Pak Lukman yang sering mengumandangkan adzan dipercaya menggantikan Kakek Mihun untuk sementara. Jika Pak Lukman sedang berhalangan, maka siapa saja bisa menggantikan untuk jadi imam. Yang penting ada imam shalatnya.
Maghrib tadi yang mengimami adalah Pak Ujang. Siti merasa bacaan Pak Ujang banyak salahnya, tapi harus gimana lagi, karena tidak ada yang lain lagi yang bisa menjadi imam. Siti yang telah khatam ngaji Al-Quran pada Kakek Mihun, ditambah ikut program ekstra kurikuler Tahsin Al-Quran selama tiga tahun saat duduk di bangku SMP, tentu bisa merasakan bacaan Al-Quran yang lurus dan bengkok. Karena masalah terkait dengan masjid itu juga, ia berharap Uda Faris bisa segera pulang. Beberapa kali ia mendengar pembicaraan orang-orang tua di sini yang sangat mengharapkan kehadiran Uda Faris. Cucu lelaki Kakek Mihun itu diharapkan bisa menggantikan kakeknya yang sudah dua bulan koma, dan sangat susah diharapkan kesembuhannya.
Siti pun kembali bertanya dalam hatinya, apakah suratnya telah sampai dan dibaca oleh Uda Faris? Ataukah masih belum sampai? Atau malah tidak sampai? Kalau tidak sampai, ia harus bagaimana? Uda Faris tidak punya ponsel, ia sendiri juga tidak punya. Yang ia tahu hanya nomor kontak pesantren, tapi sudah beberapa kali ia hubungi tidak nyambung. Apakah ia harus pergi ke Kota Serambi Mekah sana, mencari dan menjemput kakak sepupunya itu?
Titan terjatuh karena berlari terlalu semangat. Keningnya mencium lantai kayu yang keras. Anak itu meringis dan melihat ke arah Siti. Mukanya mewek dan siap untuk menangis. Siti langsung menghampiri dan menguatkan adiknya,
"Tidak apa-apa, jatuh itu biasa. Ayo sana main, bangkit lari lagi. Anak lelaki itu harus kuat. Titan bukan anak cengeng. Ayo lari lagi!"
Mendengar kata-kata kakaknya, Titan tidak jadi menangis. Ia bangkit dan kembali berlari sambil tertawa riang. Siti menjaga adiknya bermain di masjid sampai ba'da Isya. Usai shalat Isya ia pun menggendong adiknya pulang.
Setelah menengok kondisi Kakek Mihun dan memastikan infusnya masih menetes normal, Siti lalu menyiapkan dagangan untuk ia jual besok pagi. Selama ini, setelah ayah dan ibunya meninggal, juga setelah ayah dan ibu Uda Faris meninggal, Kakek Mihun-lah yang menjadi tulang punggung dua keluarga itu.
Keadaan berubah total setelah orang tua paling dihormati di kampung itu sakit dan koma. Siti merasa ia harus melakukan sesuatu. Karena Nenek Masna, istri Kakek Mihun, sudah susah berjalan, demikian juga Nenek Sulis yang tak lain adalah neneknya sendiri. Nenek Sulis adalah adik kandung dari Nenek Masna. Jika Nenek Sulis adalah nenek kandungnya, maka Nenek Masna adalah nenek kandung Uda Faris. Ibunya dan ibu Uda Faris adalah saudara sepupu. Maka dirinya dan Uda Faris adalah saudara yang sangat dekat. Ia bahkan merasa bahwa Uda Faris, Kakek Mihun, Nenek Masna, berserta nenek dan adik kandungnya adalah keluarga intinya.
"Besok kamu mau jualan di Padang lagi?" tanya Nenek Sulis.
"Tidak, Nek. Terlalu jauh. Siti mau jualan di Pasar Pagi Simpang Empat, kebetulan Mbak Lika mau mengantar," jawab Siti sambil terus menggoreng tahu di dapur.
"Maafkan nenek ya Siti, yang tidak bisa banyak membantumu."
"Tidak apa Nek, yang penting Nenek sehat."
"Semoga kita bisa tetap sabar atas ujian ini."
"Amin. Nek, sebelumnya Siti juga minta maaf, tetapi ini terpaksa Siti lakukan."
