Claretta tidak bisa membantah ataupun berontak. Ia ikut ke dapur bersama ibu dan neneknya.
Saat di dapur Claretta nampak cemberut. Ia tak suka pekerjaan seperti itu. Menurutnya sangat membosankan. Apa lagi di zaman sekarang kita bisa dengan mudah menyewa asisten rumah tangga atau delivery makanan.
"Potong-potong sayuran itu, Retta," kata Allice pada putrinya yang masih berdiri dan termangu.
Claretta mengangguk dan mengambil sayuran yang di Indonesia, seperti kangkung. Lalu, memotong-motongnya dengan pisau.
"Ah ... kenapa ada hal menjijikan seperti ini, sih, di sini!" gerutu Claretta ketika menemukan ulat hijau yang gemuk di sayuran tersebut.
"Kamu kan, suka berpetualang. Masa tidak pernah menemukannya," sindir Allice pada Claretta.
"Berpetualangan kan, bersama teman, Ma. Enggak sendiri," jawab Claretta sedikit ketus.
Alice terdiam dan melanjutkan aktivitasnya mengolah makanan bersama Neela. Kali ini mereka membuat beberapa jenis makanan khas Geneva. Claretta sangat menyukai makanan tersebut, hanya saja ia memang tidak suka membuatnya karena memakan waktu lama di dapur.
Beberapa jam berlalu di dapur, akhirnya semua makanan pun selesai. Mereka kemudian membersihkan diri dan menunggu waktu makan malam tiba.
Claretta segera masuk ke kamarnya. Sepanjang perjalanan hingga masuk ke kamar ia terus saja menggerutu, karena tidak dapat kemana-mana. Sehingga tidak bisa mendapat petunjuk tentang semua pertanyaan dalam benaknya.
******
Malam tiba, kini mereka sedang menikmati makan malam di meja makan berbentuk oval itu. Claretta nampak murung di sebelah ibunya.
"Apa yang membuatmu sedih, Claretta?" tanya Lukas pada cucunya itu di sela-sela makan malam.
Ia sepertinya tak nyaman melihat kesedihan di wajah cucunya itu. Sebagai seorang kakek tentulah ikut sedih melihat kesedihan cucunya.
"Aku tidak apa-apa, Kek. Hanya sedih saja, karena besok harus segera pulang dan meninggalkan desa ini," jawab Claretta dengan nada sendu.
Lamunannya tadi buyar karena pertanyaan kakeknya.
"Keadaan kan, sudah aman. Kau bisa kembali ke sini kapan saja," ujar Neela menghibur cucunya satu-satunya itu.
"Iya, Nek. Mungkin kapan-kapan aku akan ke sini kalau libur kuliah lagi," ucap Claretta dengan senyum yang dipaksakan. Kemudian, mereka kembali menikmati makan malam yang telah disediakan.
Claretta berusaha menikmati makanannya dan menyingkirkan semua pertanyaan sejenak.
Seusai makan malam, mereka duduk di ruang tengah sembari menikmati tayangan televisi.
Claretta masih tampak muram dan tak menikmati tayangan yang disiarkan. Ia hanya melamun dan bahkan masih memikirkan bagaimana caranya kabur dari rumah malam itu juga.
"Apa yang kau pikirkan, Retta?" tanya Allice pada putrinya.
"Tidak ada apa-apa, Ma," jawab Claretta dengan malas.
"Jangan harap kau bisa kabur lagi malam ini, ya," ujar Allice dengan tegas, seperti bisa membaca apa yang dipikirkan Claretta.
Claretta mendengkus kesal dan melengoskan mukanya ke samping. Kesal pada ibunya sendiri, seakan keinginannya kali ini tak didukung.
"Aku ke kamar dulu," pamit Claretta, sambil berlalu menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya.
Sesampainya di kamar ia melihat ponselnya tergeletak begitu saja di atas nakas. Sejak berada di Geneva ia jarang menyentuh ponsel itu.
Ia penasaran juga dengan ponselnya. Kemudian, mengambilnya dan mengotak-atik ponsel tersebut Tapi sayang nomornya tidak aktif karena masih nomor Indonesia. Sehingga tidak bisa digunakan di Geneva.
"Aku harus mendapatkan nomor Lusi," gumam Claretta pada dirinya sendiri.
