Lelaki tua itu tersenyum ramah setelah mendengarkan semua cerita Neti.
"Kalau saya jadi Dek Neti—Neti kan ya tadi, namanya?"
"Iya, Pak."
"Kalau saya jadi Dek Neti, saya pasti juga akan sangat khawatir. Lha karena memang tidak jarang di daerah tempat kita, barang yang dibawa truk saja bisa dirampok sama bajing loncat. Motor yang kita bawa bisa dibegal di tengah jalan.
Apalagi ponsel yang tergeletak begitu saja di tempat umum—tempat wudhu kan boleh disebut tempat umum. Pasti hilang. Ya, pasti hilang. Saya juga pasti akan merasa begitu."
"Sebenarnya memang saya yang salah, Pak, saya teledor."
"Sebentar, Dek Neti, saya lanjutkan. Tetapi bersyukur dan berbahagialah Dek Neti bahwa masih banyak orang-orang baik di negeri kita ini, di daerah kita ini. Hp Dek Neti alhamdulillah aman, karena dengan pertolongan Allah ponsel Dek Neti telah ditemukan oleh seorang anak gadis yang jujur dan berakhlak baik."
"Benarkah, Pak?" Semangatnya kembali muncul, bercampur rasa tak percaya. Lelaki berkopiah itu mengangguk lalu mengambil sesuatu dari lacinya.
"Ini kan, barangnya?"
"Iya. Alhamdulillah. Allahu Akbar?" Air mata Neti menetes haru. Ia langsung melakukan sujud syukur. "Kalau boleh saya tahu, siapa nama anak gadis yang menemukan hp saya, Pak? Alamatnya di mana? Saya mau berterima kasih padanya," tanya Neti dengan mata yang berlinang.
"Maaf Dek, saya tidak tahu nama atau alamatnya. Saat saya tanya nomor kontaknya pun dia bilang tidak punya. Dia tadi tampak tergesa-gesa."
"Apa dia sering ke sini, Pak?"
"Tidak. Tapi dia tadi jualan Tahu goreng di depan masjid."
"Oh, dia. Besok saya akan kembali lagi ke sini, semoga dia jualan lagi. Tadi saya sempat ditawari dagangannya, tapi saya keburu mau shalat. Ternyata dia anak yang baik dan jujur," pandangan Neti menerawang, pikirannya sibuk mengingat wajah yang tadi hanya ia lihat sekilas. "Oh ya ini, Pak, ada sedikit untuk Bapak, sebagai tanda terima kasih," ia mengulurkan beberapa lembar uang ratusan ribu. "Tidak usah Dek. Sudah jadi kewajiban saya mengamankan masjid ini. Lagian, yang menemukan juga bukan saya. Tapi kalau Dek Neti mau beramal, silakan saja dimasukkan ke kotak amal, di sana itu."
"Baik. Terima kasih, Pak, saya pamit dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa alaikumussalam."
Neti meninggalkan masjid dengan perasaan haru yang bercampur bahagia. Ia begitu sangat terkesan pada gadis berjaket hitam keabu-abuan yang berjualan tahu goreng itu. Otaknya kembali memutar kenangan saat gadis itu menawarkan dagangan sambil mengikutinya berjalan ke masjid.
"Tolong Mbak, dibeli, keuntungannya untuk anak yatim."
Yatim. ...Suara iqamat telah terdengar, ia sama sekali tidak memandang wajah anak itu, dan hanya menjawab, "Maaf Dek, sudah iqamat."
Jangan-jangan dia itu anak yatim.
"Ya Allah, aku mohon, ampunilah hamba-Mu yang tidak peduli ini ya Allah, astagfirullah, astagfirullah, astagfirullahal'adziim."
Sungguh betapa ia menyesali kelalaiannya ketika ia ingat kepada Robbnya lalu memohon ampun kepada-Nya dan ia pun berjanji dalam hatinya, jika Allah mempertemukan ia lagi dengan anak itu, insyaAllah ia akan menyerahkan sepersepuluh isi rekeningnya, sebagai tanda terima kasih sekaligus sebagai infak untuk anak yatim.
