"Claretta segera bersihkan dirimu. Kemudian, kita makan malam bersama. Kalian pasti sudah sangat lapar," titah Allice pada putri semata wayangnya itu.
"Oke, Ma!" jawab Claretta sambil berlalu ke kamar untuk mengambil handuk. Sementara itu Lusi ia biarkan duduk di ruang tengah dengan keluarganya.
Lusi duduk bersama keluarga Claretta di satu sofa besar di ruangan itu. Ia nampak canggung meskipun sebenarnya ia dan Allice hampir sebaya. Sudah lama juga dirinya tak berkumpul seperti itu dengan orang lain.
"Kamu dari mana, Nak?" tanya Lucas. Ia bisa membaca bahwa Lusi bukan orang biasa.
Semua gesture yang diperlihatkannya tertata dan terlatih.
"Rumah saya tak jauh dari sungai Rhone. Tadi, bertemu dengan Claretta karena memang rumah saya berada di belakang rumah Brixton, pemuda yang sedang dicarinya," jawab Lusi dengan tenang.
"Berarti kamu adalah cucu Nancy?" tanya Neela antusias.
Ia mengenal Nancy sebagai adik kelasnya dulu, ketika masih sekolah. Mereka juga cukup akrab ketika itu. Bahkan jika reunian pun mereka kadang bertemu.
"Saya putrinya," jawab Lusi dengan senyuman tulus.
Ia tahu pasti keluarga itu bukan keluarga biasa. Ia juga tahu Lucas adalah seorang ilmuwan dan pernah menjabat ketua ilmuwan CERN.
"Kamu yang jadi anggota FBI itu, ya?" tanya Lucas yang mulai mengenali siapa Lusi.
Ia sempat beberapa kali mendengar berita tentang Lusi. FBI yang cerdas dari Geneva dan patut dibanggakan. Berita dari kawan-kawannya, orang tua Lusi memang sangat bangga karena anak mereka bisa menjadi anggota FBI.
Meski begitu sampai Nancy meninggal, Lusi belum juga menemukan jodohnya bahkan hingga kini. Bahkan berpikir tak akan menikah saja.
"Apa kamu belum menikah?" tanya Neela penasaran.
"Belum, atau mungkin takkan pernah. Saya menikmati hidup sekarang, sambil merawat makam kedua orang tua," tutur Lusi tanpa malu sedikitpun dengan keputusannya.
Ia merasa tidak memiliki pasangan hidup bukanlah aib. Melainkan pilihan seseorang untuk bisa menikmati hidupnya. Biasanya mereka disebut single fighter. Jalan hidup yang mereka pilih menurut mereka adalah terbaik dalam hidupnya.
Lusi pun berpikir demikian. Ia merasa lebih nyaman tanpa pendamping hidup. Dulu, ia pernah memiliki kekasih. Tapi, tidak bertahan lama karena dirinya yang sibuk dengan pekerjaan dan lebih mengutamakan karir.
Sehingga kekasihnya merasa jenuh dan merasa tak pernah diperhatikan dan akhirnya meninggalkannya.
"Kami hargai keputusanmu," ujar Lucas sebelum istri atau putrinya berbicara lain-lain.
Ia lebih mengerti kalau itu adalah sebuah pilihan hidup. Bukan hal yang layak untuk diperdebatkan.
"Soal cucuku Claretta, jangan terlalu menanggapinya dengan serius. Dia hanya anak muda yang sedang memiliki darah muda dan ambisi yang tinggi. Kau pasti mengerti maksudku," ujar Lucas memperingatkan.
Ia sudah tahu kejadian Claretta saat liburan ke Gunung Cikuray bersama teman-temannya. Juga hampir saja membawa teman-temannya dalam bahaya. Kalau saja saat itu Stevi tak meminta bantuan Allice.
"Baik, aku sangat aku mengerti," ucap Lusi dengan mantap.
Tak lama kemudian, Claretta selesai dari kamar mandi. Setelah berganti pakaian dan rapi, ia menemui keluarganya juga Lusi di ruang tengah.
Hari sudah malam, mereka pun makan malam bersama.
Neela dan Allice telah memasak berbagai jenis masakan yang menggugah selera. Lusi nampak tersenyum karena rasa masakan Neela seperti masakan ibunya.
