Setelah berbincang tak penting cukup lama. Claretta tak juga mau keluar dari kamarnya. Dia mengunci dirinya sendiri di kamar.
Sementara itu, di ruang tamu Oskar sudah mulai jenuh menunggu. Ia ditahan Lucas untuk menggebrak kamar Claretta. Namun, entah mengapa ia begitu tertarik pada Claretta, gadis yang menurutnya berbeda dari yang lain.
"Ke mana gadis itu? Aku perlu bicara dengannya, jika tidak kasusnya akan segera naik ke pengadilan!" ujar Oskar dengan pongah dan bernada mengancam.
"Putri kami masih sangat muda, tolong jangan melakukan hal itu. Nanti kami akan coba bicarakan, lagi agar ia tak melakukan hal seperti itu lagi," elak Lucas pada Oskar.
Ia tahu kalau Oskar tertarik dengan cucunya tapi melihat etika Oscar dan sikapnya yang arogan. Membuatnya enggan memperkenalkan lebih jauh Claretta dengan orang itu meskipun Oskar memiliki jabatan sekalipun.
Menurut Lucas etika bagi anak lelaki sebagai pemimpin kepala keluarga nantinya begitu penting. Karena ia adalah panutan dan nahkoda bagi keluarganya.
Lucas pun mulai menyadari kalau kedatangan Oskar ke sini bukan untuk mengusut masalah penyamaran Claretta. Melainkan hanya karena tertarik pada Claretta, ia sepertinya masih berpikiran labil dan menginginkan cucunya sebagai pelampiasan nafsu sementara.
"Sebaiknya kamu pulang anak muda, kamu masih bisa mendapatkan yang lebih dari cucu kami yang masih seumur jagung," kata Lucas tanpa takut lagi.
"Kamu berani mengusirku Pak Tua! Kau tahu siapa aku? Bisa saja langsung memenjarakan cucumu itu tanpa harus pengadilan," cerocos Oskar dengan begitu arogan.
Tiba-tiba telepon Oskar berdering. Ia ditelepon oleh atasannya dan disuruh untuk segera kembali ke pos penjagaan.
Saking kesalnya Oskar pun pergi tanpa pamit. Ia masih memiliki rasa segan pada atasannya. Jika saja yang menelepon tadi sebayanya pastilah takkan digubrisnya.
Setelah itu Allice memanggil Claretta untuk keluar kamar. Ada hal yang ingin ia bicarakan pada putrinya bersama kedua mertuanya.
Allice menaiki tangga menuju kamar Claretta, lalu mengetuknya setelah berada di hadapan pintu.
"Apa dia sudah pergi, Ma? Aku tak mau bertemu dengannya," tanya Claretta dengan setengah berteriak dari dalam kamarnya.
"Sudah. Ayo, cepat ke mari! Mama perlu bicara denganmu," jawab Allice pada putrinya itu.
Claretta pun membuka pintu, tak ada rasa bersalah di wajahnya. Mereka kemudian turun bersama untuk menuju ke lantai satu. Di ruang tengah Neela dan Lucas telah menunggu kedatangan mereka.
Setelah Claretta dan Allice duduk di sofa. Lucas menatap tajam pada cucunya itu. Ada kilatan amarah dalam manik matanya.
"Penyamaranmu kemarin ketahuan. Kau dalam bahaya. Lalu, ada urusan apa dengan lelaki tadi?" tanya Lucas sambil menatap tajam kereta. Suaranya pelan namun terdengar berat seperti menahan amarah.
"Aku tak punya urusan apa-apa dengannya. Waktu itu dia yang mencegatku di jalan. Aku tidak punya masalah dengannya," jawab Claretta dengan enteng.
"Sepertinya dia bukan orang biasa. Pasti orang tuanya memiliki jabatan di tentara, hingga dia bisa searogan itu. Apa lagi ini jam kerja, tadi saja sampai ditelepon oleh atasannya," tutur Lucas memberi penilaian terhadap sikap Oskar tadi.
"Lalu, kita harus bagaimana? Apa lebih baik aku dan Claretta pulang sekarang?" tanya Allice pada ayah mertuanya itu.
"Sebenarnya Papa tak ingin kalian pulang. Tapi, coba telepon Crish dulu mungkin ia tahu jalan yang lebih baik," jawab Lucas terdengar sendu.
