Pengelolaan ternak ikan dan sawah yang diwakafkan oleh Datuak Sindo Mangkuto itu kini dipercayakan kepada Faris dan Bang Iqbal.
Setelah memberi makan ikan, Faris lalu memeriksa bagian kolam ikan yang siap dipanen. Besok pagi, pedagang ikan akan datang untuk memanen. Ia perlu memastikan lagi bahwa ikan-ikan nila yang akan dipanen itu benar-benar dalam kondisi prima, sehingga bisa mendapatkan harga terbaik untuk membantu menghidupi anak-anak yatim. Saat sedang asyik memeriksa ikan yang siap dipanen, ia mendengar suara memanggilnya.
"Bang Faris! Bang Faris!"
Ia lalu melihat ke arah suara. Dan ia melihat Fatan berdiri di depan saung sambil memberi isyarat agar ia cepat mendekat.
"Bang Faris, penting!"
Faris bergegas menghampiri Fatan.
"Ada apa, Tan?"
"Dipanggil Bang Pando! Penting katanya!"
"Sekarang?"
"Iya, sekarang disuruh ke sana!"
"Jadi nanti, yang nunggu ikan-ikan ini siapa Soalnya itu ada yang siap panen."
"Kata Bang Pando, Bang Faris diminta ke sana sekarang, dan saya diminta nunggu di sini sampai Bang Faris kembali lagi ke sini."
"Oh jadi begitu, ya sudah. Oh ya, itu kompornya nggak bisa nyala karena gasnya sudah habis. Kalau kamu mau buat kopi pergi beli dulu ya gas tabungnya, mumpung belum magrib."
"Beres, Bang. Cepetan ya, sudah ditunggu Bang Pando."
"Ok. Oh ya, tolong titip ranselku itu ya. Di sana ada semua berkas-berkas skripsiku dan laptopnya pesantren."
"Siap Bang!"
Faris lalu bergegas mengendari motor dinas bututnya menuju rumah Bang Pando yang berada di samping pesantren. Setengah jam sebelum maghrib, Faris pun memasuki halaman sebuah rumah. Di sana sudah terlihat Bang Pando sedang menunggu di teras, didampingi oleh seorang gadis bernama Husna dan seorang gadis berjilbab yang ia tidak tahu namanya. Setelah mengucapkan salam, Faris mencium tangan Bang Pando.
"Ada dawuh (perintah), Bang?"
"Ini, aku mau minta tolong dampingi Husna."
"Dampingi apa? Maksudnya dampingi bagaimana, Bang?"
"Husna ini kan baru selesai ikut kursus nyetir mobil. Dan sekarang ia sudah dapat SIM A. Jadi dia ingin melancarkan kemampuannya menyetir. Kali ini dia ngotot mau bawa mobil ke Bukit Tinggi, ia tidak mau lagi kalau cuma muter-muter di daerah sini. Tolong kamu dampingi dia ya."
"Tapi ini sudah mau maghrib, Bang, apa tidak bisa besok aja?"
"Tapi ini anak emang keras kepala, maunya sekarang, susah dibilangin. Saya juga maunya besok biar saya sendiri yang dampingi, tapi dia tidak mau. Malah mau nyetir sendiri katanya."
"Bukan begitu Bang, bukannya Husna keras kepala. Kan Husna sudah jelaskan tadi, kalau besok Husna ada janji sama teman. Lagian, sekarang malah bagus, sore-sore terus bablas malam, jadi Husna bisa latihan nyetir mobil waktu malam," bantah Husna lantang.
"Ya sudah! Ini biar didampingi Faris. Dia salah satu supir abah yang sudah berpengalaman. Kalau saya ada waktu longgar, ya insyaAllah akan saya dampingi, tapi masalahnya bada maghrib ini saya harus ngisi pengajian bulanan di pendopo kabupaten."
"Terlalu ribet banget sih. Sebenarnya, didampingi si Nova sudah cukup lho, Bang. Kan kasihan juga Bang Faris, kegiatannya jadi terganggu."
"Sudah, jangan membantah. Kalau tidak mau didampingi Faris, ya tidak usah jalan!"
"Ya mau sih, tapi Bang Farisnya bagaimana, repot tidak?"
"Saya ikut perintah Bang Pando saja," jawab Faris dengan menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap wajah putri bungsu Kyai Saliah.
