Chereads / My Internal Mistakes / Chapter 14 - Hantaman

Chapter 14 - Hantaman

"Beneran Kak Sean, dong!" seru salah satu gadis dari keempat siswi yang sepertinya hendak berangkat sekolah. Mereka berempat memakai seragam yang sama, dan sepertinya satu sekolah dengan Sean. Karena itu mereka mengenal Sean dan langsung histeris saat melihat keberadaan lelaki itu.

Sean hanya tersenyum tipis saat mendapatkan serbuan dari mereka. Apalagi saat keempat siswi itu mulai merogoh ponsel mereka untuk bisa berfoto dengan Sean.

Jujur saja, bisa dibilang Sean ini cukup terkenal di kalangan para murid di sekolahnya, bahkan sampai ke sekolah lain. Ia memiliki banyak fans diam-diam, dan jangan lupakan juga prestasi serta keahlian Sean, juga wajah tampan lelaki itu membuat Sean dengan mudahnya mendapatkan popularitas. Ia sudah layaknya artis. Namun, hal itu bukanlah kesenangan bagi Sean. Lelaki itu terkadang merasa risih dengan fanatiknya para siswi yang selalu membuat Sean kewalahan menanggapi mereka.

Sama seperti sekarang. Baru saja ia selesai memakan bubur dan mengobrol sedikit dengan Asya, ia malah dicegat oleh para siswi ini.

"Kak Sean! Kak Sean sedang lari pagi, ya? Nanti sekolah, 'kan? Aku bawain roti keju, lho, buat Kak Sean!" seru salah seorang siswi berambut pendek. Diiringi siswi lain yang kecentilan pada Sean.

Sean tersenyum. "Terima kasih. Ya, nanti kau bisa memberikannya di sekolah," sanggupnya. Rasanya sangat tak enak jika Sean menolak.

"Benarkah, Kak? Kalau begitu—"

"Minggir," potong Asya dengan cepat, suara gadis itu dingin, namun terkesan tegas dan menusuk.

Mendengarnya, Sean dan keempat siswi tadi langsung mengalihkan tatapannya pada Asya, Sean melihat Asya menatapnya dengan tatapan dingin penuh arti.

"Apa kau bilang?" Salah satu siswi terlihat tak terima dengan perkataan Asya.

"Aku bilang minggir!" titah Asya mengulang, menatap keempat siswi itu satu persatu.

Keempat siswi itu bungkam saat melihat tatapan Asya yang tajam, dingin dan penuh keseriusan. Begitu pun dengan Sean, lelaki itu cukup terkejut melihatnya.

Tanpa menunggu sepatah kata pun dari keempat siswi itu, Asya kemudian membungkuk, lalu memungut buku-bukunya. Selanjutnya, ia berbalik badan dan beranjak pergi dari sana tanpa berniat mengatakan apapun.

"Dih, siapa sih gadis itu?!" tanya siswi berambut panjang pirang.

"Entahlah. Sombong sekali dia. Kak Sean kenal dia?" tanya siswi berambut pendek sembari melirik ke arah Sean.

Sean hanya tersenyum kecil. "Ya." Hanya jawaban singkat itu yang bisa Sean katakan. Ia juga tak ingin terbuka terlalu jauh terkait hubungannya dengan Asya. Atau tidak, gadis itu akan jadi korban keganasan fans Sean.

***

Asya merapikan alat tulis miliknya. Kemudian, dia mengambil beberapa buku yang ia bawa tadi, ia sempat menyimpannya di kolong bangku. Asya menghela nafas kecil saat menyadari beberapa lembar buku itu terlihat kotor dan kusam. Ada juga yang sedikit robek. Ini pasti karena terinjak-injak oleh siswi-siswi tadi. Mereka satu sekolah dengan Sean.

Benar-benar menyebalkan. Se-istimewa apa sih seorang Sean hingga gadis-gadis itu sangat terpesona dengannya? Seolah Asya ini adalah angin lewat yang tak bisa mereka lihat.

"Asya!" Panggilan seorang gadis membuyarkan lamunan Asya. Asya lantas menoleh, ia melihat seorang siswi dengan rambut agak ikal dan wajah putih bersih tengah berjalan ke arahnya. Tak lupa, senyum mengembang terpancar di wajah gadis itu.

