"Ngajak ke mana?" tanya Yuana. Lirikan matanya tajam, rasa mematikan Niar.
"Ga usah. Lain kali aja." Dengan cemberut Niar meninggalkan Bobby dan Yuana.
Bobby mengacak rambut Yuana gemas. "Hmm, masih galak, nih ..."
Yuana ngakak. Dia rapikan rambutnya dengan kedua tangannya.
"Satu sisi aku kasihan sama Niar," ujar Bobby. Yuana memandang Bobby. "Dia selalu cari perhatian pada sekelilingnya. Kurasa dia punya segalanya, tapi tidak dapat perhatian dan kasih yang dia harapkan di rumah."
Ternyata Bobby bisa melihat sisi lain dari Niar. Yuana tidak mengira soal ini. Jika benar, rasanya Niar dan Yuana punya kisah hidup yang sama.
"Kita pulang?" Bobby mengangkat ranselnya dan berdiri. Yuana ikut berdiri dan menaruh tasnya di bahu.
Keduanya berjalan meninggalkan sekolah.
*****
Sore itu Yuana sudah rapi. Dia menunggu Bobby yang akan menjemputnya. Dan Yoel sedang di rumah. Yuana coba chat Bobby tapinya tidak dibalas. Mungkin dia dalam perjalanan. Heran juga kenapa Yoel di rumah sore begini. Biasanya dia ngelayap tidak tahu ke mana.
"Duh, kenapa dia ada di rumah, sih? Pasti marah kalau tau Bobby jemput aku," batin Yuana. Dia jadi gelisah.
Sudah tiga bulan Yuana sering pergi dengan Bobby kalau Sabtu sore. Paling sering ke gereja. Yoel selalu tidak di rumah. Mama papa juga tidak perduli dia pergi atau tidak. Mereka memang jarang pulang.
Bobby sudah sampai rumah Yuana. Dia parkir motornya dan menuju pintu ruang depan yang terbuka.
"Permisi ..." Bobby berdiri di depan pintu. Dia melihat ada cowok di dalam rumah.
"Ya?" Yoel dengan heran memandang cowok di depan rumahnya.
"Saya mau bertemu, Yuan. Apa dia ada?" kata Bobby tenang.
"Kamu siapa?" Yoel berdiri dan melangkah ke arah Bobby.
"Saya Bobby, Kak. Saya teman Yuan." Ramah dan sopan Bobby menjawab.
Tatapan Yoel makin tajam. Dia ingat ini salah satu cowok yang pernah jalan sama Yuana.
"Ada perlu apa cari dia?" Sinis terdengar pertanyaan Yoel.
"Kami ada janjian mau pergi bareng sore ini." Bobby tetap tenang menjawab.
"Kamu pacaran sama Yuan?" Yoel makin tajam menatap dan berkata.
"Iya, Kak." Bobby mengangguk.
"Siapa yang kasih ijin kamu boleh pacaran sama dia?" Yoel berkata dengan geram. "Aku ini kakaknya. Aku harus tahu cowok macam apa yang dia pilih."
"Saya sayang Yuana, Kak. Tidak mungkin saya berbuat yang tidak-tidak," kata Bobby.
"Itu pintarnya kamu ngomong saja," sanggah Yoel. Berani juga ternyata cowok di depannya itu. "Cepat keluar dari rumah ini." Yoel menunjuk ke pintu.
"Saya sudah janji. Jadi saya harus bertemu Yuan." Bobby tegas tapi tenang.
"Kamu kurang ajar sekali." Yoel mengangkat tangan dan hampir menempeleng Bobby.
"Yo! Jangan!" Yuana lari dan menarik tangan Bobby agar menjauh dari Yoel.
Yoel kaget dengan sikap Yuana.
"Kamu ga ada hak menyakiti dia. Aku memang sayang dia. Dan aku mau pergi sama Bobby." Yuana memandang kakaknya.
"Sayang?" Yoel mencibir. "Kamu sayang orang lain tapi kamu tidak sayang kakakmu?"
"Kalau pun aku sayang kamu, apa kamu mau tahu?" ujar Yuana. "Sudahlah. Aku juga tidak merasa kamu sayang padaku."
Yuana menoleh pada Bobby. "Kita pergi, Bob." Yuana beranjak keluar rumah. Bobby mengikutinya.
"Hei, kalian mau ke mana!?" sentak Yoel.
"Tenanglah. Kami mau ke gereja," jawab Yuana.
