"Ya ... karena kejadian tadi siang, ketika aku menyebutmu Ret dan merayumu," jawab Matteo
"Sedikit, tapi tak masalah. Aku tahu kamu tak tahu soal diriku," ujar Claretta menimpali jawaban Matteo.
"Memangnya ada apa dengan panggilan, Ret? Namamu, kan, Claretta. Aku dengar teman-teman lain sering memanggilmu Retta," selidik Matteo yang masih penasaran.
"Kamu tak perlu tahu, intinya kalau boleh memanggilku Claretta atau Retta. Tidak dengan Ret, mengerti?" tanya Claretta dengan nada penekanan.
Matteo tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk pertanda mengerti.
"Ayo, masuk sudah malam," ajak Claretta yang kemudian diikuti Matteo masuk.
Di dalam rumah yang sederhana berdinding kayu itu, masih nampak ramai dengan obrolan hangat kawan-kawan Claretta. Padahal waktu telah menunjukan pukul sepuluh malam.
"Bapak telah mengantuk, jika kalian masih betah mengobrol silakan saja, ya," pamit Pak Ujang yang langsung berjalan menuju kamar utama rumah ini.
Sekarang di ruang tengah tinggallah para remaja yang tengah menikmati liburan mereka, yang sedang berlibur di Desa Cikajang tersebut.
"Aku masih penasaran dengan asap tadi," ucap Claretta yang mengungkapkan rasa penasarannya.
"Asap apa, Retta?" tanya Stevi yang tidak mengerti apa maksud Claretta.
"Ada asap, di sisi kanan gunung," jawab Wilder menjelaskan sekenanya.
"Lalu, apa masalahnya?" tanya Eisha dengan wajah bingung.
"Begini, Sha, ada asap di kanan gunung padahal sudah tidak ada orang yang mendaki gunung tersebut," tutur Wilder memberi penjelasan, Eisha dan Stevi mengangguk mengerti.
"Apa mungkin ada jalan lain selain dari desa ini untuk mendaki gunung tersebut?" tanya Haiden.
"Tidak, Haiden, saat ini Desa Cikajang adalah jalan satu-satunya menuju gunung tersebut," jawab Claretta.
Haiden menarik nafas panjang.
"Memang mencurigakan, intensitas ketebalan asapnya terlalu tebal pada siang hari jika itu hanya sebatas api unggun," tutur Haiden.
"Benar, ini sangat mencurigakan," ujar Claretta.
"Sudahlah, kalau begitu besok kita telusuri. Kita lanjutkan rencana awal untuk mendaki gunung," ucap Wilder yang membuat yang lainnya tercengang kaget.
"Tunggu, Wilder, jangan gegabah mengambil keputusan. Situasi dan kondisinya kurang mendukung," tutur Stevi menyanggah pendapat Wilder.
"Stevi, semua itu hanya cerita warga tentang para pendaki yang tidak kembali atau apalah. Sedangkan kita adalah para mahasiswa dengan keilmuan penjelajahan yang mumpuni, akan sangat bodoh jika kita tak kembali," tutur Wilder memberi alibi tentang pendapatnya.
"Terlalu banyak persoalan yang hanya bisa terjawab jika kita mendaki," ucap Claretta seperti mendukung usul Wilder.
Stevi terdiam.
"Di satu sisi Stevi ada benarnya, tapi di sisi lain Wilder juga ada benarnya. Maka dari itu kita ambil pendapat mayoritas, tapi setiap pendapat harus punya alibi yang masuk akal, bagaimana?" tutur Haiden menengahi dan disetujui oleh yang lainnya.
"Menurutku mendaki, alasannya kita punya ilmu yang cukup, dalam penjelajahan sehingga kita bisa memastikan keamanannya," ucap Wilder memberi pendapat.
"Menurutku tidak, dengan cerita warga sini saja cukup berbahaya jika kita nekat," ucap Stevi.
"Aku ikut, Wilder," timpal Matteo.
"Aku ikut, Stevi," ucap Eisha.
"Sekarang ini banyak persoalan masyarakat yang berkaitan dengan gunung tersebut, mulai dari spesies binatang banyak yang hilang sampai pendaki yang tak kembali. Kurasa kita harus menyelesaikan teka-teki ini," tutur Claretta.
"Kalau begitu ...." ucap Haiden menggantung, "kita harus bisa menyelesaikan teka-teki ini untuk menjawab semua persoalan masyarakat."
"Jangan gegabah, Haiden! Ini bukan penjelajahan anak pramuka yang terjamin keselamatannya!" ucap Stevi dengan nada meninggi.
Pagi-pagi buta saat matahari pun belum menampakan sinarnya Bellona dan kawan-kawannya telah bersiap untuk mendaki gunung tersebut.
