Tuan Wang hanya diam. Meski Clarissa memohon, Bibi Ann tetap dibawa pergi dari sana. Clarissa hanya bisa menangis sedih. Ia terus saja memikirkan nasib wanita itu. Jika terjadi sesuatu pada Bibi Ann, maka itu adalah salah dia. Wanita tersebut tidak ada, maka ia akan sungguh sendirian. Tidak akan ada orang yang masih peduli padanya. Malam tersebut berlalu dan Clarissa tidak sekejap pun bisa untuk tidur.
Pada hari selanjutnya, Tuan Wang memanggil Clarissa.
"Apa kau masih ada keperluan di luar?" tanya ayahnya tersebut. Clarissa hanya diam. Tangannya sibuk melipit bagian bawah gaun kusam berwarna putih yang ia kenakan. Ia mencemaskan pria yang ia tolong, tetapi ia juga cemas dengan keadaan bibi Ann.
"Kau tidak perlu khawatir dengan Bibi Ann. Dia baik-baik saja. Jika tidak percaya, kau bisa bertemu dengannya."
"Ayah, Anda telah menolong Bibi Ann, maka aku akan menurut untuk tidak keluar lagi," ucap Clarissa. Tuan Wang menghela napas panjang. Ia telah memperlakukan putrinya dengan begitu buruk. Tidak heran Clarissa menjadi tidak percaya padanya.
"Bibi Ann baik-baik saja. Ayah telah menyuruh orang untuk mengobati dia. Tidak akan ada yang mencelakai dia. Kau juga bebas untuk pergi," ucap Tuan Wang sambil menepuk bahu Clarissa. Clarissa hanya mengangguk saja. Tuan Wang kemudian mengantar Clarissa untuk bertemu Bibi Ann. Hal itu dilakukan agar gadis itu percaya padanya. Clarissa segera memeluk Bibi Ann sambil menangis.
"Nona, jangan menangis lagi. Hamba baik-baik saja," ucap Bibi Ann yang memang tampak telah membaik.
"Semua berkat Tuan Besar yang telah menolong saya."
Clarissa hanya mengangguk sambil kembali memeluk wanita tersebut. Tidak lama setelahnya, ia kemudian pamit agar Bibi Ann bisa beristirahat dan memulihkan luka-lukanya.
"Apa kau percaya padaku sekarang?" tanya Tuan Wang. Clarissa hanya mengangguk dalam diam. Tuan Wang kemudian kembali berkata bahwa Clarissa boleh pergi jika memang ada keperluan di luar. Lelaki berperawakan sedang tersebut berkata bahwa tidak akan terjadi apa pun pada Bibi Ann.
***
"Kau membiarkan dia pergi," tukas Nyonya Wang pada suaminya. Wanita itu tampak kesal dan marah.
"Dia juga putriku. Aku tidak ingin melihat dia terus tersiksa berada di rumahnya sendiri," ucap Tuan Wang.
"Tersiksa? Aku yang lebih tersiksa dari dia. Aku harus hidup dengan terus melihat wajahnya."
"Jika kau tidak menyukai dia, maka aku akan mengirim dia pergi."
"Mengirim pergi?" dengkus Nyonya Wang sambil kemudian tertawa keras. Ia kemudian menoleh dan menatap tajam pada Tuan Wang yang berada di sampingnya.
"Apa kau lupa yang kaujanjikan padaku? Kau akan menyerahkan hidup dia sepenuhnya padaku."
"Tapi tidak seperti ini. Puluhan tahun telah berlalu. Apa kau tidak pernah bisa melupakan rasa bencimu?"
"Tidak, tidak akan pernah. Sekarang kau membela dia, maka aku akan makin membenci dia."
"Jangan lakukan lagi. Hentikan semua ini," pinta Tuan Wang.
"Kau hendak melarangku?" tanya Nyonya Wang sambil menudingkan jemari pada pria tersebut.
"Apa kau lupa bahwa aku yang membuatmu seperti sekarang? Tanpa aku, kau hanya akan menjadi gelandangan. Jika kau melupakan itu, maka aku harus mengingatkanmu bahwa di rumah ini kau bukan siapa-siapa. Panggilan Tuan padamu tidak membuat dirimu menjadi berkuasa. Jika aku mau, aku bisa membuatmu terlunta-lunta di jalan sekarang."
Tuan Wang hanya diam di samping wanita itu.
"Jangan mencoba melawanku lagi atau kau akan menanggung akibatnya. Kau akan kehilangan segalanya," ucap Nyonya Wang kemudian.