"Kalau begitu tidak ada masalah, kita bisa berangkat sekarang."
"Hati-hati, jangan ngebut ya!" pesan Bang Pando.
"Iya, tapi mana kunci mobilnya?"
Bang Fatan pun mengeluarkan kunci mobil dari sakunya dan mengulurkan pada adiknya.
"Faris, kamu duduk di depan ya, di samping Husna. Jangan di belakang. Yang di belakang biar Nova aja."
"Iya, Bang."
Mereka bertiga pun memasuki mobil kijang berwarna merah yang masih kinclong. Faris duduk di depan seperti arahan Bang Pando. Husna pun menyalakan mobil itu dengan tenang, dan pelan-pelan membawa mobil itu menyusuri jalanan Kampung Jambak menuju jalan raya ke arah Bukit Tinggi. Sepuluh menit kemudian mereka sudah menapaki aspal Jalan Agus Salim. Lalu lintas saat itu cukup ramai. Dengan penuh kewaspadaan, Faris memberikan aba-aba dan masukan kepada Husna.
"Jaga jarak na, itu angkot di depan memang sering suka berhenti mendadak!" gumam Faris, dan Husna segera mengikuti. Benar saja, angkot itu tiba-tiba berhenti mendadak, untung Husna punya kesempatan memelankan laju kendaraannya.
"Reting kanan dan langsung salib saja, depan dan belakang aman!"
Husna mengikuti instruksi Faris.
"Udah agak sepi, tambah kecepatan!"
Mobil kijang itu meluncur cepat ke arah selatan.
"Kurangi kecepatan, di depan ada orang yang mau menyeberang!"
Jalan terus menanjak, di hadapan ada truk tua yang berjalan tersendat-sendat. Husna bermaksud hendak menyalip, tetapi Faris langsung mengingatkan.
"Sabar, jangan tergesa-gesa untuk menyalib, tidak akan sempat. Di arah yang berlawanan ada mobil ngebut dan sudah kasih tanda lampu peringatan."
Husna pun dengan cepat menggeser posisi mobilnya ke kiri. Benar, sebuah mobil pick up meluncur cepat dari depan.
"Sekarang, maju!"
Husna tampak sangat menikmati perjalanannya sore itu.
Adzan maghrib telah berkumandang.
"Bang, kita shalat Maghrib di mana ya, enaknya?" tanya Husna sambil tetap konsentrasi ke depan.
"Setelah Koto Baru, ada SPBU, kita shalat di mushala situ."
"Itu sebelah kanan ya?"
"Bagus, sekalian kita isi bensin ya."
***
Bangunan masjid itu berbentuk seerti panggung. Lantai dan dindingnya terbuat dari kayu. Di lantai dasar ada terdapat tempat wudhu dan toilet yang terpisah untuk lelaki dan perempuan, ada juga gudang tempat menyimpan barang-barang milik masjid. Setelah shalat Maghrib, anak-anak pun berlarian di dalam masjid. Suaranya terdengar sedikit gaduh. Tetapi para orang tua tampaknya maklum, karena sebagian besar halaman masjid yang berumput masih tergenang oleh air hujan.
Usai berdoa Siti melipat mukenanya. Lalu ia berdiri mencari Titan, adiknya. Dilihatnya Titan sedang berkejaran dengan Rasyid, anak seusianya. Dua anak kecil itu sedang tertawa bahagia. Siti tersenyum melihat keduanya, tidak mau mengganggu kebahagiaan mereka berdua. Siti merasa lega, bahwa Titan tidak ikut merasakan kecemasan seperti yang ia rasakan.
Malam itu, Pak Lukman yang biasanya mengimami shalat Maghrib dan mengajar anak-anak mengaji tidak hadir hari ini. Ia sedang mengikuti pelatihan di Padang Panjang. Pak Lukman yang berdinas sebagai sekuriti di kantor kecamatan memang tidak bisa setiap hari hadir di masjid kampung. Karena libur, usai shalat Maghrib anak-anak langsung bubar, ada yang pulang ke rumahnya, ada pula yang tetap di masjid, bermain-main.
Selama ini, Kakek Mihunlah yang menjadi imam masjid sekaligus guru ngaji Al-Quran anak-anak. Namun semenjak Kakek Mihun sakit, masjid tampak seperti kurang terurus.