Eisha dan Stevi terpaksa ikut suara mayoritas, yaitu mendaki gunung.
"Kalian mau ke mana?" tanya Pak Ujang yang melihat anak-anak muda itu telah siap dengan ranselnya.
"Kami akan lanjutkan rencana untuk mendaki, Pak. Ada hal yang mesti diselesaikan," jawab Haiden perlahan agar tak membuat Pak Ujang tersinggung.
"Bapak, khawatir dengan keselamatan kalian. Asal kalian tahu anak bapak sendiri sudah lama tak kembali dari gunung itu," ucap Pak Ujang, netranya seketika mengembun.
Pantas saja selama di rumah itu, mereka tak pernah melihat anak Pak Ujang dan Bu Neneng.
"Kenapa Bapak tak bilang sejak awal?" tanya Wilder dengan terang-terangan.
"Bapak tahu, kalian akan memaksa mencari anak bapak," jawab Pak Ujang pelan sambil menunduk.
Wilder menarik napas kasar dan mengembuskannya. Benar apa yang dikatakan Pak Ujang. Mereka yang tahu Pak Ujang orang baik akan berusaha mencari anaknya yang hilang di gunung itu.
"Bapak, benar. Kami akan tetap pergi mendaki gunung itu, termasuk mencari anak Bapak," ucap Claretta dengan yakin.
"Tunggu, kalau begitu kalian harus bertemu dengan kuncen Gunung Cikuray dan menjalani ritual. Semoga dengan cara ini kalian bisa selamat dan kembali ke kota dan orang tua kalian," tutur Pak Ujang menjelaskan.
Mereka saling pandang satu sama lain.
"Baik, kami bersedia," ucap Haiden sebagai penengah.
Meski sebenarnya mereka tak begitu percaya dengan ritual-ritual seperti itu. Tapi, setidaknya menuruti kemauan orang tua bukanlah hal yang salah.
Mereka kemudian kembali menyimpan tas ransel yang telah siap itu di kamar. Lalu, mengikuti langkah Pak Ujang dan Bu Neneng untuk menemui kuncen Gunung Cikuray.
Berjalan menuju ke arah belakang rumah Pak Ujang. Setelah berjalan sekitar sepuluh menit mereka tiba di depan rumah sederhana yang terbuat dari anyaman bambu.
Warna catnya sudah mengelupas di beberapa sisi rumah.
"Assalamualaikum, Bah! Aya di imah?" (Ada di rumah) Pak Ujang mengucapkan salam sembari bertanya keberadaan pemilik rumah.
Pak Ujang bertanya keberadaan Abah dengan menggunakn bahasa daerah yaitu Bahasa Sunda.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu, munculah seorang wanita paruh baya yang membuka pintu.
"Aya naon, Ujang?" (ada apa, Ujang?) tanya Ibu paruh baya tersebut.
Ibu tersebut adalah istri Abah Asep kuncen Gunung Cikuray, ia bernama Bu Tati. Wajahnya telah dipenuhi keriput, menandakan sepuhnya usia si Ibu.
"Aya peryogi ka Abah Asep, Mak, abdi teh," (Ada perlu ke Abah Asep, Mak, saya ini) jawab Pak Ujang sopan.
"Silakan, masuk dulu. Abah, sedang di kamar mandi." Mak Tati mempersilakan masuk dengan ramah.
"Terima kasih benyak, Mak," ucap Pak Ujang.
Mereka kemudian masuk ke dalam rumah tersebut, ruang tamu sekaligus ruang tengah di rumah itu begitu luas dan terawat. Terlihat dari lantainya yang terbuat dari papan begitu mengkilap.
"Pakai karpet dulu, Emak tadi baru selesai ngepel." Mak Tati membawa tikar yang terbuat dari anyaman.
"Enggak usah repot-repot, Mak," ujar Pak Ujang sambil membantu Mak Tati membawa tikar.
Kemudian, tikar tersebut dihamparkan di lantai papan itu. Mereka pun duduk sembari menunggu Abah Asep yang masih berada di kamar mandi.
Sepuluh menit berlalu, barulah Abah Asep menemui mereka dengan senyum tipis di bibirnya. Wajahnya dipenuhi janggut dan kumis yang lebat, pun dengan rambutnya yang panjang dikucir ke belakang. Tampilannya tak kalah menyeramkan serba hitam dengan ala-ala pendekar silat. Tak lupa blangkon terpasang di atas kepalanya.
Ia duduk bersila di hadapan para tamunya, memandang satu persatu anak muda tersebut. Sepertinya sudah tahu maksud ke datangan mereka.
"Jangan lanjutkan rencana kalian. Sudah terlalu banyak korban di gunung itu," ujar Abah Asep dengan wajah serius.