***
Leonard membuka mata dan melihat sekeliling. Ia berada di kamar yang tidak seberapa luas. Tatanan dalam kamar tersebut juga tampak sederhana.
'Kenapa aku berada di sini?' tanyanya dalam hati. Ia kemudian teringat bahwa ada yang menyerang dia.
'Apa aku berada di tangan mereka atau ada orang yang menolongku?'
Suara langkah di luar membuat Leonard seketika waspada.
Clarissa membuka pintu dan berjalan masuk ke kamar pria yang ia tolong. Gadis itu memekik terkejut saat tiba-tiba ada yang menyergap dirinya. Orang tersebut mendorong dia ke tembok.
"Siapa kau?" tanya pria itu dengan mata menatap waspada.
"Aku Clarissa. Aku menemukanmu terluka, jadi aku menolongmu."
Pria di depannya tetap melihat dengan raut tidak percaya.
"Aku bersungguh-sungguh. Percayalah padaku," pinta Clarissa. Leonard terdiam sejenak kemudian melepaskan Clarissa.
"Aku minta maaf. Hanya saja aku harus bersikap waspada," ucapnya.
"Tidak apa, aku bisa mengerti. Kau telah terluka parah. Kau tentu harus bersikap waspada."
Leonard mengangguk sambil memejamkan matanya. Rasa sakit yang ia tahan seolah makin mendera.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Clarissa sambil membantu pria itu. Mereka kemudian berjalan menuju kursi bundar yang berada di kamar tersebut.
"Terima kasih telah membantu," ucap Leonard. Clarissa hanya mengangguk. Ia membuka botol obat dan memberikan sebutir pada pria itu. Leonard menerima kemudian segera meminum. Ia tahu tidak seharusnya minum sembarangan. Sebagai pangeran, ia telah terlatih untuk tidak memakan atau meminum pemberian orang lain. Banyak yang ingin membunuh dia dan mereka mungkin saja menaruh racun pada apa yang dia konsumsi. Namun, melihat Clarissa, ia merasa bisa percaya pada gadis itu. Clarissa kemudian pamit keluar untuk menyiapkan makanan untuk pria itu.
Setelah Clarissa keluar, tidak berapa lama ada seorang yang masuk. Orang tersebut menodongkan pedang di depan leher Leonard.
"Kau disuruh untuk membunuhku? Baik, bunuh saja aku," tukas Leonard. Orang tersebut menatap Leonard untuk beberapa saat.
"Siapa kau?" tanyanya. Leonard menatap tidak mengerti.
"Kau tidak mengenal aku, tapi hendak membunuhku?"
***
"Daniel!" tegur Clarissa yang baru saja kembali. Ia segera menarik tangan Daniel. Ternyata Daniel yang menghunus pedang pada Leonard.
"Apa yang kaulakukan? Singkirkan pedangmu sekarang!" perintahnya. by
"Aku masih tidak percaya padanya. Dengan luka seperti itu, ia pasti bukan orang baik," tukas Daniel.
"Cla, kau jangan terlalu percaya padanya."
"Daniel, aku hanya menolong dia. Dia sedang terluka." Clarissa menoleh sekilas pada Leonard sebelum kembali melihat pada Daniel.
"Kalaupun dia orang jahat, aku akan tetap menolong dia karena dia sedang terluka."
Daniel tertegun dan menghela napas. Ia kemudian memasukkan pedang kembali pada sarungnya.
"Kau memutuskan seperti itu? Baiklah, terserah padamu saja," ucap Daniel sambil melangkah keluar dari kamar tersebut.
"Kau tidak menyusul kekasihmu? Dia terlihat sangat marah."
"Daniel bukan kekasihku," ucap Clarissa sambil menggeleng dan meletakkan mangkok berisi bubur di depan Leonard.
"Tapi dia terlihat begitu marah."
"Dia hanya mencemaskan aku. Aku nemang tidak mengenalmu. Sebenarnya siapa dirimu dan kenapa bisa terluka seperti ini?"
"Namaku Leonard. Aku hanya seorang pejabat kecil. Sewaktu melakukan perjalanan ke rumah kerabat, ada perampok yang mencelakaiku."
Clarissa hanya mengangguk saja mendengar penjelasan itu dan tidak bertanya lebih lanjut. Leonard sendiri sengaja menyembunyikan identitasnya dari gadis itu agar Clarissa tidak merasa sungkan padanya. Ia juga merasa lebih aman jika tidak ada yang tahu bahwa ia adalah seorang pangeran.