Ia sebenarnya masih merindukan cucunya itu. Belasan tahun tak bertemu. Tapi, apa daya jika terus di sini khawatir Claretta akan kena masalah besar.
Apa lagi pemudi itu masih penasaran dengan keberadaan Brixton. Pastilah ia akan mencarinya lagi di daerah Geneva tersebut, jika masih di sana.
Allice pun segera menelepon suaminya. Pertama-tama ia berbasa-basi soal pekerjaan suaminya. Kemudian, barulah menceritakan soal Claretta yang membuat ulah di Geneva.
Crish adalah suami yang pengertian dan baik. Juga, ayah yang begitu baik pada putrinya. Ia hanya menganggap ulah Claretta sebagai kenakalan remaja biasa.
"Ya sudah kalau begitu ceritanya. Sebaiknya pulanglah saja, mungkin Claretta memang masih penasaran dengan keberadaan Brixton. Makanya ia bertingkah seperti itu, maklumi saja itu hanya kenakalan remaja," tutur Crish dengan santai di seberang telepon. Ia sepertinya tak marah sama sekali dengan apa yang dilakukan anaknya.
"Kau dengar kan, Claretta Papamu minta kita pulang secepatnya," ujar Allice pada putrinya selesai menelepon Crish.
"Tapi, Ma. Aku masih ingin di sini. Sudah lama kita tak ke sini," jawab Claretta kekeuh dengan keinginannya.
"Apa yang kau cari di sini, Claretta?! Brixton sudah tak ada di sini!" ucap Allice setengah berteriak. Ia benar-benar kesal pada putrinya itu.
Bukan apa-apa. Tapi, kejadian tadi membuatnya benar-benar cemas dan panik. Takut kalau Claretta diperkarakan dan tertimpa masalah di Geneva. Ia bahkan bisa dihukum seumur hidup penjara karena dianggap sebagai penyusup di kota.
Claretta hanya diam ketika ibunya marah. Bicara pun takkan ada yang mau mendengar ucapannya. Rasanya seperti tak dianggap.
"Terserah Mama, kalau begitu." Claretta bicara singkat kemudian berjalan cepat ke kamarnya.
"Claretta, Claretta! Tunggu Mama belum selesai bicara denganmu!" panggil Allice setengah berteriak pada putrinya yang sudah menaiki tangga menuju kamarnya.
Claretta tak menghiraukannya dan langsung masuk ke kamarnya. Kemudian, mengunci pintu dari dalam.
Setelah masuk ke dalam kamar, iamenjatuhkan bobotnya di kasur. Ada bulir bening yang mengalir dari netralnya. Tapi, ia tak bersuara sama sekali. Dirinya paling anti untuk menangis dengan bersuara dan meraung-raung.
Sementara itu, Allice mengusap-usap dadanya menahan gejolak emosi. Lucas dan Neela tak banyak bicara, mereka tahu menantunya sedang menghadapi masa pubertas anaknya.
"Anak remaja memang seperti itu. Kondisi emosinya meledak-ledak tanpa perhitungan yang matang. Sehingga seringkali terjebak dalam masalah besar, kau harus lebih bersabar lagi menghadapi Claretta," tutur Lucas dengan suara mengalir bagai air.
"Maafkan aku, Pa, Ma. Aku hanya benar-benar khawatir dan takut bila Claretta benar-benar diperkarakan dan mendapat masalah besar di sini," ucap Allice memberi alibi.
"Kami mengerti, sebagai seorang ibu sebenarnya tadi aku pun benar-benar takut. Cobalah lebih bersabar lagi dan bicara baik-baik dengan Claretta," ujar Neela yang memberi nasihat pada Allice.
"Baik, Ma. Aku akan mencobanya. Terima kasih untuk nasihatnya," ucap Allice akhirnya.
Sementara itu di kamar Claretta yang sudah puas menangis. Kini, sedang berpikir jika ia benar-benar pulang, bagaimana bisa mendapatkan informasi tentang Brixton.
Ia kini bingung harus kepada siapa yang mencari informasi sebelum pulang esok. Apa lagi Brixton telah meninggalkan Geneva belasan tahun yang lalu. Entah ke mana tak ada petunjuk di mana keberadaannya.
'Kenapa tak ada petunjuk sedikitpun di sini!' gerutu Claretta dalam hati.