Banten, February 2019
Mata Awan memindai satu per satu wajah teman masa putih abu-abu di secarik album foto yang di temukan pada tumpukan buku-buku yang di letakan di laci bagian bawah.
Awan menarik napas. Sesungguhnya mata ia hanya tertuju pada salah satu orang yang ada di foto itu, yaitu Anna seseorang yang pernah dekat dan mengisi hari-harinya di kelas semasa SMA. Sudah beberapa tahun lalu ia tidak pernah tahu kabarnya dan baru kemarin ia memberanikan diri untuk menghubungi Anna. Perasaannya sungguh berbeda ketika pesannya di balas oleh Anna, ini lebih bukan sekedar balasan pesan dari seorang teman lama, karena memang mereka adalah teman lama yang belum pernah saling melempar sapa lagi entah di sosial media ataupun di kehidupan nyata.
Singkat cerita memang Anna yang lebih dulu pergi dan tak pernah menanyakan kabarnya. Padahal dalam benak Awan ia selalu merindukan temannya itu sejak lulus dari masa putih abu-abu. Seringkali mengurungkan niat untuk berkabar lebih dulu tapi ia takut diabaikan oleh Anna, karena sejak kepergian Anna dalam hidup Awan sudah sempat beredar dan sampai ke telinga Awan bahwa Anna pergi karena kecewa pada Awan perihal hubungannya dengan orang lain.
Seketika hatinya bergemuruh dan raganya sudah terbang menuju ruang rindu yang dulu belum usai. Selang beberapa menit ekspresi Awan berubah terlihat murung karena beberapa hari ini Anna seperti menjauh darinya, entah apa yang terjadi, ia pun penasaran dan tak berhenti bertanya-tanya apa yang membuat Anna menjaga jarak dengannya. Apakah ia sudah berbuat salah padanya, benak Awan.
Ceritakanlah tentang harimu, Ann. Berbincanglah sampai salah satu dari kita tertidur. Dirinya tidak akan bosan dengan semua yang gadis itu ketik. Betapa sering Awan menduga-duga, adakah kode yang tersirat dalam kolom chat darinya?
Awan tidak mau berdrama, tapi ia tidak bisa mengeluarkan Anna dari kepalanya. Awan tergila-gila hingga tak tahu lagi mesti berbuat apa. Ini semacam rasa rindu yang terus bersemayam dalam pikiran dan hatinya. Dan Awan tidak berbicara perihal parasnya, atau apa yang Anna punya. Ada sesuatu tentangnya yang membuat Awan merasa yakin dengannya, entah apa.
Anna selalu mampu membuat Awan jujur mengenai segala hal, kecuali satu. Perasaannya. Andai saja Awan mampu memberitahu Anna. Tapi, Awan terlalu takut akan reaksi Anna yang tidak sesuai dengan imajinasinya selama ini. Bukankah fiksi lebih meninabobokkan dibandingkan kenyataan? Bukankah keduanya adalah dua orang yang terlanjur menikmati berkubang dalam zona pertemanan yang sejak lama? Tubuh keduanya berlumur harapan palsu. Tangan Awan menggapai-gapai mencari jalan keluar, sementara tanga Anna mencegahnya ke mana-mana.
Tunggu sebentar. Awan meminta keluar dari zona pertemanan itu untuk sejenak. Akan Awan tunjukkan pada Anna sebuah gerbang menuju dunia milik berdua. Mari, ikut ke sana. Di dunia kita, Anna tidak perlu lagi repot-repot menyatakan apa pun. Anna akan setuju untuk bersanding dengannya tanpa perlu ada serentetan harap yang membuat keadaannya semakin pelik. Anna akan menjadi milik Awan seutuhnya.
Di dunia ini, keadaannya akan jauh berbeda. Walau begitu, Awan tahu dirinya akan tetap menjadi orang yang sama, yang merindukan Anna dengan sederhana, mengejar Anna dengan wajar, menyayanginya dengan luar biasa dan menyakitinya dengan mustahil.
Ada ketulusan yang selalu datang menyapa Awan setiap hari. Meski kadang ia pun melupakannya. Awan harap ia akan terus bersabar hingga Titik Petrichor tercium oleh keduanya.
