Yuana tidak menjawab. Dia menatap lurus ke depan. Air matanya mulai membasahi pipinya.
"Ceritakan, Yu, biar dadamu lega. Jangan kamu simpan sendiri," kata Manfred lembut.
Entah bagaimana, akhirnya Yuana mengatakan semua kepedihan hatinya. Semuanya. Soal Yoel, papa dan mama. Kemarahan dan kekecewaan yang dia rasa. Ketakutan dan kebencian yang dia tanam dalam di hatinya. Semuanya.
"Mereka tidak sayang aku. Mereka tak pernah tahu apa yang kurasa dan kupikir. Jika hanya seperti ini, kenapa mereka biarkan aku tetap lahir?" isakan terdengar dari gadis cantik itu.
Manfred menarik Yuana untuk duduk di kursi kayu yang ada di situ.
"Aku benci mereka, benci ..." Yuana melanjutkan. "Kamu tahu, aku tak pernah dengar papa atau mama bilang, Yu, gimana di sekolah? Apa pelajaran yang sulit? Ada teman yang mengganggumu? Tidak ada. Yang ada dan kudengar, cepat makan mama sibuk. Mama ga bisa temani, kerjakan sendiri. Papa harus pergi, sudah ditunggu ..."
Manfred menatap Yuana. Kepedihan yang Manfred lihat dari semua yang Yuana katakan padanya.
"Aku tidak tahan lagi. Semua orang di rumah isinya hanya saling benci, saling menyalahkan. Aku ga tau lagi." Kembali Yuana menangis. Dia luapkan beberapa menit.
"Sudahlah, aku tak perduli. Semua sudah seperti itu dari dulu. Biar saja Yoel memukulku. Aku juga ga mau perduli," ucap Yuana. Dia usap matanya yang basah.
"Aku baru tahu situasi kamu sangat sulit. Selama ini aku tahu keluargamu ga harmonis. Tapi ga kebayang seperti ini," tutur Manfred.
Yuana tidak merespon perkataan itu. Memang Yuana tidak ingin dan tidak perlu mengatakan pada orang lain yang terjadi dalam rumahnya. Apa manfaatnya? Apa akan mengubah sesuatu? Hanya karena terlalu pedih, hari ini semua dia keluarkan di depan Manfred.
"Pulang sekolah kamu ikut aku, ya?" lanjut Manfred.
"Aku?" Yuana bingung dengan kata-kata Manfred.
"Kita ke rumah. Rambutmu harus dirapikan. Orang akan banyak tanya nanti dengan melihat penampilan kamu ini. Kamu berhak marah, tapi jangan kamu lukai diri sendiri," kata Manfred.
Yuana memandang Manfred. "Jangan bilang apa-apa sama Bobby, Fred."
Manfred tersenyum. "Yu, kamu suka Bobby?"
Yuana mengangguk.
"Kamu sayang dia?" Manfred ingin yakin, tapi sedikit takut Yuana tersinggung atau tidak jujur.
"Aku sayang kamu dan Bobby." Yuana tersenyum tipis.
"Kita sahabat. Tentu saja." Manfred pun tersenyum.
Manfred tahu, sayang Yuana padanya dan Bobby jelas berbeda.
*****
"Nah, kita sampai. Ini tempat tinggal kami. Tidak besar rumahnya. Tapi cukup nyaman. Ayo masuk," ajak Manfred. Mereka masuk ke rumah sederhana di ujung jalan itu. Sederhana, tapi tapi dan bersih.
"Duduklah." Manfred tersenyum. "Aku ke dalam sebentar, mau ganti baju."
Yuana tidak duduk, dia berjalan mengelilingi ruang tamu dan melihat beberapa gambar yang terpasang di dinding. Di dinding kanan ada foto keluarga. Di dinding seberang lukisan pemandangan alam yang indah. Terpasang juga jam dinding agak besar dengan kalender di bawahnya, bergambar dua ekor burung merpati terbang, cantik.
"Selamat siang." Seorang wanita keluar dari ruang dalam. Senyumnya mengembang ramah.
Yuana menoleh. "Selamat siang." Yuana tersenyum dan menyalaminya.
"Saya ibunya Manfred. Siapa nama kamu?" wanita itu mengajak Yuana duduk.
"Saya Yuan, Tante." jawab Yuana.
"Ibu Manolita. Panggil ibu saja, ya ... Lebih nyaman buat ibu," ujarnya ramah.
"Iya, Bu." Yuana mengangguk.
"Teman sekelas Manfred?"
Bercerita ini dan itu, Manolita membuat Yuana langsung merasa nyaman di rumah sederhana itu. Manolita tidak menyangka Yuana teman Manfred sejak SMP tapi baru kali itu datang ke rumahnya.
