Bobby dan Yuana dalam perjalanan menuju rumah Yuana. Malam minggu yang menyenangkan. Mereka menikmati kebersamaan yang selalu asyik. Yoel tidak marah lagi Bobby dengan Yuana. Yoel sudah yakin Bobby anak yang baik. Bukan anak brandalan seperti yang dia bayangkan.
Akhirnya Yuana tahu kenapa Yoel begitu ketat mengawasi dirinya agar tak pergi dengan sembarang cowok. Yoel pernah punya pacar yang pergaulannya tidak baik. Dia semau sendiri. Susah diatur. Akhirnya gadis itu hamil di luar nikah. Dan itu membuat Yoel kecewa sekali.
Hampir jam delapan malam, Bobby dan Yuana sampai rumah.
"Itu papa, Bob. Rupanya mau pergi. Malam begini?" Yuana melihat papanya sedang memeluk seorang wanita muda. Mereka akan masuk ke mobil Prastama yang diparkir di halaman rumah.
"Papa ..." mulut Yuana berucap lirih. Terpana dengan apa yang dia lihat di depan matanya.
Bobby memegang tangan Yuana. Papa dan wanita itu masuk ke mobil tanpa menyadari kehadiran Yuana dan Bobby di sana. Mobil meninggalkan rumah itu. Dengan marah Yuana melepas sepatunya dan melemparnya sembarangan. Tangisnya meledak seketika.
"Papa jahat!! Benar-benar ga beradab. Dia tega melakukan ini. Jahat!!" Yuana lari masuk ke dalam rumah.
Bobby memungut sepatu Yuana dan menyusul gadis itu ke dalam. Dia letakkan sepatu di dekat pintu.
"Tuhan jahat. Kenapa Dia tidak jawab doaku? Aku minta keluarga ini jadi makin baik, tapi kenyataannya apa? Kamu lihat papaku? Kenapa Tuhan beri aku orang tua yang tidak punya hati? Kenapa harus seperti ini? Kenapa? Kenapa?" Yuana meluapkan semua marah, kecewa, dan sakit hatinya.
Yuana berdiri memandang Bobby dengan air mata berderai dan wajah merah karean sangat marah. Bobby tidak bisa mengatakan apa-apa, karena dia juga terkejut sama seperti Yuana.
"Tidak ada gunanya aku berusaha jadi anak baik. Tak ada gunanya aku berusaha yang terbaik. Doaku, semua ga ada artinya, Bob. Kenapa?" Suara Yuana merendah. Tapi tangisannya tidak berhenti. Dia memukuli dada Bobby bertubi-tubi. Sementara tangisnya tidak juga berhenti.
Bobby membiarkan Yuana melampiaskan semua emosinya. Sampai kekasihnya itu puas menangis. Akhirnya Yuana tergugu dengan tubuhnya mulai lemas. Dia terisak di dada Bobby. Bobby memeluknya dengan hati perih. Selama ini dia berusaha membuat Yuana tegar. Hari ini semua tampak sia-sia.
Bobby menuntun Yuana duduk di sofa ruang tamu yang besar itu. Dia usap mata Yuana yang basah.
"Aku kecewa, Bob ... sakit sekali ..." Yuana masih menangis.
"Aku tahu. Aku juga sakit melihat semua ini," kata Bobby. "Tapi kemarahanmu yang meledak itu tidak mengubah apapun, Yu."
"Aku harus bagaimana?" ujar Yuana berusaha lebih tenang. Masih terisak sesekali.
"Jangan salahkan Tuhan. Apa yang terjadi adalah pilihan papamu. Tuhan tentu tidak mau juga keadaan seperti ini. Tapi, manusia bukan robot yang Tuhan pasang sistem di tubuhnya, lalu Dia remote. Manusia diberi kehendak bebas memilih jalan hidup seperti apa. Tergantung orang itu dia pilih yang baik atau yang buruk," kata Bobby.
"Aku lelah, Bob ... Sampai kapan akan terus begini?" Suara Yuana makin lirih.
"Entahlah, tapi minta kekuatan Tuhan menghadapi semuanya. Jika memang Dia ijinkan ini yang terjadi." Bobby menepuk pundak Yuana lembut.
Keduanya diam. Yuana menata hatinya lagi. Menerima kenyataan yang makin pahit di rumahnya. Bukan hanya papa mama yang tidak pernah akur. Di depan mata dia melihat papanya membawa wanita lain, pulang.
Dari ruang sebelah, Ira menitikkan air mata melihat Yuana. Dia mendengar semua perkataan Bobby dan Yuana. Rasanya dia tak tahan lebih lama di rumah ini. Hanya karena Yuana dia bertahan. Karena dia tahu, Yuana butuh orang yang bisa mendengarkan keluh kesahnya. Dia lega, ada Bobby di sisinya.
