Chereads / Destroy Mission (Bahasa Indonesia) / Chapter 10 - Keputusan

Chapter 10 - Keputusan

Ketiga lelaki yang membersamai mereka pun tak terdengar bersuara dari kamar sebelah.

Siang berlalu dengan lambat dan masuklah mereka di waktu malam yang gulita. Terdengar suara jangkrik yang saling bersahutan di luar rumah.

Suasana kampung begitu sepi, sejak isu lima tahun lalu. Tak ada yang berani keluar selepas magrib, padahal biasanya desa itu riuh dengan anak-anak yang pergi mengaji pada waktu magrib.

Isu itu seakan pedang yang tajam dan membunuh kehidupan masyarakat Desa Cikajang tersebut. Soal pendaki yang tak kembali, tak sedikit yang beranggapan kalau mereka diambil makhluk halus sebagai tumbal.

Suara kunti diwaktu malam, yang katanya desa itu telah dikutuk dan penghuninya pun akan dijadikan tumbal. Terbukti, dengan tak kembalinya anak Pak Ujang dari gunung tersebut.

Mereka sekarang tengah berkumpul di balkon sederhana rumah Mang Ujang. Hanya terbuat dari papan dan dikelilingi oleh kayu yang dijadikan pagar.

Stevi masih terlihat melamun, ia memikirkan percakapan yaang tadi siang didengarnya.

"Stev, ngelamun aja, tar kesambet, loh," canda Wilder pada gadis yang biasanya aktif itu,

"Hey, kita kapan pullang dari sini?" tanya Stevi pada kawan-kawannya.

Ia menatap teman-temannya satu persatu.

"Enggak bisa, kita harus selesaikan misi ini," ucap Claretta dengan tegas.

Kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan soal hal-hal janggal yang ia anggap misi yang mesti diselesaikan.

"Misi-misi," cibir Stevi pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.

"Kamu kenapa sih, Stev, kok, jadi nyibir aku gitu?" tanya Claretta yang tak terima merasa direndahkan.

"Habis di otak kamu tuh, misi doang adanya. Inget, kita ini numpang di rumah orang!" bentak Stevi tanpa takut.

"Sudah, Stev, sudah ...," gumam Eisha sambil mengusap-usap punggung Stevi.

Claretta mendengkus kasar. "Maksudmu kita ngerepotin Pak Ujang gitu? Orangnya aja enggak protes, kamu yang sibuk." Claretta bicara dengan nada mengejek yang menyebalkan.

Stevi menatap kawannya itu dengan tatapan tajam, dadanya naik turun saking kesalnya pada Claretta. Ia memalingkan wajah, teringat kembali percakapan Pak Ujang dan istrinya.

"Kamu terlalu egois, Retta. Tadi siang aku denger Pak Ujang ngobrol sama Bu Neneng mereka kehabisan beras belum lagi mikirin lauk buat makan kita, sudah habis uang mereka," tutur Stevi dengan suara bergetar, menahan tangis.

Claretta berdecih. "Cuma soal makanan? Ya udah, kita kasih aja uang buat makan sekalian sewa kamar, beres kan?"

Para lelaki hanya menatap adu urat leher tersebut, menunggu akar masalahnya muncul dari mulut dua gadis tersebut.

"Retta benar Stev, jangan terlalu diambil hati kalau memang mereka kekurangan ya, tinggal kita bantu malah kita lebihkan untuk bekal sehari-hari mereka," tutur Haiden dengn bijak, tapi di telinga Stevi itu seakan membela Claretta.

"Bukan cuma soal uang, Den!" hardik Stevi, sudah ada bulir bening yang mengalir dari kedua netranya.

"Lalu, apa lagi? Ceritakan semuanya secara gamblang biar kita tahu masalahnya dan bisa ambil sikap," tanya Haiden lembut.

Ia tak tega melihat Stevi yang sudah berderai air mata.

"Bu Neneng juga keberatan dengan keberadaan kita. Apalagi kita disuruh puasa, katanya jangankan puasa sholat aja kita gak pernah dan itu kenyataannya!" jawab Stevi dengan nada suara yang meninggi.

Deg.

Seketika mereka semua yang menatap dan menyimak perkataan Stevi membisu. Bagai ada bilah pisau yang mengiris hati mereka. Kemudian, luka itu disiram air garam. Perih, sangat pedih.

Kenyataannya memang mereka jauh dari ajaran agama. Claretta pun tak dapat berkata apa-apa menyangkut hal itu.

Haiden menarik napas panjang, kalau begitu ceritanya mereka tak dapat berbuat apa-apa. Itu bukan masalah materi yang berlimpah bisa mereka beri.

