"Lalu, apa yang kau anggap janggal?" tanya Lusi semakin penasaran dengan cerita gadis di hadapannya.
"Tempat itu sangatlah dingin. Tapi, di siang hari ada asap tebal yang membumbung. Secara logika tidak mungkin ada perapian karena tidak ada orang di sana. Tidak pernah ada pendaki selama lima tahun terakhir. Ituu artinya di sana pasti ada orang atau bisa jadi para pendaki yang hilang, dan ini pasti ada kaitannya dengan hewan-hewan yang hilang di dunia," tutur Claretta menjelaskan opininya dengan begitu bersemangat.
"Mungkin bisa jadi yang kau katakan itu. Tapi, untuk anak seusiamu hal seperti itu terlalu berbahaya. Sudahlah, lupakan," ucap Lusi dengan tenang.
"Sayangnya, aku tak dapat melupakannya." Claretta tetap pada pendiriannya untuk menyelidiki hal tersebut.
"Bukankah kau sedang mencari Brixton?" tanya Lusi kembali.
"Tentu saja aku penasaran di mana dia. Aku ingin bertemu dengannya," jawab Claretta lagi. "Jadi, apa kau tahu di mana keberadaan Brixton?"
"Untuk pastinya aku tak tahu. Tapi, setahuku ia dibawa pamannya keluar dari Geneva saat itu. Memang di sini sedang kacau, pastilah orang waras akan memilih untuk pergi jika mereka memiliki tempat lain." Lusi menceritakan apa yang ia ingat soal Brixton.
Saat itu Lusi masih anggota FBI, ia pulang karena ingin melindungi ibunya. Tapi, rupanya ia kecolongan saat ibunya keluar untuk membersihkan halaman.
Secara tiba-tiba seorang lelaki berkulit hitam yang setengah mabuk kesal melihat Ibu Lusi yang berkulit putih. Ia tak segan-segan langsung membunu ibu Lusi saat itu juga.
Lusi yang saat itu sedang di dalam dan mendengar keributan di luar segera keluar rumah. Namun, nyatanya ibunya telah terkapar dan bersimbah darah. Ia kaget bukan main, dan melihat pelakunya sedang berusaha melarikan diri.
Saat itu hukum begitu lemah, ia tak bisa menuntut orang tersebut dan orang itu tidak mungkin menuntut Lusi atas apa yang dilakukan mereka.
Akhirnya Lusi mengejar orang itu dan membuat ia membayar darah yang telah dikeluarkan dari ibunya. Dari sana ternyata semakin banyak korban dimana-mana, makanan semakin sulit masuk karena memang dibatasi.
Sejak saat itu Lusi memutuskan untuk berhenti menjadi anggota FBI dan tinggal di desa itu. Mengurus rumah peninggalan ibunya, juga ayahnya. Jika ia tidak melakukan itu, pastilah rumah itu pun akan hancur dan menjadi sarang mereka yang memiliki dendam.
Claretta mendengarkan cerita Lusi dengan seksama. Terbayang olehnya bagaimana keadaan Geneva pada saat itu, kacau, hancur, bahkan kelaparan melanda di mana-mana. Sungguh mengerikan.
Tak terasa mereka mengobrol hingga sore hari. Waktu yang perlu ditempuh untuk menuju ke rumah kakek dan nenek Claretta cukup jauh.
Ia mulai bingung dan khawatir bagaimana caranya pulang dengan berjalan kaki. Rasanya tidak mungkin, tapi jika ia tak pulang pasti ibunya, kakek, dan neneknya akan khawatir.
"Jangan khawatir, aku bisa mengantarmu," ucap Lusi yang dapat membaca kekhawatiran Claretta.
"Apa takkan apa-apa?" tanya Claretta ragu.
Banyak ketakutan dalam dirinya, karena jika ia ketahuan sebagai tentara palsu pastilah ia akan dihukum berat sebagai penyusup.
"Bukan masalah." Lusi masuk ke kamar dan mengenakan pakaian tentara yang sama dengan Claretta.
Dia memang sering menggunakan pakaian itu untuk pergi ke sana ke mari dengan bebas. Ia juga benar-benar paham cara untuk menyamar dan menyakinkan orang lain bahwa dirinya adalah tentara. Tentu karena memang ia awalnya adalah seorang anggota yang lebih disegani dari tentara.
