Manfred memandang amplop di tangan Niar. Itu uang yang besar! Tidak gampang dapat uang segitu tiba-tiba.
"Kalau berhasil aku tambah. Jadi uang sekolahmu sampai semester depan pun kamu bisa lunasi." Niar makin memanasi Manfred.
Sial! Tawaran menggiurkan.
"Ya Tuhan, cobaan apa ini?" batin Manfred.
"Ayolah. Jangan sampai kamu malu dengan yang lain. Cowok seganteng kamu, bule pula, nunggak SPP." Kalimat itu tidak sneak sekali didengar.
"Terima kasih." kata Manfred. Dia tidak mengambil amplop itu tapi berjalan meninggalkan Niar.
"Manfred! Tunggu!" Niar menarik tangan Manfred.
"Lebih baik aku malu karena ga bisa bayar SPP, daripada aku malu karena menjadi sahabat pengkhianat. Berjuta-juta uangmu ga ada gunanya dibanding persahabatan kami. Sorry. Kalau kamu mau merusak Bobby dan Yuana lakukan saja sendiri," kata Manfred tegas.
Lebih cepat Manfred meninggalkan sekolah. Niar menghentakkan kakinya karena kesal.
*****
Esok harinya Manfred masih lesu. Dia belum dapat jalan keluar. Dan tidak berani bilang ayah dan ibu kalau dia dipanggil urusan SPP di sekolah.
"Hai, Fred!"
Mendengar panggilan itu Manfred menoleh cepat.
"Kau lihat Bobby?" Yuana mendekat.
"Belum lihat. Belum ketemu." Manfred berusaha bersikap wajar.
"Fred, kamu baik-baik? Apa sakit?" Yuana memperhatikan juga kalau temannya itu sedikit galau. "Pasti ada sesuatu. Kamu lesu dan sedih. Ada apa?"
"Itu cuma pikiran kamu, Yu." Manfred mengelak dan berjalan lagi.
"Kamu curang, Fred." ujar Yuana.
Manfred menoleh dan melihat Yuana. "Curang apa?"
"Kamu selalu ada buat aku. Buat Bobby. Kamu yang akurin aku sama Bobby. Kamu selalu jaga kami. Tapi giliran kamu ada masalah, kamu ga mau aku tahu," kata Yuana.
Manfred terdiam. Yuana benar. Tapi apa dia perlu cerita soal masalahnya?
"Fred, kita sahabat, kan? Jangan cuma aku yang merasa punya sahabat. Dan kamu ga. Dalam situasi sulit kamu merasa sendiri," desak Yuana.
Manfred mengalah. Dia memilih duduk di kursi tak jauh darinya, dekat taman sekolah. "Tapi janji, kamu akan tetap tenang, ga marah, apalagi ngamuk."
Yuana ikut duduk. "Kenapa begitu?"
"Janji dulu," tegas Manfred.
"Ok. Janji." Yuana menganggukkan kepalanya.
Dengan berat hati Manfred menceritakan masalah tunggakan SPP itu. Jujur saja, ini sangat tidak menyenangkan. Dia berharap saat dia bicara, adalah keputusan yang benar. Yuana mengerti kesulitan itu. Dalam hati dia akan segera menolong Manfred. Tapi kalimat berikutnya membuat Yuana tercengang.
"Dan ... ada yang datang padaku meminta aku melakukan sesuatu dengan imbalan uang untuk bayar SPP." Ini yang lebih sulit untuk dia utarakan.
"Melakukan apa?" Yuana mengerutkan kening, merasa tidak enak dengan ucapan Manfred.
"Membuat kamu dan Bobby ribut, biar putus." Lebih pelan Manfred mengucapkan kalimatnya.
"Apa?" Yuana melotot marah.
"Kamu janji akan tetap tenang dan tidak marah," kata Manfred.
Yuana mengepalkan tangan geram. "Aku tahu siapa pelakunya. Lalu, kamu bilang apa?"
"Ga bakalan aku mau. Aku ga ada pikiran melakukan hal konyol seperti itu. Kalian sahabatku. Jauh lebih berarti dari semua uang yang dia kasih." Manfred menunduk melihat pada sepatu hitamnya yang sudah mulai usang.
Yuana tersenyum. "Terima kasih ya, Fred."
"Terima kasih buat apa? Kamu dan Bobby happy, aku juga senang." Manfred tersenyum juga.
"Terima kasih mau jujur sama aku. Impas rasanya persahabatan kita." Yuana tersenyum sambil menjabat tangan Manfred.
