Yuana baru turun dari angkot, saat Bobby menyapanya di depan sekolah.
"Yuan? Rambutmu? Kamu apakan?" Bobby menatap Yuana kaget.
"Pingin pendek. Bosan rambut panjang. Ga bagus, ya ..." Yuana melihat wajah Bobby yang terperangah itu.
"Bagus juga. Cantik," puji Bobby. Yuana tersenyum.
Mereka berjalan masuk ke sekolah. Sementara berjalan, Bobby melihat Manfred.
"Fred!" panggil Bobby. Manfred mendekat.
"Lihat teman kita ini. Tiba-tiba potong rambut sampai abis. Kurasa ada yang tidak beres ini," ujar Bobby.
"Memang ... ada yang ..." Manfred tidak melanjutkan kata-katanya. Dia melihat Yuana melotot ke arahnya. Dia melarang Manfred bercerita ke Bobby.
"Kenapa?" Bobby penasaran Manfred tidak melanjutkan kalimatnya.
"Oh, my God ..." Manfred melihat di kejauhan dekat tempat parkir. Bobby dan Yuana menengok ke arah yang sama. "Musuh bebuyutan, Yu."
Seorang gadis tinggi kurus sedikit jangkung turun dari mobil mewah di sana.
"Niar?" Bobby terperangah. "Dia sekolah di sini? Bagaimana bisa?"
Mereka saling pandang tak percaya. Terlebih Yuana. Benar! Niar akan selalu ada di antara dia dan Bobby.
"Sebaiknya aku pergi saja. Aku ga mau dia melihatku." Bobby cepat pergi dari situ menyusuri lorong kelas menuju kelasnya.
"Yuan, terima Bobby. Kalau kalian pacaran, Niar ga akan mengganggu Bobby lagi," ujar Manfred. Lagi-lagi Manfred sok jadi comblang untuk kedua sahabatnya itu.
"Aku ga yakin dia akan berhenti. Kurasa Niar ga perduli sekalipun aku jadian sama Bobby," sanggah Yuana.
"Yu, ini antara kamu dan Bobby. Kalian pantas bahagia bersama. Ga ada urusan sama Niar. Kenapa kau pusingkan dia?" tegas Manfred.
"Baiklah." Yuana tersenyum tipis. Mereka berpisah di depan kelas Yuana. Manfred lanjut menuju kelasnya sendiri.
Selama pelajaran hari itu Yuana tak bergairah. Dia masih sebel kenapa bisa Niar sekolah di sekolah favorit yang tidak sembarang siswa bisa masuk. Mereka harus ikut tes, ada standar yang wajib dipenuhi untuk bisa diterima di sekolah ini. Dan sudah pasti Niar tidak sampai standar itu. Ini juga sudah hampir seminggu sekolah berjalan, baru dia nongol.
"Apalagi? Pasti karena uang. Kenapa uang nampaknya jadi maha kuasa sih, di negeri ini?" gerutu Yuana. "Dan terjadi di sekolah ini? Yang dianggap salah satu sekolah yang paling berkualitas ... Ilfil juga jadinya."
Lalu Yuana beralih memikirkan Bobby. "Jadi cewek Bobby? Benarkah? Ah, bukankah sejak dulu harusnya bisa. Manfred benar. Kenapa aku mesti mikir orang lain? Aku dan Bobby saling suka, kami bisa bahagia bersama. Tunggu, Bob, aku siap sekarang," batin Yuana.
*****
Pulang sekolah siang itu, Bobby mencegat Manfred dan mengajaknya bicara. Mereka duduk di dekat lapangan basket.
"Fred, kamu pasti tahu kenapa Yuana memotong rambutnya langsung abis begitu. Ga mungkin ga ada apa-apa. DIa sangat suka rambut panjangnya. Aku yakin kamu tahu tapi Yuana minta kamu tidak bicara padaku," kata Bobby.
"Baiklah, aku cerita." Manfred pun menceritakan apa yang terjadi dengan Yuana.
Bobby terperangah mendengar semua itu. Ternyata Yuana benar-benar malang.
Ini kesempatan Manfred bicara pada Manfred agar dia kembali mengungkapkan rasa sayangnya pada Yuana dan memintanya menjadi kekasih.
"Kamu yakin Yuana mau terima aku?" Bobby menoleh pada Manfred. Beberapa kali dia mengungkapkan sisi hatinya, Yuana selalu menolak.
"Sekarang kita sudah SMA. Sudah lebih besar." Manfred memainkan alisnya sambil tersenyum lebar. Dia sedikit yakin Yuana mau terbuka.
"Oke, aku akan coba bicara dengannya." Bobby manggut-manggut. Ada debaran halus menyapa hatinya.
"Good." Manfred tersenyum.
