Chereads / The Scenic Acatalepsy / Chapter 1 - Penutupan Acara Amal

The Scenic Acatalepsy

🇮🇩aleyshiawein
  • 234
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 107.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Penutupan Acara Amal

Visakapathnam, India

24 Januari 2018

08.45 A.M IST

Angin berdesir pelan, menerbangkan dedaunan kering dari tapak tanah ke tanah. Matahari bersinar hangat di sekian kaki diatas sana, tak banyak awan yang menghalangi. Bunga-bunga mulai di sepanjang taman merekah, melambangkan semangat baru usai musim dingin panjang berbulan-bulan. Cuacanya cukup cerah dan bersahabat di awal musim semi kali ini.

Nuansa baru turut dirasakan oleh ratusan orang yang tengah berkumpul di gedung pertemuan besar sebelah utara. Sejak tadi pagi, pelataran gedung itu telah ramai dikunjungi oleh mereka yang berpartisipasi dalam rangkaian kegiatan amal tahunan se-Asia Selatan. Kebanyakan dari mereka adalah tenaga medis ditambah beberapa perwakilan dari pemerintahan, yayasan, perusahaan sponsor dan pemuka adat.

"STATESIDE ASIA Charity Closing Ceremony in South Asia (India, Pakistan, Bangladesh, Nepal)"

"January 24th, 2018 at Visakhapatnam, India."

"Organized by STATESIDE ASIA and Pediatric Department of John Hopkins University."

Tajuk acara penutupan rangkaian kegiatan amal itu terpasang di berbagai media cetak sekitar gedung gedung. Sebagian besar hadirin acara berfoto di photo booth yang disediakan, mengabadikan momen kontribusi mereka sebagai filantropi.

Acara belum dimulai, namun seorang pria dengan kemeja putih, jeans, dan sneakers di ujung sana tampak sangat sibuk, berkeliling kesana kemari, menyapa para undangan, memastikan keperluan acara terpenuhi. Ponsel dan jurnal kecil berlapis leather ada di tangannya, pun terlihat semakin profesional dengan lanyard yang tergantung di lehernya.

"Eeey, Lintang! Long time no see, how are you?" sapa seorang pria yang baru saja hendak disambanginya dengan ramah. Keduanya berpelukan hangat khas gaya lelaki, "I'm good, Mr. Dhairya. Right, we only meet last July in the opening ceremony. Now glad that you come, despite of all your business."

Pria India itu menggeleng, menepuk-nepuk bahu Lintang layaknya seorang Ayah yang bangga dengan anaknya, "You always doing great here. How about your graduation?"

"Who's graduated recently? Lintang?" sambung seorang wanita dengan kain sari warna oranye, membuat Lintang lekas menyapanya sebagaimana budaya India, "Namaste, Madam Lakhsmi."

"Namaste. Anyway, thank you, Lintang for organizing everything from opening up to closing today. Really appreciate your hard work, and no wonder you're the best graduate from John Hopkins," puji Lakhsmi, terdengar bangga sekali.

"Ah, how do you know, Madam? It was a secret actually, haha," ujar Lintang, setengah tertawa berendah hati.

Kedua petinggi pemerintah dan yayasan itu hanya kembali tersenyum bangga, "Do you really want to go home next week? People here are very close to you, you've blended in really well. Isn't it sad to leave them?" tanya Lakhsmi.

"Well, it's actually very comfortable living in India, but there are a few things I need to take care of in America. Also, I have to continue some work," jujur Lintang, menatap deretan anak-anak di tribun upacara dengan pita simbol kanker warna pink di dada mereka masing-masing, "They will definitely be missed."

Lakhsmi tersenyum penuh arti, "Yes, and they will surely miss you too, a very loving and kind doctor," ujarnya.

"Come again sometime here, Lintang. We will be happy to welcome you," sambung Dhairya.

Lintang mengangguk, sekali lagi menghela nafasnya agak sedih, "Yes, thanks, Sir. Maybe I need to come for a vacation and relieve my stress someday."

****

Lebih dari sepuluh buket bunga berukuran besar disertai berbagai pernak-pernik dan hadiah tambahan ditaruh Lintang berderet di dekat jendela apartemen. Hadiah pemberian anak-anak dan orang tua penderita kanker itu ditata sedemikian rupa, guna menghasilkan potret digital fotogenik, estetik, dan seimbang dari berbagai rasio sudut pandang.

