Kami memutuskan untuk langsung mendaki, Pak," jawab Haiden tenang.
"Kalian yakin?" tanya Pak Ujang lagi. Sementara istrinya hanya menatap tanpa bicara.
Claretta dan teman-temannya mengangguk tanda yakin dengan keputusan mereka.
"Bapak tidak bisa melarang keputusan kalian.Pesan dari bapak hati-hati dan waspadalah" tutur Pak Ujang melepas kepergian para remaja tersebut.
"Sarapan dulu, perjalanan pasti membutuhkan tenaga," ucap Bu Neneng yang telah menyiapkan sarapan untuk mereka.
Ia tahu anak-anak muda dari kota tersebut pasti takkan kuat untuk berpuasa. Jadi tadi subuh ia tetap memasak untuk sarapan.
"Eh, tidak usah Bu," sahut Claretta yang sudah tahu keluhan Bu Neneng soal ekonomi itu. Ada sedikit kesal menyusup di hatinya.
"Ayo, kebetulan Ibu sudah masak," ucap Pak Ujang ramah.
Mereka tak bisa menolak permintaan Pak Ujang. Beranjak ke dapur untuk makan bersama.
Tanpa mereka sadari ada seseorang yang kebetulan melihat persiapan mereka dibalik jendela dapur. Segera ia pergi ke rumah Abah Asep untuk melapor.
Beberapa menit kemudian mereka selesai makan. Kali ini rasa makanan sederhana itu tak seenak biasanya. Bukan karena bumbu yang kurang, melainkan karena keluhan Bu Neneng yang telah mereka ketahui.
Mereka bangkit untuk segera pergi.
"Kalau begitu kami pamit pergi dulu, Pak," ucap Haiden seusai makan.
"Biar Bapak antar." Pak Ujang menjawab sambil ikut bangkit dan mengikuti langkah para pemuda itu.
Eisha menyalami Bu Neneng paling terakhir. Ia menyelipkan amplop berisi uang di tangannya.
"Apa ini, Neng?" tanya Bu Neneng kaget.
"Terima saja, Bu. Anggap ucapan terima kasih kami yang telah diterima di sini," jawab Eisha lembut. Ia mengerti kesulitan Bu Neneng sebenarnya.
"Kalau begitu terima kasih banyak, Neng," ujar Bu Neneng pelan sambil tersenyum tipis.
Eisha hanya mengangguk kemudian keluar mengikuti langkah teman-temannya.
Mereka sudah berada di halaman rumah. Setelah Eisha bergabung barulah mereka melanjutkan perjalanan ke kaki gunung yang berada tak jauh dari desa itu. Melangkah beberapa puluh meter saja sampai.
Tiba-tiba kerumunan warga datang seperti mengikuti langkah mereka. Diantaranya bahkan ada Abah Asep yang nampak marah.
"Hei, tunggu jangan pergi!" teriak salah satu warga.
"Dasar anak tidak tahu aturan!" teriak yang lainnya.
Claretta dan kawan-kawannya berdiri termangu melihat kedatangan warga desa. Setelah dekat, tanpa aba-aba mereka menangkap Claretta dan kawan-kawannya.
"Hei, apa-apaan ini?!" pekik Claretta yang tak terima diseret oleh warga.
Juga dengan Wilder dan Matteo yang bertanya dengan keras apa salah mereka. Warga terus menyeret mereka hingga ke dekat mobil yang mereka bawa. Pak Ujang hanya mengikuti langkah warga tanpa bisa berkata-kata. Ia tak mungkin bisa melawan warga yang begitu banyak.
"Dengar! Kalian jangan macam-macam, jika nanti kalian jadi korban Gunung Cikuray lagi maka kami yang akan disalahkan! Jadi lebih baik pergi dari desa ini sekarang juga!" ujar Abah Asep dengan penuh amarah.
Apa lagi ruwatan yang disuruhnya ternyata tak dilakukan para remaja itu.
"Iya, Pergi! Pergi!" riuh Warga berkata pergi untuk mengusir mereka.
"Abah, tapi kami yakin tak akan menjadi korban lagi. Kami ini mahasiswa dan memiliki ilmu pendakian yang cukup mumpuni." Haiden coba bernegoisasi dengan warga.
