"Mbak, ini kita pesan atau ngambil sendiri?" tanya Haiden yang berjalan paling depan.
"Ngambil sendiri boleh, Bang. Nanti nanti ditotal di kasir," jawab Pramusaji yang berada di dekat lemari makanan.
Mereka pun berjajar untuk mengambil piring yang sudah ditumpuk di meja. Kemudian mengisinya dengan nasi dan mengambil beberapa lauk yang tersedia di lemari.
Selera manusia memang berbeda-beda. Mereka pun memilih lauk yang berbeda-beda. Diakhiri dengan sambal dan lalapan yang berada paling ujung.
Haiden selesai lebih dulu dan berjalan menuju meja lesehan yang terdapat di restoran tersebut. Disusul dengan yang lainnya berjalan di belakang. Tak lama setelah mereka duduk, seorang pramusaji membawa nampan berisi beberapa gelas besar teh tawar untuk minum.
Di daerah Garut memang khas jika makan dengan ditemani teh tawar. Kata mereka serasa minum. Mereka menikmati makanan dalam diam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Selesai makan mereka masih duduk santai di meja itu sambil memainkan ponsel masing-masing. Berada di kota Garut sinyal ponsel kembali kuat. Tidak seperti ketika di desanya. Agak sulit untuk dapat sinyal.
Diam-diam Claretta mencari informasi tentang Gunung Cikuray yang sudah lama ditutup jalur pendakiannya. Banyak yang menceritakan hanya sebatas para pendaki tak kembali dan ketika dicari oleh tim SAR pun tak ditemukan.
'Tunggu, kenapa Tim SAR bisa kembali sementara pendaki tak bisa?' tanya Claretta dalam hati.
Ada satu lagi kejanggalan yang ia temukan. Menjadi teka-teki yang berputar di otaknya. Semakin sulit dan menyulitkan. Membuatnya semakin penasaran juga.
"Kawan-kawan," panggil Claretta pada yang lainnya.
Tapi hanya tanggapan dingin yang ia dapatkan.
"Apa?" tanya Matteo yang penasaran.
"Eh, enggak jadi," jawab Claretta pendek dan kembali menunduk menatap layar ponsel pintarnya.
Setelah cukup lama di restoran mereka pun pulang. Sebelumnya mereka membayar makanan terlebih dahulu di kasir.
"Beneran segini?" tanya Wilder yang heran dengan harga makanan yang tergolong masih murah.
"Iya, Bang," jawab Kasir yang tadi menjumlah harga makanan mereka.
Setelah membayar mereka pun langsung kembali ke villa untuk beristirahat.
"Saat ini pasti kalian masih sangat panas. Jadi, lebih baik istirahat saja dulu. Besok pagi baru kita diskusikan lagi," ujar Haiden.
Ada dua kamar di villa itu. Seperti biasa mereka dibagi dua kelompok. Laki-laki dan perempuan. Para lelaki langsung masuk ke kamar tanpa basa-basi. Sementara Stevi mendengkus kesal karena harus sekamar dengan Claretta.
Claretta terlihat cuek dan masih sibuk dengan ponselnya. Mencari-cari info lebih lengkap soal Gunung Cikuray dan kasus-kasus yang pernah terjadi.
Para gadis itu memasuki kamar dan berbaring secara acak di kasur yang tersedia. Kasur spring bed yang cukup besar untuk mereka bertiga. Eisha berbaring di tengah.
Sementara Stevi dan Claretta saling memunggungi dan menghadap tembok. Kantuk belum juga datang, mereka masih asik dengan ponselnya hingga tengah malam.
******
Pagi menjelang, matahari telah terbit dan memancarkan sinarnya. Meskipun panasnya belum terasa menyengat.
Mereka bangun dengan suara dering telepon dari ponsel Claretta yang sangat keras.
"Halo, Ma. Ada apa?" tanya Claretta setelah menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan telepon.
'Kamu berada di mana, Sayang?' tanya Allice —ibu Claretta— dengan nada cemas.
"Di villa, Ma. Kenapa?" tanya Claretta masih setengah sadar karena masih mengantuk.
'Pulang sekarang!' ujar Allice sedikit membentak.
"Loh, kenapa Ma?!" tanya Claretta yang kaget dengan perintah mamanya.
