Perjalanan membutuhkan waktu sekitar satu jam dari rumah Allice menuju ke bandara internasional di Jakarta. Sesampainya di sana mereka kemudian menunggu dulu sambil minum kopi di salah satu kedai kopi yang berada di area bandara.
Keberangkatan pesawat tujuan Geneva masih satu jam lagi. Padahal itu adalah pesawat paling pagi yang akan berangkat hari ini.
"Sayang, apa kamu berniat mencari Brixton?" tanya Allice pada anaknya di sela-sela minum kopi. Kopi itu masih mengepulkan asap, sangat nikmat bila dihirup aromanya sebelum diminum.
"Entahlah, Ma. Bagaimana nanti saja, belum tentu juga Brixton masih di Geneva, kan?" jawab Claretta dengan senyum getir.
Setelah satu jam berlalu, panggilan untuk penumpang tujuan Geneva terdengar nyaring di seluruh penjuru area bandara.
Allice dan Claretta segera memasuki ruang tunggu penumpang. Untuk selanjutnya menaiki pesawat tujuan Geneva.
Perjalanan dengan pesawat cukup memakan waktu. Sekitar enam jam perjalanan, perbedaan benua membuat perjalanan jauh itu jadi semakin lama. Tapi, lebih baik dari pada dahulu sebelum ada pesawat. Bisa memakan waktu hingga berhari-hari bahkan berbulan-bulan.
Setelah terbang beberapa jam. Mereka akhirnya tiba di bandara internasional Geneva. Sudah ada supir travel yang menunggu untuk mengantarkan ke rumah nenek dan kakek Claretta.
Tanpa banyak basa-basi, mereka segera memasuki mobil agar cepat sampai ke desa kecil tempat rumah mertua Allice. Hanya satu jam perjalanan dari bandara, mereka telah sampai di rumah bergaya eropa abad pertengahan yang sangat estetik dan memukau.
Tak banyak yang berubah dari rumah itu. Sejak terakhir kali mereka meninggalkannya untuk pulang ke Indonesia. Taman dan kolam ikan kecil masih berada di halaman rumah tersebut.
Kemudian, mereka segera mengeluarkan barang-barang dari bagasi mobil dan membawanya ke teras rumah.
Setelah menyelesaikan pembayaran, mobil pun pergi. Sementara Allice mengetuk pintu sambil memencet bel di depan pintu berwarna putih itu.
Tak lama menunggu, keluarlah Lucas dan Neela membukakan pintu. Mereka begitu terkejut melihat siapa yang datang. Karena memang sebelumnya tidak ada kabar akan kedatangan Allice dan Claretta.
"Kenapa tidak memberi kabar terlebih dahulu? Kami tak tahu kalian mau ke sini," ujar Neela dengan begitu antusias.
Nenek berusia lebih dari setengah abad itu terlihat masih sangat bugar dan cantik. Bahkan masih terlihat lincah di usia senjanya.
"Claretta yang tiba-tiba mengajak ke sini. Ia ingin sekali ke sini, mungkin karena memang sudah lama tidak bertemu Mama dan Papa," jawab Allice pada ibu mertuanya itu.
"Oh ... Cucuku sayang." Neela langsung memeluk dan menciumi Claretta.
Claretta nampak kaku ketika membalas pelukan neneknya. Sementara Allice hanya tersenyum geli melihat pemandangan di depannya itu. Ia tahu kalau Claretta paling tak suka diperlakukan seperti itu.
Mereka kemudian masuk dan duduk di ruang tengah. Suasana tempat itu masih sama, hangat untuk bercengkrama. Tak ada yang berubah sama sekali dari ruangan itu.
Mereka duduk di sofa berwarna krem yang nampak bersih dan terawat.
Claretta hanya terdiam sambil tersenyum tipis karena senang, akhirnya bisa bertemu lagi dengan nenek dan kakeknya. Meskipun sebenarnya tujuan utama ke daerah itu adalah untuk mencari Brixton.
"Maafkan kami baru menengok Mama dan Papa lagi. Mas Crish juga sedang tugas, jadi tidak bisa ikut," ucap Allice memulai percakapan.
