dan amanahnya terkait kolam ikan dan pesantren yatim ia serahkan kepada Iqbal sesuai arahan Kyai Shaliah. Amanahnya di TPA Al Furqan di kampung sebelah utara pesantren ia serahkan kepada Fatan. Amanahnya sebagai sekretaris Dewan Asatidz Pembina Olahraga Pesantren ia serahkan kepada Ustadz Zainudin untuk dimusyawarahkan penggantinya.
Yang paling penting untuk ia bereskan adalah urusan skripsinya. Ia menemui pembimbingnya di sebuah kampus swasta di tengah Kota di Sumatera Barat itu. Beruntung Bang Pando sudah menelepon pembimbingnya sehingga segalanya jadi mudah. Untuk melengkapi data, ia memfotokopi halaman-halaman tertentu beberapa referensi yang disarankan. Ia berterus terang pada pembimbingnya bahwa waktunya sangat mepet, jadi ia tidak bisa mencari referensi itu di perpustakaan yang ada di kota tersebut. Kalau pembimbingnya punya, ia meminjam untuk difotokopi. Sore itu ia ke rumah sang pembimbing untuk mengambil beberapa buku referensi dan memfotokopi saat itu juga.
Saat Faris sampai di pesantren menjelang ba'da Isya, segala urusan terkait skripsi dan administrasi kuliahnya sudah beres. Ia pun merasa lega. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, yakni memfotokopi dan melegalisir ijazah Madrasah Sanawiyahnya. Siapa tahu nanti diperlukan saat ia sudah balik ke kampung halamannya.