"Lezat sekali masakan ini, aku jadi rindu ibuku," ucap Lusi berkomentar tentang masakan tersebut.
"Sering-seringlah main ke sini. Anggap saja aku ini ibumu. Lagi pula Allice dan Claretta juga akan pulang ke Indonesia. Nanti aku hanya berdua dengan suamiku. Terkadang rasanya membosankan," tutur Neela sambil bercanda dan diikuti tawa pelan di akhir ucapannya.
"Baiklah, lain kali aku akan kembali ke sini hanya untuk makan," canda Lusi pada keluarga itu.
Selesai makan malam, Claretta segera mengajak Lusi untuk langsung ke kamar. Ia ingin bicara dan mempertanyakan banyak hal pada Lusi.
"Aku ingin bertanya banyak hal padamu," ucap Claretta ketika mereka memasuki kamar dan ia segera mengunci pintu agar tidak diganggu siapapun.
Mereka kemudian duduk di kasur king size di kamar itu. Cukup besar meskipun ditempati berdua.
"Mungkin takkan banyak yang kau ketahui dariku. Aku sudah lama tidak bertugas di manapun," jawab Lusi.
Ia mengerti apa maksud ucapan Lucas tadi. Claretta masih terlalu muda untuk mengetahui hal-hal janggal di dunia ini.
Ia juga sedang menyesal karena tak bisa menemani kedua orang tuanya di masa tua. Ucapan Neela soal bosan hidup berdua tadi mengingatkan dirinya yang dulu jarang ada waktu untuk orang tuanya. Penyesalan memang selalu ada di akhir.
"Ayolah, kau pasti masih memiliki akses atau berita-berita terkini tentang dunia," ujar Claretta antusias.
Dia selalu antusias dalam memecahkan suatu masalah. Ia juga selalu tertarik pada hal-hal yang berbau misteri sejak dulu. Keluarganya sudah mengetahui itu dan melihat sebagai kelebihan yang dimiliki Claretta.
Namun sebagai gadis muda ia masih belum memiliki kontrol sepenuhnya terhadap ambisinya. Mereka khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan di luar dugaan pada Claretta.
"Jadi, pertama-tama aku ingin tahu soal Brixton. Kamu mungkin bisa mencarinya ke teman-temanmu atau siapalah," ujar Claretta yang memudahkan untuk mencari informasi tentang Brixton.
"Tentu tidak semudah itu. Hal itu sudah belasan tahun lalu. Kabar terakhir yang aku tahu, yaitu saat Brixton dibawa pergi oleh pamannya dan entah ke mana." Lusi berkata sambil mengingat potongan masa lalu.
Sebenarnya bisa saja ia bertanya atau mencari tahu kepada teman-temannya. Tapi, rasanya sangat tak masuk akal harus menanyakan seseorang yang telah belasan tahun tak ada hanya karena gadis kecil yang sedang jatuh cinta. Ia menganggapnya memalukan.
"Tolonglah ... aku hanya ingin tahu keberadaannya." Claretta membujuk Lusi agar mencari tahu.
Ia tahu Lusi bukan orang sembarangan dan pastilah bisa dengan mudah mencari tahu keberadaan Brixton dan pamannya.
"Memang kamu tahu siapa pamannya?" tanya Lusi balik.
"Tidak, tapi dia sering datang ke dalam mimpiku dan sepertinya ingin bertemu denganku," jawab Claretta sendu.
Lusi menarik napas panjang. Ia seperti ingin tertawa mendengar jawaban Claretta, hanya karena mimpi yang sering datang ia ingin mencari orang yang hilang belasan tahun lalu.
Padahal itu bisa jadi karena memang pikiran Claretta sedang terfokus pada masa lalunya dan Brixton.
"Sudah malam. Sebaiknya kita beristirahat," ajak Lusi sambil merebahkan diri di kasur berukuran king size itu.
Sebenarnya di rumah itu juga ada kamar tamu. Hanya saja Claretta ingin Lusi ke kamarnya agar bebas mengobrol.
"Ini baru jam delapan malam. Apa kau memang benar-benar sudah mengantuk?" tanya Claretta tak percaya.
"Tentu. Aku hidup sendiri tak punya teman, jika malam datang aku akan tertidur tanpa memikirkan apapun lagi," jawab Lusi sambil memejamkan matanya.
"Baiklah, silakan tidur," ujar Claretta akhirnya.