Tidak tanggung-tanggung, Lintang menggunakan kamera besar spesifikasi profesional untuk sekedar mengambil foto yang akan diunggah di akun Instagram pribadi. Bukan sekedar gaya, tapi itu adalah wujud terimakasih dan penghargaan Lintang lewat mahakarya fotografi.

Ya, mahakarya, karena normalnya jepretan kamera pria itu tak bisa dihargai barang seratus dua ratus dolar. Karyanya sudah masuk kategori profesional, komersil, bahkan memiliki hak cipta tak sembarangan.

Baru saja memilih foto yang akan diunggah, layar ponselnya berubah, menampilkan caller ID Naira, sang Ibu yang memanggilnya dari Indonesia.

Lintang tersenyum manis, mendudukkan diri di sofa dengan nyaman, "Halo, Ma? Apa kabar?" sapanya ramah.

Raut wajah Naira itu datar-datar saja nyaris cemberut, "Yang ada Mama yang tanya. Kamu kok baru selesai bakti sosial setengah tahun sama wisuda gak bilang-bilang sih, Lin?" ambeknya. "Masa Mama nonton dari YouTube semua acara-acara Kamu itu? Ngeselin banget ya Kamu tuh!"

Lintang tergelak pelan, "Biasanya juga gak bilang, Ma. Lagian cuma wisuda, biasa aja."

"Biasa aja gimana sih, Lintang? Ini momen penting! Kamu kayaknya memang gak suka ya Mama atau Papa datang ke agenda Kamu? Kamu malu? Iya, Lintang?" tuduh Mamanya itu beruntun.

"Ngapain Lintang malu sih, Ma? Justru bangga, punya Mama cantik, awet muda, pinter lagi kan?"

"Bangga tapi Kamu menyepelekan, gimana itu?" Papanya menyahut tiba-tiba, bergabung di sofa sembari membawa cangkir teh hangatnya.

"Hai, Pa, apa kabar?"

"Baik. Kamu gimana? Udah puas sekolah kedokteran sepuluh tahun? Kapan Kamu mau pulang, hm?"

Lintang menghela nafasnya sejenak, mulai bosan dengan pertanyaan seperti itu dari Papanya, "Kapan-kapan ya, Pa …"

"Heh!" pekik Mamanya, "Sembarangan aja Kamu! Kamu pulang kan abis wisuda ini? Gak kemana-mana lagi?"

"Masa udah wisuda keren-keren, susah-susah gini jadi dokter anak, terus malah mau pulang sih, Ma? Sayang dong, harus diabdikan dulu ilmunya biar bermanfaat," bantah Lintang sopan.

"Yasudah, kan bisa pengabdian di perusahaan, biar gelar M.BA Kamu itu dipakai, bukan sekedar formalitas menuruti perintah Papa."

Lintang tersenyum masam, Papanya kembali menyindir, meski memang benar faktanya seperti itu. "Nanti ya, Pa. Papa kan masih aktif. Aku masih ada yang ingin dikejar, baik di bisnis pribadi ataupun sebagai dokter," tanggapnya kemudian.

Papa dan Mamanya itu hanya bisa menghela nafas panjang, "Ya, terserah Kamu, Lin. Tapi jangan lupa kalau suatu saat Kamu itu harus berhenti keliling dunia. Gak ada salahnya kok kalau Kamu menggantikan Papa. Kamu juga masih bisa bermanfaat bagi orang lain. Hanya saja, caranya berbeda. Paham Kamu?"

Lintang mengangkat telapak tangannya, berpose hormat khas tentara, "Siap, Pak Presdir!"

"Ck! Gaya Kamu!" cibir Mamanya, Lintang hanya tertawa.

"Memang habis wisuda ini Kamu mau kemana lagi? Ada agenda apa?"

"Tebak coba, Pa," tantang Lintang setengah bercanda, membuat kedua orangtuanya itu menebak-nebak, "Ke Afrika lagi? Lanjutan Global Health Project yang sama WHO dan UNICEF?"

Lintang memetik jarinya keras-keras, "Betul, Ma. Aku gak bisa pulang karena Aku naik jadi Ketua Regional, harus tinggal disana selama enam bulan," ujarnya.

"Astaga, lama banget, Lin. Di negara mana?"

"Di Sierra Leone, Ma."