"Apa itu?"
"Siti terpaksa mengirim surat ke Uda Faris meminta dia segera pulang." Ia menunduk, tak berani menatap wajah neneknya. "Siti tahu ini salah."
Kedua mata Nenek Sulis berkaca-kaca.
"Itu tidak salah, bahkan itu adalah tindakan yang tepat. Sebenarnya hal ini juga yang ingin nenek minta padamu, tapi nenek takut salah. Kalau yang minta pulang itu aku, atau Nenek Masna, itu salah. Karena Kakek Mihun berwasiat agar Faris tidak pulang dari pesantren sebelum diminta kyainya pulang. Dan dalam kondisi apa pun kami tidak boleh meminta dia pulang. Tapi, kalau yang meminta itu kamu, tidak apa-apa."
"Apakah Siti perlu memberitahukan hal ini pada Nenek Masna Nek?"
"Tidak perlu. Saat ini memang seharusnya Faris ada di sini. Dialah yang sepantasnya menjadi tulang punggung, bukan kamu. Dan aku yakin, kalau dia tahu bagaimana kondisi kakeknya dan kondisi kita semua di sini, dia pasti akan pulang. Sejak kecil dia adalah anak yang berbakti dan bertanggung jawab."
"Iya, Nek. Semoga surat Siti bisa cepat sampai ke tangannya dan segera pulang."
"Aamiin."
***
Neti menutup mushafnya. Pada malam itu, setelah salat Isya ia hanya mampu membaca dua halaman saja. Gadis cantik itu lalu bangkit dan keluar dari kamarnya. Ia menemui mamanya yang masih asyik nonton televisi, lalu mengajaknya makan malam. Neti mendorong kursi roda mamanya, kemudian memapah mamanya untuk duduk di kursi makan. Semua makanan telah tersedia di meja makan. Ada ayam gulai, rendang, sayur bayam, gulai toco, tempe goreng, juga rica-rica ayam. Semuanya masih hangat. Pembantu mereka baru saja menatanya.
"Segini cukup, Bu?" Neti mengambilkan nasi untuk mamanya.
"Kebanyakan, kurangi sedikit."
"Iya, Bu. Ini."
Ia lalu meletakkan nasi di hadapan ibunya.
Malam itu Neti makan dengan rendang dan sayur bayam kesukaannya. Sementara sang mama memilih ayam gulai dan tempe goreng.
"Jadi kapan kamu selesai kuliah, Net? Kapan kamu jadi dokternya? Ibu ingin lihat kamu jadi dokter."
"Sabar, Bu. Neti kan baru masuk semester lima. Dua tahun setengah lagi insya Allah lulus S1, Sarjana Kedokteran. Lalu Neti harus menjalankan praktik mengamalkan ilmu di rumah sakit, di bawah bimbingan para dokter senior, koas istilahnya, kira-kira tiga tahun. Jika secara yudisium dinilai lulus, baru Neti berhak memakai gelar dokter. Walau sudah bergelar dokter, namun Neti tidak bisa langsung buka praktik, Neti harus ikut dulu Ujian Kompetensi Dokter Indonesia. Baru setelah lulus bisa buka praktik."
"Wah, masih panjang ya jalannya, masih perlu empat tahun setengah lagi kira-kira."
"Iya Bu, itu pun kalau lancar semua."
"Apa Ibu masih akan ada saat itu?"
"Insya Allah, Bu. Insya Allah Ibu berumur panjang sampai melihat cucu Ibu lahir."
"Bagaimana ibu mau lihat cucu, sedang kamu dan kakakmu saja belum menikah."
"Mbak Fatmawati itu diminta segera menikah saja dulu, Bu. Sudah terlalu lama ia pacaran sama Bang Syahrul. Ke mana-mana runtang-runtung berdua, kan nggak bagus seperti itu terus. Emang mereka nunggu apa lagi sih?"
"Iya, Ibu inginnya kakak kamu itu segera menikah. Dia itu enam tahun lebih tua dari kamu. Umurmu berapa sekarang?
"Mau masuk 21, Bu."
"Berarti kakakmu sudah 28 tahun, sebentar lagi kepala Liga."
Dan tiba-tiba terdengarlah suara mobil masuk garasi.