"Ya Tuhan ... Mama kenapa seperti ini? Dia bahkan menganggap papa sudah mati ... Aku benci, aku benci padanya," kata Yuana dalam hujan. Sementara kakinya terus saja berlari.
Tubuhnya mulai kedinginan. Giginya gemeletuk. Yuana tidak berhenti. Sekalipun langkah larinya makin lambat dia terus berlari. Lebih setengah jam kemudian dia sampai.
Tok tok tok!!! Dengan sekuatnya Yuana mengetuk pintu.
Pintu dibuka dari dalam.
"Yuan??" Bobby sangat terkejut melihat Yuana di depan pintu rumahnya. Dia basah kuyup, menggigil, dan menangis.
"Yuan? Apa yang terjadi? Ayo masuk!" Bobby menuntun Yuana yang gemetar.
"Tolong aku, Bob ..." gumam Yuana dengan lirih dan suara gemetar.
Bobby mengajak Yuana ke ruang dalam. Bobby meminta bantuan Bi Rumi membantu Yuana ganti baju. Terpaksa dia pinjamkan baju dan celananya. Dia juga memberikan jaket tebal pada Yuana. Dia ga punya saudara, jadi mau bagaimana.
Setelah itu Bi Rumi membuatkan minuman jahe hangat untuk Yuana. Papa mama Bobby sedang pergi ke Surabaya.
"Kamu sudah baikan?" tanya Bobby. Dia masih penasaran apa yang terjadi sampai Yuana sekacau ini.
Yuana mengangguk.
"Sudah bisa cerita?" Bobby memandang Yuana.
"Mama, Bob ..." kata Yuana. "Mama punya pacar ... Dia mau menikah dengan om itu ..." Yuana mulai menangis lagi. Dia katakan pada Bobby apa yang dia dengar dari pria itu. Yuana sangat marah. Kembali luka yang ada semakin bertambah di dalam hatinya.
Bobby tidak tahu harus bicara apa sekarang. Sama sekali tidak terpikir akan jadi seperti ini.
"Tolong aku Tuhan, bagaimana aku bisa bantu Yuan sekarang?" doa Bobby di hati.
"Bob, aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Aku ingin pergi saja. Aku ga mau bertemu mereka lagi. Keluarga seperti apa ini. Rumah seperti apa. Aku ga sanggup, Bob." Yuana memandang Bobby.
"Kamu pasti bisa, Yu. Di situ rumahmu. Ada aku di sini," kata Bobby. "Just stay with me."
Yuana mengangguk. "Seandainya tidak ada kamu dan Manfred, aku mungkin sudah gila karena semua ini."
"Percayalah, satu saat semua akan berubah. Cepat atau lambat." Bobby menepuk bahu Yuana.
"Kadang aku berharap, jika mama dan papa tidak dinikahkan oleh kakek. Keadaan tentu berbeda. Mereka dinikahkan karena urusan bisnis orang tua." Yuana mengatakan sesuatu yang mengejutkan Bobby.
"Jadi mereka menikah bukan karena cinta?" ujar Bobby.
Yuana menggeleng. "Bukan. Mereka terpaksa melakukannya. Punya keturunan juga karena ada perjanjian orang tua mereka."
Bobby mulai paham mengapa keluarga Yuana tidak harmonis. Alasan papa dan mamanya menikah menjadi penyebab awal semua kemelut yang terjadi.
"Aku ga ingin pulang rasanya," ujar Yuana masih sedih.
"Tapi ga mungkin kamu tinggal di sini, Yu," bujuk Bobby. Yuana diam saja.
Bobby mengambil makan untuk Yuana. Dia memaksa Yuana makan. Dia tidak mau sampai gadis itu sakit. Dengan berat hati Yuana menyantap juga makanan yang Bobby bawa buatnya. Baru kemudian Bobby mengantar Yuana pulang.
*****
Yuana menatap foto Bobby di HP-nya. Tampan dengan senyum ceria. Memang Bobby selalu penuh semangat.
Ujian sudah selesai. Setelah ini masa SMA akan berlalu. Waktu cepat sekali berlalu. Yuana tinggal memastikan langkahnya untuk mencapai masa depan. Dia tidak muluk-muluk sih maunya. Kuliah di bidang keuangan, lalu nanti bisa bekerja di perusahaan yang lumayan besar, jadi dapat penghasilan lumayan juga. Lalu dia bisa pergi dari rumahnya.
"Tuhan, terima kasih sudah bawa Bobby dalam hidupku. Aku mohon biar kami selalu sama-sama. Aku tidak ingin berpisah dengannya. Dia yang selalu menguatkan aku melewati banyak hal buruk yang aku lalui," batin Yuana.