Ia berpikir bagaimana caranya mendapat nomor Lusi. Jika kabur saat itu juga, sudah tidak memungkinkan. Apa lagi ia tidak memiliki baju tentara. Mengambil di laundry pun sudah tidak mungkin, ganti rugi kemarin saja sungguh menguras keuangan keluarganya.
Tiba-tiba Claretta teringat ponsel ibunya yang bisa digunakan, karena sudah diaktivasi di Geneva.
"Iya benar, ponsel ibu. Aku akan meminjamnya sebentar," ujar Claretta dengan senyum sumringah. Kemudian, ia kembali ke lantai bawah untuk menemui ibunya.
"Ma, pinjam ponsel dong," ujar clareta sambil menadahkan tangannya.
"Untuk apa? Jangan berpikir dan melakukan macam-macam," tanya Allice dengan nada menyelidik.
"Hanya jenuh saja. Ingin mendengarkan musik dari si Merah." Claretta bicara dengan nada sedikit manja untuk membujuk ibunya.
Allice mempercayainya dan menyodorkan ponselmya. Kemudian, Claretta kembali ke kamarnya setelah mengucapkan terima kasih. Ia tersenyum melihat ada ponsel aktif di tangannya.
Dalam kamar Claretta mencari akun sosial media milik Lusi. Tapi, nihil. Ia tak menemukannya. Ia juga kebingungan karena tidak tahu nama lengkap Lusi dan info lain tentangnya.
Tetap tak ada info apa-apa dan tak ada foto soal Lusi yang ia kenal itu. Kebanyakan justru Lusi yang lain, yang hanya gadis biasa dan bukan seorang anggota FBI.
"Anggota FBI, ya," gumam Claretta.
Ia seperti baru ingat hal itu dan segera mencari tentang data anggota FBI. Tapi, ternyata menggunakan sandi khusus dan pastinya tidak dapat diretas dengan mudah.
Claretta mencoba berulang kali memasukkan sandi ke sana. Tapi, tetap tak bisa diakses. Padahal ia juga memiliki kemampuan lebih dalam bidang itu. Bahkan sering meretas akun lain untuk suatu kepentingan.
Untuk mencari data anggota FBI tentulah bukan hal yang mudah. Mereka sudah sangat berpengalaman dan bisa mencegah hacker abal-abal seperti dirinya. Namun, Claretta tak ingin menyerah.
Ia teringat soal ayahnya yang masih aktif di dunia ilmuwan, tentunya punya banyak relasi dengan orang-orang ternama termasuk FBI. Ia berpikir mungkin bisa meminta bantuan ayahnya.
Claretta kemudian menelpon Crish. Tapi, panggilan tidak diangkat, sepertinya ayahnya sedang sibuk di sana.
"Kenapa mesti sibuk, sih. Di saat seperti ini dan sedang sangat dibutuhkan," gerutu Claretta sambil terus mengutak-ngatik ponsel.
Claretta yang kesal akhirnya hanya menyimpan ponsel tersebut di atas nakas. Sementara ia membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Namun, matanya masih tak dapat terpejam. Berbagai pertanyaan muncul silih berganti dan menuntut jawaban.
Kali ini, dirinya benar-benar tak menemukan cara untuk bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan isi kepalanya tersebut.
Berkali-kali ia merubah posisi berbaring untuk mencari posisi nyaman.
*********
"Semua orang berharap padamu, Retta," ujar lelaki yang duduk membelakangi Claretta.
Ia berada di tepi kasur di bawah kaki Claretta.
"Kak—kakak," panggil Claretta dengan gugup.
Entah mengapa ia begitu mengenali sosok di hadapannya. Itu adalah Brixton, yang selama ini ia rindukan. Meskipun lama tak bertemu, ia tetap mengenalinya.
Ingin sekali ia memeluknya dan menumpahkan semua rasa yang bercampur di dadanya. Semua kecewa yang ia rasakan karena tak pernah didukung atas semua yang dilakukannya.
"Jangan dengarkan orang yang menjatuhkanmu. Aku percaya, kamu pasti bisa untuk mendapatkan jawaban dari semua teka-teki ini," tutur Brixton sambil melirik ke belakang. Matanya tajam menatap Claretta.
"Tapi bagaimana caranya? Aku buntu untuk saat ini, tak ada jalan yang bisa kutempuh," tanya Claretta kebingungan.