"Stev, ngerti enggak, sih? Ini itu misi penting, kita enggak boleh mundur gitu aja!" Claretta berkata dengan tegas dan setengah berteriak.
"Sudah! Sudah! Dari tadi kalian malah saling teriak terus. Gimana mau dapat solusi dan jalan keluarnya kalau gitu!" bentak Haiden yang selalu jadi penengah di antara mereka.
Stevi dan Claretta diam. Mereka tetap pada pendiriannya masing-masing. Tapi, sepertinya para lelaki memang lebih suka hal menantang dan memihak kepada Claretta yang ingin naik ke Gunung Cikuray tersebut.
"Tolonglah, kalau kalian mau pergi silakan. Biarkan aku dan Eisha tenang. Kami mau pulang!" Stevi kembali membuka suara.
Sementara Eisha hanya menunduk. Dalam hatinya ia ingin sekali membenarkan perkataan Stevi. Ia pun sudah tak ingin melanjutkan perjalanan mengerikan itu. Gunung Cikuray telah lama menjadi gunung larangan. Banyak korban di sana, bahkan orang Cikajang sendiri tak bisa kembali.
"Kalau begitu, baiklah. Kalian boleh pulang! Biar aku dan yang lain pergi ke gunung itu!" Claretta berkata dengan tegas.
Ia memang keras kepala dan tegas. Tak seperti wanita kebanyakan yang mengedepankan perasaan. Rasa takutnya hilang dengan rasa penasaran yang menggebu. Belum lagi mimpi tentang Brixton yang seperti mendukungnya melakukan perjalanan itu.
"Oke! Ayo, Eisha kita pergi dari sini!" Stevi bangkit dan menarik tangan Eisha yang juga mengikutinya berdiri.
"Hei, kalian mau ke mana? Ini belum selesai, kita belum mengambil keputusan," tanya Haiden.
"Keputusan apa?! Pada akhirnya tetap saja kalian akan meneruskan perjalanan, kan?" tanya Stevi dengan nada sedikit keras.
Haiden terpaku sejenak seakan membernarkan perkataan Stevi. Sedikitnya ia pun penasaran dan ingin melanjutkan perjalanan tersebut. Tapi, ia juga tak bisa membiarkan dua orang gadis itu pulang sendiri. Ia merasa bertanggung jawab.
"Aku tak bisa membiarkan kalian pulang sendiri," jawab Haiden dengan suara tertahan.
"Kami tak mau menantang maut, kau mengerti?" ujar Stevi pelan namun dengan nada ditekan.
"Kalian pengecut," ujar Claretta pelan.
"Terserah," kata Stevi sambil berlalu ke dalam mobil untuk mengambil tas punggungnya dan Eisha.
Niat mereka telah bulat untuk pulang.
"Non, mau ke mana? Ini sudah mau sore, bahaya kalau naik kendaraan umum," tanya Bi Surti penjaga villa sekaligus asisten rumah tangga pemilik villa.
Eisha dan Stevi menatap Bi Surti penuh tanya. Mereka tak tahu kalau daerah Garut masih kental dengan mistis seperti itu.
"Kami mau pulang, Bi. Memangnya ada apa? Bukankah jam segini masih ada mini bus yang lewat ke Bandung?" tanya Eisha memastikan.
Di depan pintu villa, Haiden dan dua lelaki memperhatikan percakapan Bi Surti dan Eisha.
"Ada, tapi sebaiknya untuk perempuan apa lagi gadis kayak Neng ini jangan jam segini. Takutnya ...." Bi Surti menggantung ucapannya.
"Takutnya apa, Bi?" desak Stevi penasaran.
Bi Surti seperti enggan meneruskan ucapannya. Ia takut Eisha dan Stevi ketakutan.
"Eng—enggak, pokoknya mending Neng bermalam dulu di sini. Kalau mau pergi, besok aja," jawab Bi Surti dengan gugup.
Stevi dan Eisha saling pandang. Ada sedikit rasa takut menyusup di hati mereka. Tapi, rasa ingin pulang pun sangat besar di hati mereka.
"Eisha, Stevi, sudahlah. Tenangkan dulu pikiran kalian, bermalam di sini," ucap Haiden setengah berteriak.
