PLAK!
Tamparan keras melayang pada pipi Clarissa. Hanya beberapa saat bekas merah berbentuk jari tampak menjalar di pipi langsat gadis itu. Rasa perih itu membuat air mata Clarissa nyaris menitik.
"Masih diam? Tampaknya kau tidak menyesal. Tidak berniat meminta maaf? Apa kau mau aku menamparmu lagi?" tanya wanita di depannya.
"Maaf, Ibu," ucap Clarissa lirih. Wanita di depannya yang ia panggil bukan ibu kandungnya. Dia adalah istri pertama dari sang ayah, sedang dia hanya anak dari istri muda sang ayah. Sebagai seorang pejabat tinggi di istana, tentu adalah hal biasa bagi seorang lelaki untuk memiliki selir. Malah hal itu diperlukan untuk memperkuat koneksi politik serta memperkuat kedudukan. Ibu Cpaissa adalah wanita keturunan dari keluarga terpandang. Karena kesepakatan, ia kemudian menjadi selir dari ayah Claissa. Kata beberapa orang, dia adalah orang yang baik, sangat berbeda dengan sang istri pertama. Akan tetapi, Claissa tidak pernah tahu karena sang ibu meninggal setelah melahirkan dia.
Setelahnya, Claissa berada dalam pengasuhan istri pertama ayahnya. Amarah, cemburu, dan kebencian yang dalam membuat wanita itu beserta dua putrinya selalu mempersalahkan dan menyiksa Clarissa.
Ayah Clarissa sendiri tahu hal itu, tetapi ia tidak berdaya dan tidak bisa melarang istri pertama dia serta dua putri dia yang lain untuk terus memperlakukan Clarissa dengan semena-mena. Ayah dari sang istri pertama adalah orang kepercayaan raja. Tentu hal itu menjadi hal yang berpengaruh bagi ayah Clarissa. Lelaki paruh baya berbadan agak tambun tersebut takut jika ia menentang istri pertamanya, maka ayah mertuanya yang akan turun tangan menghadapi dia. Ayah istri pertamanya itu mungkin akan membuat dia kehilangan kedudukan dan jabatan yang selama ini dia dapatkan dengan susah-payah. Tidak mau kehilangan itu semua, maka ia membiarkan saja siksaan yang dialami Clarissa. Gadis itu juga tidak pernah mengeluh ataupun mengadu padanya.
'Sepertinya ia menyadari kedudukannya,' gumam ayah Cparissa dalam hati. Hal itu membuat ia lega, selama Clarissa diam, artinya tidak ada yang terjadi yang melewati batas. Gadis itu berarti bisa menanggung semuanya.
***
Clarissa memang bisa menanggung semua itu. Hanya saja tubuh dia yang tidak terlalu kuat menanggung itu. Dibanding para saudaranya, Clarissa tampak kusam dan pucat. Wajahnya juga tirus, padahal sebenarnya ia jauh lebih cantik dari mereka karena mewarisi kecantikan sang ibu. Namun, segala yang dia alami membuat kecantikan alami tersebut tertutupi.
"Clarissa!" panggil Jean dengan suara cukup keras. Jean adalah kakak tertua dari Clarissa. Penampilannya sebenarnya lumayan cantik. Akan tetapi, riasan menor dan berlebihan yang dikenakan justru membuat kecantikan gadis itu menjadi berkurang.
Di belakang, Clarissa masih sibuk mencuci piring. Bibi Ann -pelayan di rumah keluarga itu segera memanggil dia.
"Jangan melamun lagi. Cepat ke depan. Nona pertama sedang memanggilmu. Jangan sampai terlalu lama dan membuat dia marah padamu!' tegurnya pada Clarissa. Bibi Ann memang bersikap keras pada gadis itu, tetapi sebenarnya di dalam hati, ia merasa kasihan dengan Clarissa. Menurut dia, seharusnya Clarissa hidup seperti kakak-kakaknya, menjadi nona rumah yang hidup dengan nyaman. Namun gadis itu malah hidup dengan bekerja keras seperti sekarang.
'Kuharap suatu saat nanti dia akan bahagia. Akan ada orang yang mencintai dan menperlakukan dia dengan tulus,' gumamnya dalam hati sambil menggeleng dan menghela napas panjang.