Manfred tersenyum lebar. Keduanya kembali meneruskan langkah menuju kelasnya masing-masing. Tetapi Yuana lebih dulu ke kantor keuangan. Dia menanyakan mengenai uang sekolah Manfred dan membayar tunggakan SPP cowok itu.
Yuana sengaja tidak bicara karena dia tahu, Manfred pasti akan menolak bantuannya. Jadi sebaiknya dia lakukan diam-diam saja.
*****
Setelah kejadian itu, Niar sudah tak terlalu mengganggu Bobby dan Yuana lagi. Apalagi Bobby juga makin cuek padanya. Bisa jadi dia mulai kapok.
Satu hal yang melegakan Bobby, di kelas 11, hubungannya dengan Yuana makin dekat. Persahabatan mereka dengan Manfred juga tambah erat.
Pulang sekolah siang itu Yuana menemui Manfred. Dia pikir Yuana mau pulang bareng, karena Bobby hari itu tidak ada kegiatan, dia pulang lebih dulu.
"Ada yang penting aku mau bicara." Yuana menjajari langkah Manfred.
"Bukan harusnya bicara sama Bobby?" tukas Manfred.
"Ini bukan soal Bobby dan aku. Tapi kamu." Yuana memandang Manfred.
"Aku? Kenapa?" Mereka jalan bareng. "Aku ga lagi nunggak SPP. Jadi ga usah repot bayarin aku."
Manfred mengingatkan masalah waktu lalu. Akhirnya dia tahu juga kalau Yuana yang bayar tunggakan SPP-nya. Karena dari bagian keuangan sekolah memberitahu sudah lunas. Manfred bisa menebak siapa yang membantunya.
"Kenapa diingat lagi?" kata Yuana. Tidak enak juga mendengar Manfred mengungkit soal itu.
"Aku berhutang padamu, Yu." Manfred mengatakan itu dengan serius.
"Kamu kan yang bilang persahabatan kita lebih penting dari uang." Yuana mengingatkan lagi yang Manfred ucapkan.
"Iya, maaf," kata Manfred.
Yuana memilih duduk di bangku taman yang tidak jauh dari gerbang sekolah. Lebih enak bicara dengan duduk, karena menurutnya yang dia mau omongkan cukup serius.
"Ada yang jatuh cinta sama kamu." Yuana memandang Manfred.
"Hah? Jangan bercanda." Manfred mengerutkan keningnya, sedikit terkejut.
"Aku sungguh-sungguh," ucap Yuana. "Kamu tahu Nindia, kan?"
"Nindia?" Manfred makin lekat menatap Yuana. "Bagaimana kamu yakin?"
"Dia sebangku aku. Jelas aku tahu. Setiap hari kamu terus yang dia ceritakan. Suka kalau kamu nyanyi. Suaramu lembut menyayat hati. Kamu main keyboard dan gitar keren. Gitu, deh," ujar Yuana dengan senyum lebar.
"Ah, biarin aja! Aku kan sayang sama kamu. Kalau ga ada Bobby aku akan minta kamu jadi pacarku," kata Manfred. Tapi hanya di hati.
"Oya?" itu yang keluar dari mulut Manfred.
"Ini benar." Yuana bicara dengan yakin.
"Ya, tapi aku ga bisa, Yu. Aku masih mau fokus sekolah. Cari kerja, bantu ayah ibu, baru mikir cewek." Manfred beralasan.
Yuana mencoba membujuk Manfred dengan mengatakan ini itu tentang Nindia. Gadis itu baik dan pasti oke kalau jadian sama Manfred. Tapi Manfred kekeh, tak bergeming. Jelas, karena Mafred tidak punya rasa pada Nindia. Dan tidak mungkin Manfred akan menjalani hubungan dengan cewek tanpa rasa cinta.
"Kasihan Nindia." Yuana bicara dengan memelas.
"Lebih kasihan kalau dia jalani hubungan tapi pacarnya ga cinta dia." Manfred mempertegas alasannya.
"Aku juga mau kamu bahagia seperti aku sama Bobby, Fred." Yuana pura-pura sedih.
"Iya, bukan sekarang. Perasaan ga bisa dipaksa, Yu." Manfred memainkan alisnya, mencoba membuat Yuana tersenyum.
"Terserahlah. Kamu kan lebih dewasa dari aku." Yuana cemberut.
"Kok marah?" Manfred menyatukan alisnya.
"Sedih. Aku tuh ga bisa marah sama kamu. Kamu terlalu baik." Yuana mengangkat kedua bahunya.
"Hmm, bisa gede kepalaku." Manfred mengacak rambut kepala Yuana pelan.
"Eh, tangan!" sahut Yuana.
Manfred cuma tertawa melihat Yuana kembali cemberut.