Chereads / Perjalanan Rindu / Chapter 2 - BAB2

Chapter 2 - BAB2

Ia tidak tahu apakah Uda Faris yang sudah tiga tahun lamanya tidak pulang itu membaca pesannya atau tidak? lalu ia pergi mendatangi kantor pos dan bertanya kepada salah satu petugas di sana. Menurut petugas pos seharusnya kemarin suratnya itu telah sampai di alamat tujuan. Kalau Uda Faris telah membaca, apakah ia mau segera pulang? Karena ia sangat tahu persis, saat terakhir Uda Faris pulang dan kembali lagi ke pondok pesantren, lelaki itu telah di beri pesan oleh Kakek Mihun agar tidak pulang sebelum kyainya yang menyuruh ia pulang. Dan ia juga tahu persis, Uda Faris adalah anak yang sangat patuh pada pesan Kakek Mihun, juga sangat patuh pada semua guru-gurunya.

Apakah setelah membaca surat itu, Uda Faris berani minta izin untuk pulang walaupun kyainya belum menyuruhnya? Bagaimana kalau kyainya malah meminta Uda Faris tetap di pesantren terus? Kalau Uda Faris tidak pulang, lalu siapa yang akan membayar hutang pengobatan Kakek Mihun? Apakah tanah di mana rumah Kakek Mihun itu berdiri akan dilepas begitu saja, karena telah digadaikan? Hutang itu jutaan rupiah banyaknya, ia tidak tahu lagi bagaimana cara melunasinya, sedangkan mencari uang seribu-dua ribu saja ia begitu kesusahan. Enam jam hanya terjual satu botol air mineral, keuntungan yang di dapatnya cuma lima ratus rupiah. Maka, untuk mendapatkan uang satu juta, berapa jam yang harus ia siapkan? Untuk uang sebesar lima belas juta, berapa jamkah ia harus kedinginan?

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin berkecamuk dan menciptakan mendung yang bergumpal-gumpal dalam pikirannya. Tanpa ia sadar, air matanya pun keluar. Dalam hatinya yang paling dalam ia hanya bisa merintih, "Ya Allah... "

Sebuah mobil mewah berwarna silver memasuki perkarangan masjid. Mobil itu dikendarai oleh seorang perempuan cantik dan mengenakan jilbab berwarna merah. Si gadis penjual tahu goreng itu lalu bangkit menghampiri mobil tersebut. Mobil pun telah terparkir, namun si perempuan cantik pengendara mobil itu tak juga keluar. Perempuan anggun berjilbab merah itu terlihat masih sibuk menelepon seseorang dengan ponselnya. Gadis penjual tahu goreng itu berdiri dengan sabar menunggu di dekat pintu mobil. Sesekali ia melirik ke telepon genggam yang dipakai pemilik mobil mewah itu. Ia yakin ponsel itu pasti harganya sangat mahal.

Adzan Ashar telah berkumandang. Pemilik mobil itu menutup pembicaraannya di telepon, namun tidak juga keluar dari mobilnya. Ia hanya duduk tenang mendengarkan suara adzan dengan khusyuk sampai selesai. Perempuan berjilbab merah itu kembali menelepon seseorang, sementara gadis penjual gorengan berdiri tetap menunggu dengan sabar di dekat pintu mobil. Beberapa saat kemudian pintu mobil itu akhirnya terbuka dan pemiliknya pun keluar sambil menenteng tas kulit berwarna coklat. Gadis berkupluk hitam itu langsung menawarkan dagangannya.

"Mau beli tahu goreng, Mbak?"

"Nggak Dek, terima kasih." Perempuan berjilbab Merah itu menjawab dengan ramah dan hanya sekilas memandang ke arah si gadis penjual tahu goreng.

"Air mineralnya, Mbak?"

"Terima kasih. Lain kali aja ya."

Perempuan berjilbab merah itu melangkah pelan ke arah masjid. Gadis penjual tahu goreng itu berjalan membuntuti.

"Tolong donk Mbak, dibeli, keuntungannya untuk anak yatim."

Suara iqamat pun menggema. Perempuan berjilbab merah itu pun berjalan cepat menuju masjid.

"Maaf ya Dek, sudah iqamat."