*****
Hari-hari berjalan cepat. Yuana mencoba tidak ambil pusing dengan situasi rumahnya. Bagaimanapun dia tak bisa berbuat apa-apa untuk memperbaikinya. Sebagai anak dia tak pernah dianggap. Lebih baik dia fokus sekolah saja. Selama ini urusannya sama papa dan mama hanya soal uang. Dia butuh mereka kasih. Sudah. Mereka sudah dewasa, malah mendekati tua. Sudah lebih tahu apa yang harusnya dilakukan.
Musim ujian makin dekat. Yuana konsentrasi belajar. Tentu saja belajar bersama kedua pria luar biasa yang sayang padanya itu.
"Ini rumusnya gimana, sih? Aku belum paham." Bobby melihat ke buku catatan Manfred.
"Sini!" Manfred menjelaskan pada Bobby. Yuana ikut memperhatikan. Ketiganya serius belajar, tidak mau nilai jeblok. Sudah sekolah setiap hari, bayar, lelah badan, pikiran, juga perasaan, kalau hasilnya asal, rugi sekali.
Tiba-tiba Marieta muncul. Siang itu mereka memang belajar di rumah Manfred.
"Hai, Kakak-kakak ..." sapanya ramah.
"Baru pulang?" tanya Bobby.
"Ada les hari ini," jawab Marieta.
"Ooo ..." ujar Bobby membulatkan bibirnya yang bagus.
"Rieta!" Manolita keluar kamar.
"Ibu ..." Marieta mencium pipi ibunya.
Yuana memandang keduanya hingga masuk dalam ruang tengah. Ada rasa iri di hatinya. Dia tidak pernah disapa seperti itu oleh mamanya. Apalagi dipeluk dan cium sayang. Ah, kapan dia merasakan kasih sayang ibu seperti itu? Kapan?
"Hei, melamun! Ayo, lanjut kerja PR." Manfred mengayun tangannya di depan muka Yuana.
"Hee ... sorry ..." ujar Yuana.
"Kamu kenapa?" tanya Bobby pada Yuana.
"Aku iri sama Marieta. Dia dekat sekali sama ibu. Ga apa-apa, kok." Yuana tersenyum.
"Aku bisa jadi ibumu," sahut Manfred.
"Ah, mana bisa?!" Yuana tertawa.
"Nggak percaya?" Manfred berdiri. "Yuan, Sayang, PR mana yang sukar. Biar mama bantu sini."
"Ih ... Manfred ah, geli tau!" Yuana terpingkal melihat Manfred meniru gaya wanita. Bobby ikut ngakak. Akhirnya jadi lupa belajar.
Beberapa menit kemudian mereka fokus lagi ke buku masing-masing.
"Ayo, Anak-anak, hampir jam empat, kalian perlu tambahan gizi, biar otak lancar buat mikir." Manolita datang membawa mangkuk isi bubur kacang ijo masih hangat.
"Ini yang bikin tambah semangat!" ujar Bobby.
"Terima kasih ya, Bu," ucap Yuana sambil tersenyum.
"Iya, Sayang. Makan yang banyak. Kalau kurang nanti ibu tambah. Ya?" Manolita mengusap kepala Yuana. Senyum cantiknya muncul di ujung bibirnya.
Deg. Yuana merasa ada yang mengalir hangat di hatinya. Seperti inikah rasanya jika seorang ibu dengan kasih memperlakukannya? Hatinya sungguh penuh haru.
"Iya, Bu," kata Yuana. Dia merasa menemukan mama yang dia rindukan dalam diri Manolita.
Manolita meninggalkan ketiga anak muda itu, meneruskan pekerjaannya. Sebenarnya Manolita mendengar apa yang Yuana katakan. Ingin disayang seperti Marieta. Dia tahu bagaimana Yuana karena Manfred yang bercerita. Dia juga tahu, anaknya itu jatuh hati pada gadis malang ini.
Semisal Manfred benar-benar bisa jadi sama Yuana, dia akan senang sekali. Karena dia ingin memberi kasih sayang yang tidak Yuana dapat di dalam rumahnya. Sayangnya Manfred lebih dulu tahu kalau Bobby juga jatuh cinta pada Yuana. Dia memilih mundur.
"Jadi orang tuamu masih hidup, Fred?" tanya Yuana.
"Kukira begitu," ujar Manfred sambil manggut-manggut.
"Dia kan dari Aussie. Kenapa dia tinggal kamu di sini? Indonesia. Negri asing buatnya," sahut Bobby.