***
Clarissa sendiri tidak pernah berharap seperti itu. Dia ingin pergi? Tentu saja dia ingin untuk pergi, tetapi Clarissa sadar, itu adalah tindakan bodoh. Ia tidak memiliki siapa pun, lalu ke mana ia akan pergi jika tidak memiliki kenalan satupun. Ia bahkan tidak memiliki uang. Clarissa tidak memiliki pilihan selain tetap tinggal di rumah tersebut.
"Kau ini dari mana saja? Dasar lamban!" tegur Jean saat Clarissa telah berdiri di hadapannya. Clarissa hanya diam. Jean kemudia menunjukkan sebuah gaun yang sangat indah. Manik-manik yang menghias gaun membuat gaun tersebut tampak begitu cantik.
"Lihat dirimu, gaun seperti ini jangan harap pernah kaumiliki!" tukas Jean. Ia kemudian menunjukkan sedikit lubang pada gaun tersebut.
"Aku tidak mau tahu. Gaun ini telah rusak. Aku mau kau membawa ke tokonya dan menukar dengan yang baru," ucapnya sambil memberikan gaun itu pada Clarissa.
"Tapi ...."
"Kau tidak mau? Apa sekarang berani membangkang dan membantah perintah?" tanya Jean.
"Tidak, Kak, aku ...."
Clarissa belum selesai berbicara. Wajahnya kemudian mengernyit kesakitan karena Jean kemudian memukul tubuhnya dengan tongkat kayu yang selalu dia bawa. Pukulan tersebut mendarat berulangkali di tubuh Clarissa.
"Berani membantah, berani melawan, sungguh sangat kurang ajar dirimu sekarang."
Clarissa hanya berdiri diam. Berusaha sebisanya menahan rasa sakit dan air mata yang hendak menganak keluar.
"Sudah, pergi sana!" tukas Jean yang puas memukul. Ia meletakkan kembali tongkat kayu di sampingnya. Clarissa hanya mengangguk. Ia bergegas pamit dan berjalan menuju pintu. Jean mengangguk sejenak dan memperingatkan Clarissa agar dia segera kembali.
"Jika kau tidak segera kembali, maka pekerjaanmu akan terbengkalai," tukas Jean.
"Kau tahu 'kan apa akibatnya?"
Clarissa hanya mengangguk. Jika itu terjadi, maka pukulan akan melayang pada tubuhnya. Clarissa kemudian segera berjalan keluar dari rumah. Namun, Tiara, kakak keduanya, kini memanggil dia.
"Kau mau ke mana?" tanya gadis bertubuh kurus tersebut. Ia kemudian melihat pada gaun milik Jean yang dibawa Clarissa. Ia kemudian tertawa.
"Oh, kau mau menukar gaun jelek itu?" tanyanya. Dari dalam, terdengar suara Jean tengah menggertak adiknya itu.
"Kau ini, aku menyuruh dia pergi, kenapa malah mengajak mengobrol?"
Tiara hanya tertawa saja mendengar itu. Ia kemudian melepas sepatu yang ia kenakan dan memberikan pada Clarissa.
"Ini, sepatu ini, aku sudah bosan dengan modelnya, padahal aku baru membeli. Aku mau kau tukarkan dengan yang baru."
"Tapi ...."
"Kau berani membantah? Apa masih kurang pukulan yang kaudapatkan hingga meminta aku untuk juga memukulmu?"
Clarissa hanya djam dan menggeleng.
"Nah, seperti itu baru benar, tunggu apa lagi? Cepat pergi sana, Lamban!"
***
Pemuda berwajah tirus tersebut memotong kue dan memberikan sepotong pada Clarissa. Nama pemuda itu Daniel. Dia dan Clarissa adalah teman baik. Mereka telah berkawan sejak kanak-kanak.
"Apa Tuan Wang telah jatuh miskin hingga tidak punya makanan dan pakaian?" tanyanya saat melihat gadis itu memakan kue pemberiannya dengan lahap.
Clarissa diam sejenak kemudian menggeleng. Daniel memang sangat tahu tentang dia, termasuk kebiasaan para saudara tirinya itu.
"Cla, mereka terus memukulmu. Kau tidak seharusnya hanya diam. Apalagi menukar-nukar seperti ini, apa kau lupa yang terjadi beberapa hari lalu?" tanya Daniel yang mengiringi langkah gadis itu.
Clarissa menggeleng. Ia tidak pernah lupa kejadian beberapa hari lalu tersebut, tetapi ia juga tidak ingin menjadi sasaran kemarahan Jean dan Tiara. Clarissa tidak pernah berani menghadapi kedua kakak-beradik itu.