"Iya, kalian dengar kan, kata Bi Surti sama bahayanya jika kalian pulang jam segini ke Bandung," ujar Wilder yang mendukung ucapan Haiden.
Sebenarnya ia tak mau Eisha pergi. Gadis lembut dan pemalu itu seakan menarik hatinya untuk tetap bersama. Ada sesuatu yang beda pada gadis itu.
Stevi mendengkus kesal. Walaupun sebenarnya ia tak nyaman dengan suasana seperti itu. Ia dan Claretta telah lama berteman. Sejak awal masuk kuliah dan liburan pun sering bersama. Baru kali ini mereka terlibat konflik karena perjalanan yang akan ditempuh.
"Ayolah!" Wilder yang tiba-tiba sudah di samping Eisha menarik lengannya.
Eisha tersipu malu dipegang oleh Wilder, karena ia pun menyimpan rasa yang sama untuk pria itu.
Mau tak mau Stevi pun mengikuti langkah kedua sejoli di hadapannya. Mereka berjalan memasuki villa itu kembali.
Di dalam, Claretta masih duduk termangu di ruang tengah. Isi kepalanya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terpecahkan. Berharap ia dan kawan-kawannya bisa memecahkan krisis dunia soal hewan yang tiba-tiba hilang.
Stevi dan Eisha duduk di ruangan yang sama. Tak ada kata yang terucap dari mulut mereka. Kesunyian pun menyergap. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Haiden masih duduk di luar, bersama Wilder dan Matteo. Menikmati suasana sore yang sejuk di daerah Garut itu.
Mereka pun hanya diam tanpa suara. Memikirkan langkah yang sebaiknya diambil untuk ke depannya. Haiden nampak berpikir dengan keras untuk menyatukan kawan-kawan wanitanya.
"Den, yakin mau lanjutin perjalanan? Eisha sama Stevi ada benarnya, terlalu bahaya buat kita," tanya Wilder yang khawatir pada Eisha.
"Itu yang sedang aku pikirkan," jawab Haiden datar.
"Tapi Retta juga ada benarnya kalau bukan kita, siapa lagi?" Matteo yang sudah menyukai Claretta sejak pertama bertemu lebih mendukung rencana Claretta.
"Kita bisa lapor ke aparat," jawab Wilder cepat.
Sebenarnya ia tak takut dengan perjalanan itu. Tapi, ia takut dengan keadaan Eisha yang memang tak berani mengungkapkan pendapat. Apa lagi hutan bukanlah tempat yang aman bagi mereka.
Menjelang malam mereka masuk ke dalam villa. Rasa lapar mendera perut mereka. Para cacing berdemo meminta jatah mereka.
"Kita makan dulu di restoran sana. Keburu tutup kalau terlalu malam," ajak Haiden pada ketiga teman wanitanya. Teman lelaki pastilah setuju jika urusannya soal makan.
"Aku enggak lapar," jawab Stevi cepat sambil memainkan ponselnya.
"Jangan bohong. Kita baru makan tadi pagi. Tubuhmu juga butuh tenaga," sanggah Haiden.
"Iya, butuh tenaga untuk menghadapi kenyataan," ujar Stevi jutek.
Haiden menarik napas dalam. Menghadapi wanita memang sulit. Kenapa tak semua wanita lembut dan penurut seperti Eisha.
"Ayolah." Haiden menarik tangan Stevi sehingga ia duduk dan akhirnya terpaksa berdiri.
Mereka berjalan keluar villa. Masih ramai di luar. Tapi, entah mengapa menaiki angkutan umum tak diperbolehkan. Apa lagi untuk wanita di waktu sore.
"Udah bagus tadi mau pulang. Masih ramai begini juga," gerutu Stevi yang kesal karena tadi gagal pulang.
Kawan-kawannya tak menanggapi, termasuk Claretta yang sudah malas berdebat.
Mereka tiba di depan sebuah restoran yang cukup besar. Seperti Ampera di Bandung. Restoran khas Sunda yang menyajikan aneka makanan khas Sunda.
Mereka memasukinya, melihat ada lemari makanan terbuka. Berjajar makanan seperti perasmanan. Mereka bingung dengan cara memesannya. Apakah ambil makanan dulu atau disediakan.
"Mbak, ini kita pesan atau ngambil sendiri?" tanya Haiden yang berjalan paling depan.