"Aku pulang, Ma!" ucap Claretta ketika memasuki ruang tengah.
"Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Mama sudah dari kemarin menunggumu pulang," ucap Allice ketika melihat Claretta memasuki ruang tengah yang sedang ia tempati. Kemudian, mereka berpelukan melepas rindu antara ibu dan anak.
"Ma, memang Papa tugas di mana? Berapa lama?" tanya Claretta penasaran.
Ia berharap papanya tidak lama bertugas. Supaya masih ada waktu untuk mendaki Gunung Cikuray bersama teman-temannya sebelum masuk kuliah.
"Cukup lama kali ini, Sayang. Sekitar satu atau dua bulan. Untuk tempatnya Mama kurang tahu pasti, waktu itu Papa sangat tergesa," jawab Allice tenang. Namun, ia bisa menangkap kekecewaan di raut wajah anaknya.
"Oh begitu, ya Ma," ucap Claretta singkat, ada nada kecewa dalam suaranya.
Sebenarnya Allice telah terbiasa sejak dulu ditinggal tugas oleh suaminya. Namun, kemarin Stevi mengabarkan padanya kalau mereka hendak mendaki Gunung Cikuray, yang telah ditutup sejak lima tahun lalu. Stevi juga bercerita sudah ingin pulang. Tetapi, Claretta kekeuh ingin mendaki gunung itu karena katanya ada hal yang harus diselesaikan semacam misi menyelamatkan bumi.
"Kamu sebenarnya liburan dari mana, Sayang?" tanya Allice berpura-pura ingin tahu. Walaupun sebenarnya ia sudah tahu, hanya saja ia ingin mendengar kebenaran dari mulut anaknya.
"Da—dari Garut, Ma," jawab Claretta sedikit gugup. Ia tidak mengucapkan kata Gunung Cikuray karena jika ibunya tahu pasti juga tidak izinkannya pergi. Apa lagi kabar menyeramkan soal gunung itu pasti akan membuat setiap orang tua khawatir.
"Garut, daerah mana, Sayang? Untuk mendaki gunung atau ke pantai selatan?" tanya Allice lagi.
"Enggak kok, Ma. Aku dan kawan-kawan hanya menginap di villa dan menikmati kebun teh di Garut," jawab Claretta berbohong, tetapi Allice bisa menangkap kebohongan anaknya.
Ia yang paling tahu soal anak yang dilahirkannya. Meskipun sifat Claretta memang tertutup. Tapi, Allice tahu apa yang tersirat dan tak dikatakan anaknya.
"Oh begitu, ya sudah kalau begitu kamu pasti ingin istirahat. Ke kamar dulu saja gih," ujar Allice pada anaknya, ia sengaja tak mendesak Claretta untuk jujur. Karena pasti nantinya anaknya itu akan mencari tahu dari siapa ia tahu.
Claretta mengangguk dan bangkit dari duduknya. Kemudian, berjalan menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua.
Sesampainya di kamar ia menjatuhkan bobotnya di kasur. Bukan lelah yang menghinggapi tubuhnya, melainkan pikirannya yang masih terpaut pada misi tersebut. Pertanyaan-pertanyaan ganjil terus berkeliling mengelilingi otaknya. Menuntut untuk segera dibereskan.
Mulai dari para pendaki yang tidak ditemukan kembali tapi tim SAR bisa pulang. Lalu, asap di sisi kanan gunung di waktu yang begitu dingin. Sangat tidak mungkin kalau itu adalah perapian biasa. Hewan-hewan yang semakin berkurang jumlahnya dan terancam punah dalam waktu dekat.
Menurutnya, semua itu pasti berhubungan. Juga, saling berkaitan menjadi sebuah teka-teki yang harus dijawab dan diselesaikan.
"Apa yang bisa aku lakukan sekarang?" gumam Claretta pelan. Ia bertanya pada diri sendiri.
Lelah memikirkan semua teka-teki Gunung Cikuray, ia terbuai dalam mimpi.
******
"Kenapa belum ke sana? Tidak rindu padaku?" tanya Brixton yang tiba-tiba telah berada di kamarnya.
Pria tampan itu duduk di tepi kasur dengan membelakangi Claretta. Tetapi, gadis itu sangat mengenali semua sisi dari sahabat kecil yang ia cintai itu. Apa lagi sampai saat ini belum ada yang dapat menggantikannya di hati Claretta.