Lusi membuka pintu.
"Ayo, aku antar sekarang. Orang tuamu mungkin khawatir," ajak Lusi pada Claretta.
Gadis itu bangkit dari duduknya dan mengikuti langkah Lusi. Wanita paruh baya yang masih cantik itu berjalan cukup cepat. Langkahnya panjang-panjang karena memang telah terbiasa seperti itu. Juga itu adalah didikan para tentara dan anggota intelijen lainnya.
Ia punya banyak keahlian di bidang itu. Tapi l, sayangnya kini ia lebih memilih untuk tidak mengerjakannya lagi dan menekuni bisnisnya di bidang yang lain. Ada rasa menyesal di hatinya karena dulu menjadi anggota FBI.
Meski itu membanggakan kedua orang tuanya, tapi ia sering tak punya waktu di masa tua orang tuanya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjaga merawat makam orang tuanya di sisa hidupnya.
Mereka berjalan menyusuri jalanan yang sepi. Matahari sudah redup, hanya semburat oranye yang nampak di langit. Tapi, masih cukup terang untuk menerangi jalanan yang mereka lalui.
Beberapa pos penjagaan terlihat lebih diperketat di sore hari. Tampak para tentara berdiri tegap di batas-batas desa yang mereka jaga.
Claretta berjalan tenang di sisi Lusi. Meski sebenarnya ia takut penyamarannya dan Lusi diketahui, karena memang Lusi pun bukan tentara sungguhan saat ini.
Lusi berjalan dengan tenang. Saat sampai di salah satu batas penjagaan, tiba-tiba ada seorang tentara bertanya.
"Tentara dari daerah mana kau? Kenapa masih bisa berkeliaran, bukannya memperketat penjagaan!" tanya salah seorang tentara berkulit putih tersebut.
"Aku tadi telah mengantar seseorang ke perbatasan kota. Kini, aku akan kembali ke tempat jagaku," jawab Lusi dengan tegas, tak ada keraguan dari raut wajahnya.
Tentara itu ternyata percaya dengan akting Lusi yang benar-benar meyakinkan. Ia kemudian memberikan jalan untuk Lusi dan Claretta kembali ke rumah kakek dan nenek Claretta.
Matahari telah tenggelam sepenuhnya dan keadaan telah berubah gelap. Saat mereka sampai di depan rumah Lucas dan Neela. Claretta segera masuk dengan menggandeng Lusi. Ia khawatir jika Lusi langsung pulang akan dicegat lagi oleh para tentara itu dan penyamarannya akan ketahuan.
Mereka masuk ke dalam rumah. Disambut oleh wajah-wajah cemas keluarga Claretta. Lucas nampak sibuk menelepon kepada teman-temannya, untuk mencari keberadaan cucu satu-satunya itu.
"Dari mana saja kamu, Nak? Kau tahu kami begitu mencemaskan dirimu," tanya Allice dengan wajah panik yang kentara.
"Kau mesti tahu ini waktu yang sangat berbahaya saat ini di Geneva. Apa lagi kau menyamar sebagai tentara. Bagaimana kalau penyamaranmu diketahui oleh mereka," ujar Neela, yang benar-benar cemas pada Claretta.
"Tenang saja Kek, Nek, Ma. Aku diantar oleh Lusi jadi aman. Tapi, sepertinya aku ingin dia menginap di sini, terlalu berbahaya jika ia pulang sekarang. Penyamaran kami bisa ketahuan," tutur Claretta memberi alasan.
"Terima kasih telah mengantarkan anak kami, kau bisa tinggal di sini satu malam. Apa benar kau bukan tentara?" tanya Lucas heran.
Mereka kemudian duduk di sofa ruang tengah. Neela membuat teh panas beserta camilan untuk menemani mengobrol.
"Benar, saya bukan tentara saat ini." Lusi menjawab dengan tegas. Cara bicaranya memang terlihat berwibawa dan tegas.
Tidak seperti wanita biasa. Ia memiliki kharisma yang kuat. Pantas saja bisa sampai menjadi anggota FBI.