Chereads / Perjalanan Rindu / Chapter 3 - BAB3

Chapter 3 - BAB3

Gadis itu menghentikan motornya tepat di hadapan penjual tahu goreng yang sedang berdiri di tangga masjid.

"Siti, ayo buruan! Mau hujan nih!" teriak gadis itu tanpa mematikan mesin motornya.

"Ya sebentar, aku mau cari bapak pengurus masjid dulu. Sebentar ya!"

"Ya, cepetan! Lihat itu awan mendungnya hitam kayak gitu!"

"Iya."

Gadis penjual tahu goreng itu lalu bergegas-gegas masuk ke dalam masjid. Kepada pengurus masjid yang berkopiah putih dan berbaju koko motif tapis ia serahkan ponsel yang ia temukan tadi. Pengurus masjid tua itu lalu menanyakan nomor yang bisa dihubungi, jika sang pemilik ponsel menanyakan tentang penemunya.

"Saya tidak punya nomor hp, Pak. Terima kasih, Pak, assalamu' alaikum."

"Wa alaikumussalam warohmatullahi wabarokaatu."

Gadis penjual tahu goreng yang bernama Siti itu berjalan cepat keluar masjid. Dalam hitungan detik ia sudah dibonceng temannya yang mengendarai sepeda motor, meninggalkan kawasan Pesantren Terpadu dengan sedikit agak ngebut.

"Mbak Lika, nggak usah ngebut!"

"Kalau kita nggak ngebut bisa-bisa kita kehujanan nanti. Apalagi aku tadi tidak ingat bawa jas hujan. Sudah kamu duduk tenang saja, yang penting kita sampai pulang ke Sariak dengan selamat."

Kota Padang basah diguyur oleh hujan. Kabut pun ikut membentang menyambut rintik hujan. Perempuan berjilbab merah mengendarai kendaraannya dengan kecepatan sedang. Mobil itu lalu memasuki jantung kota padang. Setelah menyusuri Jalan Katib Sulaiman, ia kini menapaki jalan ulak karang, berpapasan dengan dua orang gadis remaja yang naik sepeda motor berhujan-hujanan. Kira-kira tiga ratus meter setelah melewati sebuah resort di sebelah kanan dan sebuah bengkel besar di sebelah kiri, mobil itu belok kanan memasuki sebuah area rumah mewah bercat hijau muda.

Hujan semakin deras.

Wanita itu memarkirkan mobilnya di garasi yang lumayan luas. Ia pun turun dari mobilnya lalu masuk ke dalam rumah besar itu, dan langsung menuju ke ruang keluarga. Seorang wanita setengah baya tampak duduk di sebuah kursi roda, pandangannya terpaku pada layar televisi yang berlayar besar.

Televisi itu tergantung seperti menepel di dinding. Di atas televisi berjejer tiga foto keluarga yang berukuran besar. Foto pertama menampilkan sepasang suami-istri, dengan dua anak perempuan yang masih kecil duduk di pelataran Tabuik. Foto kedua tampak anggota keluarga yang sama dengan latar belakang Tugu Monas, Jakarta. Hanya saja, usia dua anak itu kelihatan lebih besar. Foto ketiga, sang ibu di atas kursi roda sementara suami dan dua anak putrinya ada di belakangnya. Foto itu berlatar belakang Masjid Jihadu walidaina, Padang Panjang, yang beratap coklat keabu-abuan.

"Assalamu'alaikum, Ibu."

"Wa alaikumussalam. Kamu sendirian, Net?"

"Iya, Bu."

"Aku tadi langsung dari Singgalang?"

"Iya."

"Kenapa tidak ngajak teman? Jangan suka nekat jalan sendirian. Singgalang itu jauh lo nak, kalau ada apa-apa di jalan, gimana jadinya nanti? Apalagi sekarang musim hujan lagi."

"Ibu tidak perlu khawatir. Senekat-nekatnya Neti, insyaAllah Neti akan tetap penuh perhitungan, kan Neti jalannya siang Bu, kalau malam ya Neti akan bawa teman. Oh iya, Mbak Patmawati mana, Bu?"

"Kayaknya dia masih di kantor wali kota. Katanya ia pergi bareng si Syahrul, diminta mendampingi pemerintah untuk rapat dengan tamu dari Singapura. Mungkin sebentar lagi juga selesai."