"Pantas Niar tenang saja pagi tadi waktu melihatku. Dia jadi teman kelasku. Benar-benar sial," kata Bobby sambil menggeleng.
"Cuekin aja. Gitu aja kok repot," ujar Manfred. Bobby tersenyum nyengir.
Manfred melihat Yuana berjalan menuju gerbang sekolah. Manfred menyikut Bobby. "Tuh, sudah sana, kejar."
Manfred mengangkat ranselnya dan segera pergi dari situ. Bobby pun beraksi.
"Yuan!" panggil Bobby sambil mengejar Yuana. Yuana berhenti menunggu Bobby.
"Belum pulang? Manfred mana?" Yuana tersenyum.
"Manfred duluan," kata Bobby. "Aku minta waktu bicara denganmu."
"Ada apa, sih?" tanya Yuana.
"Duduk situ, yuk." Bobby mengajak Yuana duduk di taman sekolah.
"Yu, aku masih memikirkan hubungan kita. Aku masih saja sayang kamu. Aku ingin jadi pacarmu." Bobby sedikit dag dig dug juga mengucapkan isi hatinya, meski ini sudah yang kesekian kali.
Yuana menatap Bobby. "Aku, kamu yakin aku akan sayang kamu?"
"Aku yang akan sayang kamu. Jika kamu ga sayang, ga apa. Aku akan buat kamu bisa sayang aku," ujar Bobby.
Yuana tersenyum, lalu menunduk. Entahlah, tiba-tiba jantungnya berdetak makin cepat. Senyum tipis muncul di bibirnya.
"So, my girlfriend?" tanya Bobby.
Yuana melihat Bobby, lalu mengangguk.
"Thank you." Bobby tersenyum.
Keduanya diam, tetapi hati mereka meletup. Akhirnya, pacaran!
"Yu, berjanjilah satu hal padaku." Bobby memecah hening di antara mereka.
Yuana memandang Bobby, menunggu apa yang Bobby mau katakan.
"Kita jujur satu sama lain. Supaya kita bisa saling mengerti dan saling mendukung." Dari awal Bobby ingin ini jadi komitmen mereka.
Yuana mengangguk. "Oke."
Bobby tersenyum lagi. Dia berdiri. "Kita pulang, ya?" kata Bobby.
Yuana ikut berdiri. Berdua mereka meninggalkan sekolah.
*****
"Bobby, nanti malam ultah kakakku. Datang, ya? Ada acara seru, bisa, kan?" Niar mendekati Bobby. Mereka di kelas hari itu.
"Nanti malam?" Bobby bertanya tanpa menoleh. Tangannya sibuk menulis jawaban soal kimia.
"Ga bisa. Sudah pasti. Aku uda ada janji sama Yuan," lanjut Bobby.
"Yuan lagi? Ayolah, Bob, kali ini aja," bujuk Niar.
"Ga bisa. Aku mesti tepati janji," tolak Bobby.
"Emang apa bagusnya pergi sama dia. Lebih asyik juga ke pesta. Sama aku, bukan sama Yuan yang kurang gaul itu." Niar cemberut.
"Mau kurang gaul atau ga, ga ada masalah. Sebagai pacar aku terima dia apa adanya. Paham?" Bobby menutup buku.
"Pacar? Kamu jadian sama dia?" Niar melebarkan matanya sedikit kaget.
"Iya. Jadi jangan ganggu aku lagi. Sana, cari yang masih jomlo aja," kata Bobby.
Niar makin manyun. "Pacarmu atau bukan aku ga perduli. Buatku, Yuan ga pernah ada."
Bobby menggeleng kesal. Dia mengeluarkan buku yang lain sok sibuk dengan tugasnya.
Dengan jengkel Niar balik ke bangkunya. Tepat saat itu Pak Santo masuk kelas. Pelajaran segera mulai. Kelas langsung sepi. Guru satu ini memang disegani para siswanya.
Akhirnya belum tanda pulang meraung. Anak-anak begegas keluar kelas. Ada yang kelaparan, ada yang uda janjian nonton, ada yang harus ikut eskul. Bobby dengan santai keluar kelas. Dia termasuk yang terakhir meninggalkan kelasnya.
Panggilan manja datang dari arah belakang Bobby. Dia pura-pura tidak mendengar. Niar lagi!
"Bobby …" Niar menggandeng Bobby di lengannya. Kembali Niar membujuk Bobby agar mau ikut datang ke acara ultah saudaranya itu.
Bobby tetap tegas menolak, meski tidak galak. Dia terus melangkah menuju ke kelas Yuana.
"Kamu egois. Ga gentle. Karena satu cewek kamu nggak mau kasih perhatian sama teman kamu yang lain!" Akhirnya karena kesal Niar membentak Bobby.