"Ma—maksudmu ke Geneva? Aku ... sebenarnya sangat ingin, Kak. Tapi ...." Claretta bicara dengan gugup.
"Aku sudah lama tak berada di Geneva," sahut Brixton cepat tanpa menoleh sedikitpun.
"Lalu, di mana?" tanya Claretta lagi.
"Carilah," ucap Brixton sambil menghilang menjadi cahaya putih, kemudian benar-benar menghilang.
****
Claretta terduduk di kasur. Menyadari kejadian tadi hanyalah mimpi belaka. Ada rasa rindu dan kecewa yang menyusul dalam hatinya.
'Ke mana aku harus mencari, Kak?' tanya Claretta dalam hati.
Sedetik kemudian ia berpikir untuk berkunjung ke Geneva bersama ibunya. Keadaan saat ini pastilah sudah normal kembali. Kemudian, di sana ia akan mencari Brixton.
'Tapi, tadi ia bilang sudah lama tak berada di Geneva. Benarkah? Ah, mungkin itu hanya sekedar mimpi,' gumam Claretta lagi dalam hati.
Ia lalu melirik jam yang berada di dinding kamarnya. Benda itu menunjukan pukul empat sore, berarti ia telah tidur cukup lama.
Claretta kemudian bangkit untuk ke kamar mandi, hanya sekedar mencuci muka. Lalu, keluar dan menuruni tangga untuk ke lantai satu rumahnya. Ia mencari keberadaan ibunya, rupanya Allice sedang berada di dapur bersama asisten rumah tangga. Ia sedang memasak makanan kesukaan Claretta.
"Halo, Sayang. Kenapa kamu ke sini?" tanya Allice pada anaknya, karena tahu Claretta paling anti memasak.
Gadis itu takut dengan cipratan minyak saat memasak. Hingga sampai saat ini paling anti untuk masuk ke dapur.
"Aku ingin bicara sebentar dengan Mama," jawab Claretta pada ibunya.
"Oke."
Mereka kemudian menuju ke taman belakang rumah. Di taman itu ada sebuah gazebo dan kolam renang yang cukup luas.
"Ma, kita sudah lama tidak ke Geneva. Bagaimana kalau liburan ini kita ke sana?" tanya Claretta pada ibunya.
"Bisa jadi. Boleh saja kalau kamu mau. Itu ide yang cukup baik untuk liburan. Tapi, Mama harus bicara dulu pada papamu," jawab Allice.
Claretta nampak tersenyum tipis.
"Sebelumnya, apa yang kamu cari di Geneva? Tidak mungkin hanya karena rindu pada kakek dan nenekmu, kan?" tanya Allice lagi. Ia tahu yang dirindukan anaknya itu adalah Brixton.
"Aku hanya rindu pada kakek dan nenek. Sudah lama tak bertemu," elak Claretta. Ia memang tertutup termasuk pada ibunya.
Allice telah begitu mengenal anaknya. Ia tahu kalau Claretta hanya mengelak. Anak itu memang selalu tertutup sejak dulu, mungkin hanya pada Brixton ia bisa menceritakan semua masalahnya.
Allice pun sebenarnya berharap kalau mereka bisa bertemu kembali dengan Brixton. Agar Claretta bisa kembali tersenyum dan menemukan kebahagiaannya. Ia seperti kehilangan sesuatu yang berharga dari hatinya sejak Brixton pergi tanpa kabar.
Mereka hanya terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kemudian, masuk ke rumah untuk makan setelah semua masakan matang.
Mereka makan bersama, setelah itu merencanakan tentang kepergian mereka ke Geneva. Claretta dengan cepat memesan tiket pesawat untuk pergi ke sana.
Kali ini ia akan berlibur bersama ibunya. Tapi, dalam hati ia merencanakan juga untuk mencari Brixton di Geneva. Berharap bisa bertemu lagi dengannya setelah sekian lama berpisah.
Keesokan harinya, mereka telah siap dengan barang bawaannya untuk pergi ke Geneva. Sopir pribadi pun telah siap dan memanaskan mobil sejak pagi di halaman.
Setelah sarapan mereka pun segera berangkat ke bandara dengan menggunakan mobil pribadi yang disopiri oleh sopir pribadi Allice.