***
Awan merebahkan tubuh lelahnya di kasur. Ia tidak hendak mengeluh, karena ini adalah pilihannya. Ia sangat paham bahwa jalan menuju pendewasaan tidak pernah mudah. Butuh pengorbanan, waktu, cinta, dan tenaga. Semangatnya membubung. Tidak ada yang bisa menghentikan gelombang di dalam diri yang mendesak keluar. Mengingat ia yang sedang menempuh kuliah pada salah satu kampus di Bandung yang membuat dirinya sangat jarang pulang ke kampung halamannya. Jangankan bertemu dengan teman lamanya, dengan keluarganya pun ia hanya mengandalkan video call setiap hari hanya untuk melepas rindu.
Baru sebentar mengistirahatkan mata, terdengar ketukan di pintu.
"Awan!"
Ilham memanggil, sahabat sekaligus teman SMA dan kost sejak pertama kali kuliah. Awan beranjak duduk sembari memijat pelipis untuk mengurangi kliyengan. "Iya, Ham ada apa?"Tanya Awan sambil beranjak membuka pintu.
"Ada paket."
"Dari siapa?"
"Fira."
Awan mengangguk singkat. Ia berjalan keluar. "kau sudah makan, Ham?" "Belum. Kamu kalau mau makan duluan aja." Aku kembali ke depan ada urusan. sahut Ilham.
Awan melintasi ruang tengah di mana ada teman-temannya yang sedang belajar dan mengerjakan tugas. Ia salah satu diantara teman-temannya yang selalu lebih awal dalam menyelesaikan tugas. Pikirannya menebak-nebak Fira mengirimkan paket untuk apa? dan dalam rangka apa? untuk pertama kalinya ia menerima paket dari teman lamanya itu. Kalau ada satu hal yang perlu dikhawatirkan dalam hidupnya ia tak mau mengecewakan orang lain dalam hidupnya ... Jadi ia tetap akan menerima paket itu dari Fira meskipun belum tahu isinya apa. Segera ia raih paket yang berbentuk kotak sedang yang tergeletak di meja kecil teras kost.
Fira adalah teman SMA. Mereka sama-sama aktif di organisasi pramuka.
Awan langsung masuk ke kamar dan sampai di kamar langsung dibukanya kotak pemberian Fira, ada sebuah kotak yang berukuran lebih kecil lagi di dalamnya dan terlihat sebuah cetakan album foto dirinya dan Fira semasa SMA. Tak lupa Fira mencantumkan tulisan yang tertuju pada Awan, "jangan lupa pajang di kamar, semangat kuliahnya!"
Ilham masuk ke dalam kamar Awan dan mencoba menanyakan perihal paket yang Awan terima dari Fira.
"Wan, Aku tau kamu mungkin sedang bingung. Fira tadi telepon aku, beliau minta tolong untuk menyampaikan salam padamu, Wan. Dan ia juga meminta kamu untuk memajang fotonya " jelas Ilham, sambil menambahkan ucapannya.
"Aku langsung kepikiran Anna, bagiamana dengan ia, bukannya kamu sedang memperjuangkan, dan setahu aku Anna dan Fira berteman baik, bagaimana kalau Anna tau jika Fira mengirimkan hadiah untukmu, Wan?"
Awan menarik napas pelan. Raganya memang butuh istirahat, tetapi jiwanya sedang tidak baik-baik saja dan di landa kebingungan. Tanpa pikir panjang, ia menjawab, "Insya Allah, aku akan tetap konsisten dengan Anna, karena aku baru sadar Anna dari dulu sudah menjadi teman baik dan aku menginginkan lebih sekedar teman karen aku sungguh mengguminya."
"Alhamdulillah, kalau gitu aku lega, wan. Semoga kamu dan Anna bertakdir baik."
"Aamiin ... Terimakasih, Ham."
Awan meraih album foto dari kotak dan meletakkannya diatas meja dengan senyum kecil di bibir.
"Lho kok tetap di tempel, Wan?" tanya ilham sembari mengambil fotonya di meja.
Ilham sangat khawatir dengan sahabatnya itu, ia takut Awan salah memilih langkah.
***
____________________
To ... Be ... Continue ....