Chereads / Destroy Mission (Bahasa Indonesia) / Chapter 9 - Kondisi Ekonomi yang Sulit

Chapter 9 - Kondisi Ekonomi yang Sulit

Pak Ujang hanya terdiam, ia membenarkan perkataan Abah Asep soal korban yang telah banyak. Pun dengan anaknya sendiri yang nekat ingin mencari salah satu pendaki yang hilang.

"Bah, kami ke sini hanya menuruti adat dan perkataan Pak Ujang. Dengan ataupun tanpa izin Abah kami akan tetap mendaki. Ada hal yang perlu kami ketahui," tutur Wilder dengan berhati-hati, namun tegas.

Abah Asep terlihat menahan amarah mendengar perkataan Wilder yang menurutnya sangat tak sopan.

"Hai, anak muda, kau tahu? Banyak korban yang tak kembali dari mendaki gunung tersebut dan kami di salahkan. Padahal sejak awal kami sudah memperingatkan!" hardik Abah Asep dengan setengah berteriak.

"Abah, sebagai kuncen kiranya ke mana mereka para pendaki itu hilang?" tanya Haiden lembut, kemampuan bernegoisasinya paling baik dibanding yang lain.

"Entahlah, itu diluar kemampuan saya. Tapi, saya yakin mereka masih hidup. Hanya saja entahlah, di mana mereka disembunyikan," jawab Abah Asep dengan lebih tenang.

"Disembunyikan, oleh makhluk halus atau manusia lagi, Bah?" tanya Haiden memancing cerita lebih lanjut dari kuncen gunung tersebut.

"Para gaaib bilang mereka tak melakukannya, tapi saya tidak tahu pastinya karena mereka dari golongan jin," jawab Abah Asep lagi.

Teman-teman Haiden yang lain hanya diam menyimak, melihat tampang Abah Asep yang menyeramkan mereka takut salah bicara.

"Kalau begitu, ada kemungkinan ini ulah manusia. Maka dari itu, kami mohon izinkan kami untuk memecahkan masalah ini," ujar Haiden dengan sesopan mungkin.

Abah Asep nampakk berpikir, ada gurat khawatir dari mimik wajahnya. Pasalnya ini bukan kali pertama ada yang minta izin mendaki padanya selama lima tahun belakangan ini.

Setiap ada yang mendaki dan tak pulang, sedikitnya ada rasa bersalah dalam hati Abah Asep karena telah memberi izin.

"Saya tahu, Abah begitu khawatir dengan keselamatan kami. Terima kasih banyak atas perhatian Abah, tapi percayalah kami mampu dan tak akan menjadi korban berikutnya," tutur Haiden berusaha meyakinkan Abah Asep.

Abah Asep mengembuskan napas berat, ia begitu bimbang menghadapi keenam orang anak muda di hadapannya yang kekeuh ingin mendaki.

"Baiklah, tapi kalian harus menjalani ruwatan terlebih dahulu," ucap Abah Asep yang mengalah pada keinginan anak-anak muda di hadapannya.

Claretta dan teman-temannya saling pandang kerena tak tahu apa itu ruwatan. Mendengarnya pun rasanya baru kali ini.

"Silakan, Bah, kami bersedia. Apa itu ruwatan?" tanya Haide yang juga tak mengetahui arti kata tersebut.

"Mensucikan diri dan meminta perlindungan diri dengan cara-cara yang nanti Abah ajarkan," jawab Abah Asep.

"Baik, Bah. Kami siap." Haiden berkata dengan yakin dan penuh kesanggupn.

"Mulai besok, kalian puasa tiga hari berturut-turut. Jika berhasil kembalilah kemari," tandas Abah Asep penuh penekanan.

Mereka mengangguk kemudian pamit kembali ke rumah Pak Ujang. Sampai di rumah mereka langsung naik ke lantai atas untuk membicarakan hal itu.

"Apa maksudmu, Den? Untuk apa kita mesti ngelakuin ruwatan itu segala, malah habis waktu nanti. Tiga hari cuma buat puasa doang!" cerocos Wilder yang kesal pada Haiden yang mengambil keputusan secara sepihak.

"Enggak ada salahnya juga, Wil, kita nurut sama orang tua. Siapa tahu selamat!" bentak Stevi yang justru jadi kesal pada Wilder.

"Stevi, liburan kita ini cuma dua minggu, di rumah Pak Ujang aja kita sudah dua hari tambah perjalanan satu hari. Belum lagi ruwatan itu yang enggak tahu berapa hari, mau sampai kapan coba?!"

"Sudahlah, Wil, keputusan terlanjur diambil. Ikuti saja, semoga enggak lama," ujar Eisha pelan sambil menunduk.