"Tidak! Kalian pikir yang naik ke sana semua orang bodoh, hah?! Mereka juga banyak mahasiswa yang bahkan katanya pecinta alam. Sudahlah, pergi sana!" pekik Abah Asep marah.
Melihat amarah warga yang semakin tak terkendali. Mereka pun terpaksa masuk ke dalam mobil. Warga memberi jalan untuk mobil melaju sekaligus menghalangi jalan ke gunung.
Haiden yang berada di belakang setir kemudi terpaksa melajukan mobil dengan meninggalkan desa Cikajang.
Eisha dan Stevi tersenyum lega. Mereka justru bersyukur karena tak jadi mendaki.
"Yah ... jadi enggak jadi dong hiking-nya. Kita cari gunung lain ajalah," ujar Matteo asal.
"Tujuan kita bukan cuma hiking. Pasti ada sesuatu di gunung itu! Pokoknya kita cari jalan lain untuk naik ke sana," sahut Claretta dengan tegas.
Seketika Stevi tak terima.
"Kamu enggak lihat warga marah tadi seperti apa. Jangan keras kepala banget Retta!" bentak Stevi yang kesal.
"Sudah, Stev." Eisha menenangkan Stevi dengan mengusap-usap punggungnya.
"Tapi, ada masalah dunia yang mesti diselesaikan!" ujar Claretta tegas dengan setengah berteriak.
"Dunia bukan urusan kita! Masih ada FBI, polisi, tentara. Kenapa mesti kita!" Stevi tak terima.
"Sudah! Sudah, kalian ini berdebat terus dari kemarin, emang enggak capek apa!" ucap Haiden menengahi.
"Dasar wanita!" ujar Matteo santai namun sarkas.
Claretta dan Stevi diam. Tak menanggapi ucapan teman-teman lelaki itu.
"Nanti kita istirahat dulu, deh. Supaya tenang dan jelas langkah apa yang akan diambil selanjutnya," ucap Haiden lagi yang berada di belakang setir mobil.
Matanya melihat ke kiri dan kanan mencari restoran atau penginapan. Mereka sudah cukup jauh dari desa Cikajang dan memasuki daerah kota Garut. Claretta semakin cemberut melihat kenyataan mobil semakin menjauh dari Gunung Cikuray.
Melihat sebuah penginapan seperti villa yang berada di daerah Cipanas, ia menghentikan mobilnya. Ada restoran juga tak jauh dari tempat itu.
"Mau istirahat dulu apa makan dulu, nih?" tanya Haiden pada kawan-kawannya.
"Masih kenyang, sih. Kita istirahat dulu aja sambil ngobrol gimana ke depannya," jawab Eisha.
Mereka pun keluar dari mobil dan bertanya pada pemilik penginapan yang rumahnya tak jauh dari sana. Setelah mendapat kunci, mereka ke penginapan ditemani seorang asisten rumah tangga.
Sampai di villa. Mereka duduk bersama di ruang tengah yang cukup luas dengan satu televisi tabung yang ada di sana.
"Tenangkan dulu pikiran kalian," ucap Haiden sebagai aba-aba untuk diskusi yang akan terjadi.
"Jadi, sekarang kita mau ke mana? Ke Gunung Cikuray jelas aksesnya ditutup," tanya Haiden hati-hati.
"Pasti ada jalan lain, kita harus tetap ke gunung itu bagaimanapun caranya!" jawab Claretta tegas.
"Kalau mau celaka enggak usah ajak-ajak orang, dong!" sahut Stevi yang masih dongkol pada Claretta.
"Kalau kamu tetap ingin ke sana, memang mau jalan mana?" tanya Haiden lagi.
Sementara Wilder dan Matteo memilih diam. Berdebat dengan wanita pasti tak akan ada habisnya menurut mereka. Lagi pula mereka tak masalah mau mendaki ataupun pulang sekalipun.
"Kita cari jalan lain. Pasti ada!" ujar Claretta kekeuh.
"Kalau tak ada?" Haiden bertanya kemungkinan yang paling logic.
"Kita lewat desa itu lagi, tapi di waktu malam." Claretta memberi usul tak masuk akal.
Padahal baru tadi pagi mereka diusir dari desa itu. Amarah warga masih tergambar jelas dalam benak kawan-kawannya.
Stevi mengembuskan napas kasar. Kesal sekali ia pada Claretta.
"Tadi aja kita hampir mau dikeroyok warga!" teriak Stevi keras.