Yoel terdiam. Tak tahu harus bicara apa. Dia marah besar pada Bobby karena kuatir adiknya akan berbuat aneh-aneh. Ternyata mereka justru sedang belajar jadi orang baik.
Bobby dan Yuana boncengan meninggalkan rumah besar dan megah itu.
"Kamu ga takut sama Yoel?" tanya Bobby
"Awalnya agak takut juga, sih. Tapi aku harus bisa menghadapinya," kata Yuana.
"Menurutku dia sangat mencemaskanmu. Dia tidak mau kamu salah pergaulan." Kesimpulan Bobby setelah melihat sikap Yoel padanya.
Yuana diam saja mendengar itu. Tidak yakin yang Bobby katakan benar.
"Lain kali aku mau ketemu papa mama kamu." Bobby melanjutkan.
"Untuk apa? Mereka hampir ga pernah di rumah. Ga akan penting buat mereka tahu aku berteman dengan siapa," kata Yuana.
"Bagaimanapun mereka tetap orang tuamu. Aku harus menghargainya. Kalau kita nikah nanti, aku ini mantunya." Bobby senyum-senyum.
"Idih, masih jauh, Bob. Kita masih SMA." Yuana menggeleng keras.
"Kenapa? Ga salah kan, mikir masa depan." Bobby semakin serius bicara.
Yuana tertawa. Seserius itukah Bobby padanya?
"Kamu punya keluarga baik, Bob. Papamu dokter sukses. Kamu anak tunggal. Kasih sayang mereka tercurah buat kamu." Ada rasa pilu mendengar jika bicara tentang keluarga.
"Apa kamu mengeluh? Yuan, setiap keluarga itu punya masalahnya masing-masing. Tuhan ijinkan begitu supaya kita ga mengandalkan diri sendiri. Ada Tuhan yang akan menolong kita." Bobby selalu punya jawaban dan itu benar.
Yuana mendengarkan semua yang Bobby katakan.
Bobby menuturkan jika dia dan ayahnya tidak begitu dekat. Sifat ayahnya agak keras. Sekalipun Bobby bangga dengan ayahnya yang bekerja keras dan penuh dedikasi pada profesi dan keluarga, Bobby tidak bisa cocok dengannya untuk beberapa hal. Ibunya selalu saja mengalah apa yang ayah katakan.
Yuana terdiam. Ya, ternyata Bobby juga punya beban sendiri. Tapi dia bisa menyikapi semua dengan gembira.
Makin bangga Yuana pada Bobby. Dan dia bisa belajar banyak dari Bobby bagaimana menghadapi hidup ini. Yuana bersyukur, Bobby ada dengannya. Mudah-mudahan sampai kapanpun dia akan selalu bersama Bobby. Kenapa tidak jika nanti dia menikah dengan pemuda hebat ini?
Yuana tersenyum, penuh syukur.
*****
Siang itu hari mendung, semendung hati Manfred. Dia gelisah sekali. Tadi dia dipanggil bagian keuangan sekolah, karena SPP telat tiga bulan. Dan jika dalam satu minggu ga diselesaikan dia ga bisa ikut ujian akhir semester. Dia tak tahu harus bagaimana. Ayah dan ibu sedang kesulitan. Karena Marieta beberapa hari ini dirawat gara-gara DBD.
"Manfred!"
Manfred menoleh. Niar mendekatinya.
"Kenapa lesu begitu?" Dia berjalan di sebelah Manfred.
"Lagi malas aja," ujar Manfred.
"Aku tahu. Soal SPP kan?" Niar menebak. Bukan. Dia tahu yang terjadi, dia pasti punya maksud mendekati Manfred.
Manfred diam saja. Dia belum paham maksud Niar mau apa datang padanya.
"Itu gampang saja. Aku mau membantumu. Tapi aku juga perlu bantuan kamu. Jadi kita saling menolong," kata Niar. Benar, Niar sedang merencanakan hal yang licik.
"Aku ada uang buat kamu bayar SPP. Aku bisa kasih lebih. Ini, ada ada sejumlah uang di amplop ini." Niar menyodorkan amplop di depan Manfred.
Manfred memandang amplop di tangan Niar. Niat sekali gadis ini. Sebenarnya dia merencanakan apa?
"Apa maumu?" Suara Manfred jadi sinis.
"Buat Yuana marah sama Boby atau sebaliknya. Aku mau mereka bubar." Senyum licik menghiasi bibir gadis tengil itu.