Gadis manis itu memang selalu lembut, pemalu, dan tak pernah membentak. Entah bagaimana hingga ia bisa sedemikian rupa mengolah emosinya. Itu membuat Wilder diam-diam kagum dan luluh. Tapi, ia belum yakin dengan hatinya sendiri.

Wilder menarik napas dalam, mengelola emosi yang tadinya meledak. Suara lembut Eisha bagai air yang mampu menyiram kobaran api dalam dadanya.

"Oke, tapi enggak lebih dari empat hari. Kalau, lebih kita cabut," ujar Wilder setelah lebih tenang.

"Masalahnya, emang kita perlu puasa segala? Itukan nahan laper sama haus, kayaknya enggak masuk akal, deh," tanya Matteo yang baru kembali dari Eropa dan tidak mengerti dengan segala hal berbau Islami.

Matteo tinggal dan besar di Eropa baru beberapa minggu lalu kembali ke Indonesia, tempat kelahiran ibunya. Meski begitu, ibu Matteo di KTP beragama Islam. Hanya saja di Eropa sana ia kebingungan mencari arah dan akhirnya meninggalkan kebiasaannya.

"Mau gimana lagi, pasti Pak Ujang dan Bu Neneng pun enggak akan nyediain makanan dan minuman. Warung juga bakal tahu kalau kita enggak boleh jajan, namanya juga kampung," tutur Claretta yang sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selama tiga hari ke depan.

"Mengerikan, kenapa warga di sini bisa sampai seperti itu, ya?" tanya Matteo keheranan.

"Kamu enggak denger apa kata Pak Ujang? Warga di sini terbiasa puasa Senin dan Kamis makanya pas hari Senin ketika kita datang mereka enggak ikut sarapan," jelas Stevi dengan nada sedikit kesal.

Nampaknya rasa kesalnya belum juga reda, setelah tadi berdebat dengan Wilder. Stevi baangkit hendak ke kamar mandi sepertinya dengan mambasuh wajah dengan air dingin yang mengalir dari gunung bisa mendinginkan hatinya yang panas.

Ia menuruni tangga dengan perlahan, tangga di rumah Pak Ujang terbuat dari kayu dan sedikit curam. Di lantai bawah ketika hendak memasuki dapur ia mendengar tuan rumah tengah bicara dengan nada serius dan sedikit berbisik.

Tak ingin menggangu Pak Ujang dan istrinya, Stevi memilih diam sejenak di belakang dinding yang terbuat dari anyaman bambu tersebut.

"Pak, beras sudah mau habis. Tidak mungkin kita bisa memberi makan anak-anak kota itu lebih lama lagi. Apalagi, Bapak kan, cuma buruh di ladang orang," ujar Bu Neneng dengan nada mengeluh.

"Sebentar lagi, Mak. Paling tiga hari lagi, setelah ruwatan mereka akan pergi mendaki. Untuk beras Bapak usahakan ngutang dulu sama Bu Tuti. Untuk lauk Emak usahakan dari kebun, apa sajalah," tandas Pak Ujang seperti memberi keputusan.

Terdengar embusan napas kasar dari Bu Neneng yang sepertinya kurang setuju dengan keputusan suaminya.

"Mereka itu anak kota, Pak. Mana mungkin lauknya disamakan satu macam saja kayak kita, masa cuma mau dikasih oseng kol saja. Mana mau mereka, Pak ...." Bu Neneng kembali mengeluh.

"Kita usahakn saja, ya, Bu. Memuliakan tamu, kan, dianjurkan juga oleh Rasulullah." Pak Ujang berkata dengan lembut.

"Tamu yang bagaimana dulu, Pak. Sholat aja mereka enggak," sindir Bu Neneng kali ini nadanya terdengar kesal.

Stevi yang mendengar semua itu merasa malu dan mendapat cambukan keras di hatinya. Belum reda panas hatinya tadi malah mendengar hal yang semakin tak mengenakan.

Ia mengurungkan niatnya untuk ke kamar mandi, berbalik badan dan kembali menaiki tangga dengan perlahan.

Stevi duduk bersandar pada dinding kamar tersebut dengan wajah murung. Ia ingin menyampaikan hal yang baru saja didengarnya, namun dengan kondisi sekarang pasti akan semakin memperkeruh suasana.

"Ada apa denganmu, Stevi?" tanya Eisha lembut, gadis manis itu menyadari kegundahan yang dirasakan sahabatnya.

"Enggak apa-apa, cuma ngantuk aja," elak Stevi yang langsung berbaring dan berpura-pura memejamkan mata.

Eisha terdiam, ia tahu Stevi menyembunyikan sesuatu. Memaksanya bicara hanya akan mengacaukann semuanya. Nanti ketika waktunya tepat ia akan kembali bertanya.

Claretta memainkan ponselnya keadaan ini membuatnya kesal dan lebih memilih diam. Sifatnya yang acuh mendukung hal itu.