Pada sore itu langit Kampung Jambak begitu cerah. Gunung Merapi tampah gagah menawan. Ia tampak seperti raksasa berotot. Lekuk-lekuk tubuhnya terlihat jelas, dari lereng sampai puncaknya. Sinar mentari bersinar kekuningan, menghias punggung gunung berapi berkawah tunggal itu. Burung-burung murai batu ramai bersenandung di tiap-tiap ranting pohon. Burung-burung bangau masih mengais rezekinya, bergerilya di pesawahan. Sebagian para petani terlihat masih bekerja, sementara sebagian lainnya sudah mulai membersihkan cangkulnya.
Kyai Shaliah telah menyudahi pengajiannya membaca kitab Bulughul Marom. Para santri pun bubar dengan penuh hikmat dan takzim. Sebagian dari mereka bergegas dulu-duluan pergi ke kamar mandi, dan sebagian yang lainnya memilih pergi ke kantin untuk istirahat sambil ngeteh dan ngopi.
Faris masuk ke dalam kamarnya. Ia letakkan kitab Bulughul Marom di atas lemari baju, lalu mengganti sarung yang ia pakai dengan celana panjang. Lalu Ia ambil print out skripsinya, dan memasukkannya ke dalam tas ransel bersama beberapa buku referensi dan lembaran-lembaran data lainnya. Ia mengingat-ingat kalau ada hal lain yang harus ia bawa. Setelah ia yakin tidak ada lagi yang tertinggal, lalu ia mengambil jaket kulit bututnya dan langsung bergegas menuju parkiran motor.
"Mau ke mana Ris, kok bawa ransel segala?" tanya Bang Reja, sekretaris pondok.
"Biasa, mau dinas ngurus ternak, sekalian lembur merevisi skripsi di sana."
"cuman sendirian?"
"Iya, Bang Reja."
"Biasanya sama si Agung."
"Si Agung lagi ikut ngawal anak-anak Tsanawi yang sedang kemah di daerah Bukit Tinggi, Bang."
"Bang Iqbal?"
"Biasanya malam-malam dia datang menengok."
"Ya sudah, hati-hati di jalan ya."
"Iya, Bang."
Faris lalu menghampiri motor dinasnya, motor tua jenis Mega Pro Primus, lalu mengendarainya keluar pesantren menuju arah timur Kampung Jambak yang berada di kota Padang Panjang. Khadim (asisten) kepercayaan Kyai Shaliah itu melaju pelan melewati jalan kampung. Di sepanjang jalan, hampir semua orang yang ia kenal disapanya dengan ramah. Sebagian besar penduduk kampung memang telah mengenal dengan baik santri berwajah ramah itu.
Dua puluh menit kemudian, Faris pun sudah sampai di dusun paling timur Kampung Jambak. Ia terus melaju sampai masuk ke area persawahan, menyusuri jalan berbatu yang membelah sawah, hingga sampai di area kolam ikan yang terletak di tepi Sungai Gadang.
Area lokasi kolam ikan milik pesantren itu sudah dipagari dengan bambu. Di pinggir kolam ada saung yang terbuat dari kayu berukuran empat meter persegi untuk penunggu kolam. Saung itu itu hanya terdiri dari satu kamar kecil berdinding kayu, yang dilengkapi dengan pintu yang bisa dikunci serta beranda. Ada toilet kecil di belakangnya. Itu adalah tempat menginap kedua bagi Faris, selain kamarnya di pesantren.
Faris lalu meletakkan tas dan langsung sibuk memberi makan ikan-ikan peliharaannya. Kolam ternak ikan dan area persawahan yang seluas setengah hektar itu adalah wakaf dari Datuak Sindo Mangkuto untuk pesantren. Datuak Sindo Mangkuto adalah penduduk Kampung Bukit Surungan yang rajin ikut pengajian umum Jum'at pagi di pesantren yang langsung diasuh Kyai Shaliah. Walaupun wakaf untuk pesantren, tapi Datuak Sindo Mangkuto memberi syarat bahwa wakafnya itu khusus untuk anak yatim dan dhuafa. Hasil ternak ikan dan hasil padi di sawah itu untuk memberi makan santri yatim dan dhuafa. Kyai Shaliah sangat memperhatikan betul syarat itu. Maka, Kyai Shaliah pun membuat sebuah asrama khusus yatim dan dhuafa yang dapurnya dipisah dari dapur santri pada umumnya. Karena, banyak juga sumbangan dari para dermawan yang dikhususkan untuk anak yatim.