"Bagaimana? Tuan rumah rupanya keberadaan dengan kehadiran kita yang tak pernah salat ini," tanya Haiden yang juga tersinggung dengan rasa keberatan pemilik rumah.

"Ya sudahlah, pulang aja," celetuk Matteo tanpa berpikir panjang.

"Enggak bisa! Kita harus naik ke gunung itu dan membereskan semuanya," ujar Claretta yang teguh pada pendiriannya.

"Dasar keras kepala!" bentak Stevi yang sudah benar-benar kesal dengan sifat keras kepala temannya itu.

"Kalau emang ngerasa engga enak sama Pak Ujang dan Bu Neneng, ya sudah kita kasih mereka uang buat bayar sewa rumah. Terus kita pergi mendaki tanpa ruwatan-ruwatan enggak masuk akal itu!" cerocos Claretta tanpa perasaan.

Suasana begitu tegang, pengambilan keputusan yang sulit. Maju maupun mundur sama-sama beresiko.

"Retta, mendaki gunung dengan misi yang kamu pikirkan itu juga berbahaya. Semestinya lebih berwenang kepolisian atau apalah itu," tutur Eisha pelan untuk membujuk Clarettta.

Kawan yang diajaknya bicara itu hanya membisu. Tiba-tiba teringat mimpi-mimpi yang akhir-akhir ini selalu datang menghampiri tidurnya.

Brixton yang yakin bahwa dirinya hebat, dirinya bisa menjadi detektif hebat yang dapat menyelesaikan masalah dunia.

'Pasti Brixton memberiku isyarat lewat mimpi untuk menyelesaikan misi ini,' gumam Claretta dalam hati.

"Jadi, gimana? Kita ambil suara lagi. Kalau lanjut kita berangkat besok. Jika tidak, kita pulang besok," ujar Haiden tegas.

"Lanjut!" jawab Claretta tegas dan begitu yakin dengan keputusannya.

"Liburan masih panjang, sih, lanjut aja," tandas Wilder.

Eisha dan Stevi masih terdiam, menatap teman-temannya satu persatu.

"Eisha, Stevi, gimana?" tanya Haiden yang menunggu jawaban mereka.

"Aku mundur," jawab Eisha pelan.

"Aku juga mundur, kalau kalian mau lanjut silakan. Biar aku sama Eisha pulang sendiri naik kendaraan umum!" jawab Stevi yang diangguki oleh Eisha.

"Hei, enggak bisa gitu, dong. Kita pergi bareng-bareng, pulang juga harus bersama," pungkas Haiden pada kedua gadis tersebut.

"Apa yang kalian lakukan terlalu berbahaya!" bentak Stevi yang kesal dengan kawan-kawannya itu.

"Ayolah, Stev. Pendakian itu paling berapa lama, sih. Kalau cepet paling delapan jam sampai," ucap Claretta yang coba membujuk Stevi.

Sebenarnya ia tak suka membujuk seperti itu. Tetapi, tak ada cara lain selain itu. Stevi agak keras kepala, omongannya yang akan pulang pasti tak main-main.

Stevi dan Eisha saling tatap. Mereka mulai bingung dengan langkah yang akan diambil. Opsi pertama mereka tak mungkin tinggal lebih lama di rumah Pak Ujang.

"Nanti apa kata orang tua kita, kalau pulangnya pisah-pisah? Perginya kan, bareng." Matteo ikut membujuk. Ia kasihan melihat Claretta yang benar-benar ingin mendaki.

Gadis dingin itu entah mengapa begitu menarik di mata Matteo. Seakan punya daya tarik tersendiri.

Eisha nampak berpikir. Apa yang dikatakan kawan-kawannya ada benarnya. Belum lagi nanti pasti ia dan Stevi akan terus ditanyai keberadaan teman-temannya oleh orang tua mereka.

"Baik, tapi maksimal tiga hari kita kembali. Kalau tidak, aku dan Eisha pulang lebih dulu." Stevi berkata tegas.

"Setuju!" ucap Claretta yang senang sekali dengan keputusan temannya itu.

Mereka lalu ke kamar untuk membereskan semua barang bawaan. Tanpa sepengetahuan Pak Ujang. Rencananya mereka akan izin ketika akan berangkat saja, agar langsung diizinkan.

********

Pagi menyapa, para anak muda itu telah siap dengan barang bawaan. Setelah sarapan tanpa berkata apa-apa. Mereka naik ke lantai atas dan mengambil tas masing-masing.

Mereka turun bersamaan dengan tas di punggung masing-masing.

Pak Ujang terbelalak melihat para anak muda itu akan pergi.

"Kalian mau ke mana?" tanya Pak Ujang sedikit kaget.