"Ibu sudah shalat Ashar blum?"

"Belum."

"Kita shalat dulu yuk, biar Neti antar ambil wudhu."

"Sebentar lagi. Oh iya Net, selagi ingat nih, nanti tolong kamu telfon si Mona, bilang sama dia, nanti kalau udah mau pulang suruh mampir dulu ke rumah makan gumarang beli ayam gulai, ya. Ibu ingin makan ayam gulai."

"Iya, Bu."

"Kamu telepon sekarang, nanti lupa."

"Baik, Bu."

Neti lalu mencari ponsel di dalam tas coklatnya, tapi tidak ada. Lalu ia keluarkan semua isinya, tetapi barang yang dicari tetap tidak ia temukan.

"Inna lillah!"

"Kenapa Nak?" "Hp Neti tidak ada, Bu. Hilang!"

"Kok bisa?"

"Tidak tahu, perasaan tadi Neti taruh di tas. Waduh gawat, banyak data-data penting di situ."

"Tenang, coba diingat-ingat. Terakhir kali kamu pegang kapan?"

"Kayaknya saat Neti mau shalat Ashar di Masjid Bulan Bintang tadi Bu."

"Yakin sudah kamu masukkan ke dalam tas? Apa mungkin ketinggalan di dalam mobil?"

"Semoga ada di dalam mobil."

Neti berlari menuju ke garasi dan mencari ponselnya. Tetapi di dalam mobil, ia pun tidak menemukannya. Tiba-tiba ia jadi teringat bahwa saat mau mengambil wudhu dimesjid tadi ia meletakkan ponselnya itu di rak kecil di atas keran. Posisi rak itu memang agak ke atas, sejajar dengan kepalanya.

"Inna lillah, tertinggal di tempat wudhu," lirihnya dengan wajah pucat.

la langsung pamit pada ibunya dan bergegas mengendarai mobilnya menuju ke Masjid Islamic Centre Baitul Rahman—yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Bulan Bintang. Sepanjang jalan, hatinya dipenuhi oleh rasa cemas dan khawatir. Ia begitu cemas jika ponselnya itu benar-benar hilang, karena ada banyak hal-hal dan data-data berharga yang tersimpan di situ. Jika dia harus memilih antara kehilangan ponsel atau kehilangan mobilnya, ia lebih memilih kehilangan kendaraannya karena begitu sangat berharganya apa-apa yang tersimpan di dalam ponsel tersebut. Dari ponsel itu bisa diakses hampir semua data pribadinya, bahkan data akun bank yang didalamnya ada uang yang cukup untuk membeli tiga mobil mewah baru.

Neti langsung bergegas dan mengendarai mobil dengan sedikit mengebut, menerjang derasnya hujan yang semakin deras. Sesampainya di halaman Masjid Bulan Bintang, ia langsung membuka pintu mobilnya dan tanpa memedulikan hujan, ia langsung berlari ke dalam masjid. Jilbab dan baju gamisnya basah. Dan tentu saja tempat pertama yang ia tuju adalah area wudhu, mencari di rak kecil tempat ia berwudhu tadi. Tulang-tulangnya serasa hilang kekuatan ketika tidak menemukan yang ia cari di sana.

Inna lillah.

Kini, ponselnya benar-benar hilang. Ia yakin, pasti telah ada orang yang mengambilnya. Dan menurutnya hanya sedikit sekali orang yang mau mengembalikan barang yang mereka temukan kepada pemiliknya, apalagi saat menemukan barang berharga. Tetapi ia merasa harus tetap ikhtiar untuk mendapatkan kembali ponsel itu. Pikirannya langsung berputar. Ia akan segera lapor polisi, mungkin mereka bisa melacak keberadaan alat komunikasi itu. Jika tidak bisa dilacak, maka ia harus menyelamatkan data-data pentingnya. Ia akan blokir rekening banknya untuk sementara dan secepatnya mengganti password emailnya, juga password media sosialnya. Ah, semuanya akan jadi ribet dan rumit.

Saat hendak melangkah menuju ke mobil, ia merasa harus lapor ke pengurus masjid terlebih dahulu sebelum lapor ke polisi. Maka ia pun memutar balik tubuhnya menuju kantor pengurus untuk menjelaskan kemalangannya ini.

Di sana ia bertemu dengan seorang lelaki tua berkopiah putih memakai koko motif tapis.