"Kebiasaan, melamun ..." Manfred menepuk bahu Yuana.
"Hei ... Fred." Yuana menoleh. "Mana Bobby?"
"Harusnya aku yang tanya. Mana Bobby?" Manfred duduk di sisi Yuana. Di dekat gerbang sekolah.
"Iya, tapi kan kalian juga biasanya bareng kalau keluar kelas," ujar Yuana.
"Tuh." Manfred menunjuk ke depan mereka. Tampak Bobby jalan cepat-cepat ke arah Yuana dan Manfred.
"Sorry ... aku masih ngobrol sama Dani dan Ido. Bicarain soal rekreasi perpisahan." kata Bobby.
"Ya, ga apa. Orang penting mesti ditunggu," gurau Manfred. Bobby tergelak.
Ujian tuntas, Bobby mengajak Yuana dan Manfred nonton sambil makan bareng di food court. Manfred dan Yuana dengan senang hati sepakat. Mereka pun menuju mall yang di lantai paling atas ada gedung bioskopnya. Mereka melepas penat setelah lelah berkutat dengan soal dan jawaban yang seperti ga ada habisnya.
Sampai jam tiga sore selesai sudah. Lalu mereka pulang ke rumah masing-masing. Jam empat lewat, Bobby masuk rumah. Dia melintasi ruang tengah, menuju ke kamar.
"Bob!" panggil ayahnya yang duduk di sana. Rupanya memang menunggu Bobby pulang.
"Ya, Yah." Bobby mendekati ayahnya.
"Ada hal yang penting Ayah harus bicara dengan kamu. Duduklah," kata ayahnya, Berto Alehandro.
Bobby duduk di depan ayahnya. Ibu, Dewita Hastari, datang membawa segelas minuman hangat buat ayah. Lalu dia duduk di sebelah ayah.
"Ini sesuatu yang lama terjadi tapi Ayah belum memberitahu kamu," kata Berto. "Sebenarnya sejak kamu bayi, Ayah dan Ibu sudah menjodohkan kamu dengan anak teman Ayah, namanya Lisa. Orang tua Lisa sangat berjasa untuk Ayah dan Ibu sehingga ayah bisa jadi seperti sekarang. Karena itu ketika orang tua Lisa meminta hubungan kami dikuatkan menjadi keluarga dengan pernikahan anak kami, Ayah dan Ibu setuju."
Bobby sangat terkejut mendengar berita ini. Seperti disambar petir di siang bolong.
"Yah, aku pacaran dengan Yuana. Dan Ayah tahu itu. Aku sayang dia, Yah. Ibu ..." Bobby juga melihat ke ibunya.
Ibunya hanya menatap datar. Ada siratan bahwa dia meminta Bobby menerima keputusan ini.
"Dengar penjelasan ayahmu, Bob," ujar Dewita.
"Lisa lebih membutuhkan kamu. Saat ini ibunya sakit keras. Kemungkinan bertahan tidak lama. Dia memastikan pada Ayah dan Ibu bahwa perjanjian kami akan terlaksana. Sebelum dia meninggal, dia ingin putrinya sudah menikah," kata Berto. Kali ini terdengar suaranya agak parau, menahan sedih.
"Menikah? Maksud Ayah segera?" Bobby makin kaget.
"Ya. Hanya ini yang Ayah minta dari kamu." Berto menatap Bobby tajam. Meyakinkan Bobby, dia sangat serius.
"Hanya ini? Ayah, aku tidak kenal Lisa. Bagaimana bisa Ayah meminta aku menikah dengan orang yang aku ga tau sama sekali. Aku tidak bisa melakukan ini, Ayah." Dada Bobby berdegup kencang, seolah ada yang ingin meledak di sana.
"Dengar, Bobby Alehandro. Sejak kamu kecil Ayah tidak pernah menuntut kamu melakukan apapun. Bahkan keinginan kamu menjadi dokter seperti Ayah, jugaAayah tidak pernah membujuk atau mendesakmu. Ayah memberi kamu kebebasan memilih yang kamu mau. Satu ini yang Ayah minta. Demi nyawa seorang ibu, demi kehidupan seorang anak. Ayah sudah memastikan kepada mereka kamu bersedia menerima Lisa," tegas Berto.
Bobby langsung merasakan lemas sekujur tubuhnya. "Ayah ..." katanya lirih. "Satu permintaan Ayah, tapi ini untuk seumur hidupku. Ini merubah masa depan yang sudah aku rencanakan. Ayah, aku tidak bisa ..."
"Ayah sudah berjanji. Ayah tahu kamu bisa melakukan ini." Tatapan Berto tajam. Bobby tahu, tidak ada perkataan apapun yang bisa membantah ayahnya.