'Pokoknya pulang, papamu sedang ada tugas dan Mama tak ada teman. Tolong Mama ya, Sayang,' pinta Allice dengan nada memelas.
"Kok, mendadak sih, Ma. Aku enggak bisa pulang sekarang. Ada hal yang mesti aku selesaikan," elak Claretta, ia berusaha untuk menolak keinginan mamanya itu.
'Kamu enggak sayang sama Mama? Please, pulanglah sekarang juga. Ini sudah lima hari kamu pergi, masa belum cukup liburannya. Sembilan hari lagi kamu kuliah, kan?' bujuk Allice pada anaknya.
"Kalau begitu aku bicarakan dulu dengan kawan-kawan, ya Ma," jawab Claretta akhirnya.
Ia paling tak bisa menolak keinginan mamanya. Sementara itu, Stevi tersenyum menang sambil menghadap tembok. Rencananya bisa mulus juga untuk pulang.
Claretta bangkit dan menuju ke kamar mandi untuk mendinginkan diri. Ia sangat kecewa karena keinginannya untuk pergi mendaki dan memecahkan masalah terhalangi karena ibunya.
Di sisi lain memang Claretta tidak bisa menolak keinginan ibunya. Wanita itu adalah satu-satunya orang yang ia selalu turuti meskipun pada dasarnya ia adalah gadis yang keras kepala.
Selesai membersihkan diri Claretta keluar dari kamar mandi. Kawan-kawannya sudah menunggu untuk bergantian menggunakan kamar mandi. Ia langsung pergi ke kamar untuk sedikit memoles wajahnya
'Kenapa harus gagal, sih?' gerutu Claretta dalam hati saat melihat cermin.
Setelah semuanya selesai dari kamar mandi, mereka berniat untuk sarapan terlebih dahulu. Restoran yang ada di dekat villa itu menjadi tujuan.
"Sarapan dulu, yuk!" ajak Wilder pada yang lainnya. Ia sudah sangat keroncongan di pagi hari.
Semuanya menyetujui usulan Wilder. Mereka pun akhirnya keluar dari villa dan menuju restoran.
Claretta nampak tak bersemangat saat makan. Ia juga belum bicara pada kawan-kawannya soal permintaan ibunya yang menyuruhnya pulang.
"Kelihatannya lesu sekali. Ada apa?" tanya Matteo pada Claretta.
"Selesaikan saja dulu makan kalian. Nanti aku ceritakan," jawab Claretta dengan lesu sambil mengaduk-aduk makanannya.
Setelah mereka selesai makan, Haiden bertanya soal apa yang akan di ceritakan Claretta.
"Papaku ada dinas, jadi Mama nyuruh aku pulang," ucap Claretta pelan.
Kawan-kawan lelaki terbelalak mendengar ucapan Claretta, sementara Stevi dan Eisha tersenyum lega karena bisa pulang.
"Kalau gitu, jadi gimana? Apa kita mau pulang aja?" tanya Haiden sebagai penengah.
"Udah langsung pulang aja!" jawab Stevi dengan bersemangat.
"Ikut aja lah yang mana baiknya," ucap Wilder yang memang dari kemarin khawatir pada Eisha.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Pagi itu juga mereka membayar sewa villa dan melanjutkan perjalanan ke Bandung.
Claretta terlihat sangat lesu saat dalam mobil. Bahkan ia tak mau menyetir mobilnya sendiri.
Pikirannya kacau karena tidak jadi mendaki gunung. Sementara pertanyaan-pertanyaan dalam otaknya semakin mendesaknya untuk segera mengetahui kenyataan.
Sementara yang lainnya terlihat ceria dengan perjalanan tersebut. Mereka bernyanyi-nyanyi untuk mengusir kebosanan dalam mobil.
Akhirnya Haiden mengantar satu persatu temannya ke rumah masing-masing. Terakhir rumah Haiden yang memang dekat dengan rumah Claretta.
Setelah itu Claretta memakai mobilnya untuk pulang ke rumahnya yang tak jauh dari sana. Hanya waktu sepuluh menit, mobil pun sampai di halaman rumahnya. Ia turun dan langsung masuk ke dalam rumah, rupanya memang hanya ada ibunya di ruang tengah.
"Aku pulang, Ma!" ucap Claretta ketika memasuki ruang tengah.