Yuana tersenyum. Bagaimana dia mau main ke rumah teman? Ada singa galak yang siap nerkam di rumah, batin Yuana.
Manfred nongol, sudah berganti dengan pakaian rumah. "Wah, sudah kenalan sama Ibu."
"Ajak makan, Fred. Pasti kalian sudah lapar, haus, dan capek. Ya kan?" Manolita memandang Yuana.
Dia melihat ada sesuatu dengan gadis cantik ini. Matanya menunjukkan kesedihan. Wajahnya jelas ada memar di pipinya. Tapi Manolita tidak bertanya apa-apa.
"Ibu betul sekali. Ayo, Yu, kita makan." Manfred yang dari tadi masih berdiri melangkah ke ruang makan. Manolita dan Yuana mengikutinya.
Makanan yang dihidangkan sederhana, makanan rumahan, tetapi lezat juga. Yuana merasakan suasana rumah yang hangat yang tidak pernah dia alami selama ini.
Sementara makan Manfred menceritakan keluarganya. Marvin, kakak Manfred, Marieta adiknya. Ayahnya bernama Markus.
"Kamu pasti sudah lihat foto keluargaku. Aku beda dengan mereka," kata Manfred. Yuana mengangguk. Semua keluarag Manfred Indonesia banget, tidak ada bule-bulenya.
"Pertama orang lihat aku, pasti bilang aku bule. Atau campuran gitu. Tapi keluargaku yang lain ga ada sama sekali keliatan seperti bule. Sebenarnya aku anak angkat di rumah ini, Yu," lanjut Manfred.
Yuana terkejut dengan pernyataan itu. Manfred meneruskan kisahnya. Sebelumnya ibu dan ayah Manfred tinggal di Yogyakarta. Manolita bekerja di sana di sebuah panti asuhan. Satu hari ada seorang wanita asing meninggalkan anaknya di panti itu. Wanita itu seperti sedang stres. Dia tinggalkan bayinya sambil menangis dan marah.
Manolita tertarik dengan bayi itu karena namanya cocok dengan nama anaknya, Marvin. Bayi itu adalah Manfred. Apalagi bayi itu sangat lucu dengan mata biru dan rambut coklat kemerahan yang tipis dan halus. Jadi Manolita bilang pada Markus ingin mau merawat bayi itu. Markus ternyata tidak keberatan.
Yuana menatap Manfred tak berkedip. Jadi ini kisah Manfred? Selama hampir tiga tahun bersahabat, Yuana baru tahu soal ini.
"Beberapa bulan setelah ibu membawaku, keluarga pindah ke kota ini. Marvin saat itu umur lima tahun, aku hampir tiga tahun, dan Marieta lahir setahun kemudian," lanjut Manfred. "Aku masih sedikit ingat ibuku yang asli. Tapi aku tahu seperti mustahil aku bertemu dengannya lagi."
"Walau begitu keluargamu menyayangi kamu," kata Yuana.
"Ya, kami sangat dekat. Tidak kepikiran lagi kalau aku ini orang asing. Bagi mereka aku anaknya, bagian keluarga ini." Manfred mengangguk.
Selesai makan, Manfred mengajak Yuana ke samping rumah, hendak merapikan rambut gadis itu. Awalnya Yuana bingung, bagaimana, seperti apa. Ternyata Manfred sendiri yang melakukannya. Sebenarnya Yuana tidak yakin, ragu-ragu duduk dan membiarkan Manfred memegang kepala dan rambutnya, bermain gunting dan sisir di sana.
"Aku ini sudah biasa potong-potong, Yu, tenang saja." Manfred meyakinkan temannya itu.
"Ya, biasa potong ikan, ayam, ini potong rambut. Beda ..." ujar Yuana sambil tertawa.
"Percaya, dijamin bagus," sahut Manfred.
Setelah selesai, Yuana tersenyum lebar. Bagus juga model rambutnya. Pendek tepat di bawah leher, tapi tidak terlihat seperti model rambut lelaki. Cantik juga dengan rambut pendek.
"Senang jadi sahabat kamu. Banyak yang ga kusangka dari kamu." Yuana tersenyum.
Manfred hanya tersenyum lebar. Lalu cowok itu kembali bicara tentang Bobby.
"Yu, kamu tahu kan, kalau Bobby suka kamu," kata Manfred. "Kenapa kamu ga mau terima Bobby?"
"Entahlah." Yuana mencoba mencari jawab di hatinya.
"Bobby ga akan main-main sama kamu. Pasti kamu ada alasan ga bisa terima dia." Manfred kembali membujuk Yuana agar terbuka dengan Bobby.
"Aku akan memikirkannya," bibir tipis Yuana kembali tersenyum.
Manfred memandang Yuana. Hatinya campur aduk melihat gadis itu.