"Kami maklum kok, lagi pula mau bagaimana lagi. Sejak pertentangan ras hitam dan putih waktu itu sulit sekali untuk mendapatkan ketenangan di sini. Meskipun sekarang keadaannya sudah jauh lebih baik," tutur Neela menjelaskan dengan mata yang menerawang.
Ia teringat saat ras hitam dan ras putih bentrok di daerah Geneva tersebut.
Belasan tahun silam kejadian itu terjadi, penduduk suku Geneva terlibat percekcokan hanya karena masalah sepele. Lalu, semakin menyebar hingga menjadi pertentangan antar ras yang sangat menakutkan. Banyak korban berjatuhan dan meregang nyawa dalam pertentangan tersebut.
Akses menuju Geneva bahkan ditutup untuk sementara saat itu. Pasokan makanan pun sulit masuk dan sulit didapat.
Bahkan sekarang sungai Rhone yang dulu selalu ramai pun sudah sepi. Tanpa adanya festival-festival seperti dahulu. Kini, semuanya serba dibatasi, pergerakan-pergerakan masyarakat dibatasi.
Lucas dan Neela bergantian menceritakan kejadian itu. Raut wajah ketakutan dan sedih terkadang masih terpancar ketika mereka menceritakan hal yang benar-benar membekas di benak mereka.
Claretta hanya menimpali dengan sedikit-sedikit ucapan. Ia tidak bisa terlalu banyak berkata dengan siapapun.
"Kamu sudah besar sekali, Retta," ucap Lucas. Terbayang dulu ketika ia sering memangku Claretta di dalam mobil Bugatti Veyron miliknya. Dulu saat ia aktif dengan Crish bertugas di CERN.
"Iya, Kek. Sekarang aku sudah kuliah," jawab Claretta. Ia bingung hendak mengatakan apa lagi.
Setelah puas mengobrol Claretta dan Allice memasuki kamar mereka masing-masing. Claretta memasuki kamar di lantai dua kesukaannya. Di mana kamar itu menghadap langsung ke taman depan rumah kakek dan neneknya. Ia memang selalu menyukai kamar yang menghadap ke taman depan seperti di rumahnya di Indonesia.
Claretta kemudian beristirahat sejenak untuk melepas lelah di tempat tidur.
Tak ada yang berbeda dari kamar tersebut. Hanya sprei yang telah berganti warna, mungkin diganti dengan yang baru. Tapi, suasananya masih tetap sama, bersih, rapi, dan nyaman bagi Claretta.
Malam tiba, Lucas dan Neela memanggil Claretta dan Allice untuk makan malam bersama. Berbagai makanan khas Geneva disajikan untuk menyambut menantu dan cucunya itu.
Tadi Neela memang sibuk di dapur bersama Allice. Mereka memasak aneka makanan untuk makan malam itu.
Selesai makan, mereka kembali ke ruang tengah untuk mengobrol sebelum tidur.
'Aku bertanya sekarang tidak, ya? Tentang Brixton,' ujar , Claretta dalam hati. Ia ragu untuk mempertanyakan keberadaan sahabat lamanya itu pada kakek dan neneknya. Takut membuka luka lama mereka soal pertentangan ras.
Tapi, rasa penasaran mendorongnya untuk mempertanyakannya.
"Kakek, Nenek, tahukah kalian akan kabar Brixton?" tanya Claretta pelan. Mereka sedang menonton televisi kabel yang ada di ruangan tersebut.
Lucas dan Neela menatap Claretta iba. Seperti ada raut kesedihan di wajah mereka, untuk menyampaikan kabar tentang Brixton.
Neela menyentuh lengan Lucas. Memberi kode agar suaminya yang bercerita. Ia tak mampu untuk menceritakan kejadian itu, apa lagi tentang Brixton pada cucu kesayangannya itu.
"Ayah Brixton adalah ketua pimpinan ras putih saat itu. Ia berada di bagian terdepan saat pertentangan tersebut. Akibatnya ia dan istrinya terbunuh saat itu," tutur Lucas menceritakan kejadian masa itu.
Claretta sangat kaget. Ia tak menyangka kalau Ayah Brixton adalah pimpinan ras putih saat itu. Ia sampai menutup mulutnya. Kemudian, kembali bertanya.
"Lalu, bagaimana keadaan Brixton?" selidik Claretta yang benar-benar ingin tahu keberadaan sahabatnya itu.