Gadis berwajah tirus itu hanya bisa menghela napas. Ialu ia melihat lagi sebuah mobil kijang tua datang. Mobil itu sarat penumpang, dilihat dari plat mobilnya ia tahu bahwa mobil itu bukan mobil Sumatra Barat melainkan Pekan Baru Riau. Kendaraan itu parkir tepat di samping mobil mewah. Semua penumpang di dalam mobil kijang itu pun turun. Ada dua orang lelaki muda, dua orang perempuan muda, seorang nenek, dan empat orang anak kecil yang semuanya adalah perempuan.

"Mah, aku haus!" Rengek si anak yang paling kecil.

"Iya. Iya. Nah itu kebetulan ada yang jual air minum," jawab ibu anak itu. Lalu ia memanggil gadis penjual air mineral tersebut.

"Airnya, Mbak!"

"Berapa, Bu?"

"Siapa lagi yang mau minum nih?"

"Beli empat botol saja," sahut si sopir mobil Kijang.

"Empat ya, Mbak!"

"Iya Bu, ini. Tahu gorengnya sekalian, Bu?

"Mah, aku mau tahu goreng," rengek si kecil lagi.

"Iya ya. Siapa saja yang mau tahu goreng?"

"Beli yang banyak, nanti di jalan kemakan juga," sahut sopir lagi.

Ibu muda itu lalu mengulurkan uang tiga puluh lima ribu.

"Nih untuk air minum, sisanya untuk tahu gorengnya ya'"

Mata gadis itu langsung berbinar. Ia menerima uang itu, lalu menghitung tahu goreng dan memasukkannya ke dalam kantong plastik putih, lalu menyerahkan kepada ibu muda yang berjilbab hijau itu.

"Ini tahunya ya, Bu. Terima kasih."

"Iya, Mbak, sama-sama," jawab ibu muda itu.

Gadis berkupluk hitam itu lalu bergegas menuju ke tempat wudhu masjid. Ia ingin mengejar shalat Ashar berjamaah. Kini, hatinya sedikit merasa bahagia. Barang dagangannya laku. Hanya tersisa dua biji tahu saja dan akan ia santap untuk mengganjal perutnya setelah shalat Ashar, karena sejak pagi tadi perutnya hanya terisi sepotong ubi rebus.

Sesampainya di tempat wudhu, gadis itu melihat sebuah ponsel terletak di tempat meletakkan barang di atas keran air. Seketika Ia langsung teringat, kalau tidak salah posel itu adalah milik perempuan cantik berjilbab merah tadi. Mungkin karena ia terburu-buru, perempuan itu lupa mengambil ponselnya yang ia taruh saat ia berwudhu tadi. Si gadis penjual tahu goreng itu pun mengambil ponsel tersebut dan memasukkannya ke dalam saku celananya. Ia akan mengamankan benda itu dan memberikannya kepada pemiliknya setelah shalat nanti. Dengan tenang gadis itu berwudhu. Setelah itu ia menuju dan masuk ke bagian shaf perempuan, lalu mengenakan mukena yang sudah disediakan di sana. Sang imam sudah tahiyyat akhir, ia cepat-cepat menyusul tahiyyat agar dapat hitungan jamaah. Saat bacaan salam telah terdengar, ia bangkit untuk melanjutkan shalat empat rakaat.

Sementara perempuan berjilbab merah itu langsung berdoa, lalu melepas mukenanya dan memasukkannya ke dalam tas kulit coklatnya. Ia langsung bergegas keluar masjid dengan terburu-buru. Gadis penjual tahu tetap shalat dengan khusyuk. Dalam balutan putih mukenanya, wajahnya tampak lebih anggun dan segar. Penuh dengan aura ketenangan. Selesai shalat ia melihat ke arah jamaah perempuan, mencari-cari perempuan berjilbab pemilik ponsel itu, namun ia tidak melihatnya. Ia lalu cepat-cepat melepas mukena, dan bergegas keluar masjid, berharap perempuan itu belum meninggalkan masjid. Namun di luar ia tidak menemukan perempuan itu, mobil mewah berwarna silver itu pun sudah tidak ada lagi di parkiran.

Langit semakin kelam.

Seorang gadis berjilbab biru dan bercelana jean datang dengan mengendarai sepeda motor satria fu.