"Kamu sudah di sini dari tadi, ya?" tanyanya.

Asya tersenyum kecil, ia mengangguk. "Ya, aku piket hari ini," jawab Asya singkat. Gadis yang kini ikut duduk di sebelahnya itu adalah Reina Soraya, teman Asya sejak menginjak bangku kelas sepuluh. Reina sangat baik pada Asya hingga mereka menjalin persahabatan sampai di bangku kelas sebelas, mungkin sampai kelas dua belas nanti.

"Aku kemarin malam sempat telpon kamu. Tapi tak ada jawaban. Aku ingin bertanya soal PR, sih. Aku tak sepintar kamu, Sya." Reina berucap sembari membuka tas miliknya dan mengeluarkan beberapa buku serta pensil dari sana.

"PR? Oh ... maaf, Rei. Kemarin malam aku sibuk," jelas Asya tersenyum kuda. Ia teringat bahwa kemarin malam ia sibuk berdansa dengan Sean, hingga tak memiliki waktu untuk memeriksa ponselnya. Asya lalu kembali memeriksa buku buku tebal miliknya, buku PR miliknya diselipkan di antara buku-bukunya itu.

Namun, saat Asya memeriksanya, buku PR miliknya tak juga ia temukan. "Lho, bukunya ke mana, ya?" tanya Asya bermonolog. Gadis itu lalu membuka tasnya lebar-lebar kemudian mengobrak-abrik isinya, berharap buku PR miliknya itu ada.

"Tak ada ...," gumam Asya. Gadis itu mengerutkan kening, sembari menatap buku-buku yang sudah berserakan di atas meja. Seluruh isi tas ia keluarkan, namun buku PR yang Asya maksud tak kunjung ia temukan. Tatapan Asya menerawang, berusaha mengingat di mana terakhir kali ia melihat buku itu.

"Mungkin ketinggalan di rumah, Sya," ujar Reina sembari menepuk baju Asya.

Asya menggigit bibirnya sembari berpikir. Tak mungkin, tadi pagi ia ingat sekali buku PR itu ia bawa dan diselipkan di salah satu buku paket. Jika sekarang buku PR itu tidak ada, bagaimana kalau buku tersebut terjatuh di jalanan?

Ah, benar! Asya ingat saat ia makan bubur bersama Sean, buku-bukunya sempat terjatuh di trotoar. Bagaimana kalau buku itu jatuh di sana? Ah, sial. Asya cukup panik sekarang. Ada PR yang akan dinilai hari ini, kalau sampai Asya tak menemukan bukunya, bisa bisa ia diberi hukuman. Tanpa mengatakan sepatah apapun pada Reina, Asya memilih berlari cepat dan keluar dari kelasnya.

Asya harus mencari buku PR-nya ke trotoar tadi. Asya membelah koridor yang sudah mulai ramai dengan para murid, ia tak peduli saat bertabrakan dengan murid lain. Yang ia pikirkan hanya buku itu. Selanjutnya, Asya sampai di jalan dan berlari kencang, menuju trotoar tadi yang jaraknya sekitar 300 meter dari sekolahnya.

"Huftt ...." Asya menghela nafas panjang, saat dirasa paru-parunya kembang kempis dan pengap akibat berlari terlalu cepat. Namun, kini gadis itu sudah sampai di trotoar tadi.

Gadis itu melirik ke sana kemari, tak menemukan apapun. Ia lalu berjalan menuju kedai tukang bubur ayam, dan sempat menanyakan keberadaan bukunya. Namun, ia tak bisa mendapatkan jawaban yang puas.

"Aish, ke mana buku PR-ku?! Beberapa menit lagi bel berbunyi!" Asya bermonolog kebingungan. Sekaligus ia sedikit kesal.

"Apa mungkin si Sean itu yang mengambilnya? Ah, mungkin saja," gumam gadis itu. "Tapi aku tak tau nomor telponnya!" lanjut Asya makin frustasi. Namun, tiba-tiba pikiran Asya tertuju pada keempat gadis yang mengerubungi Sean tadi pagi. Seragam para gadis itu adalah seragam dari SMA yang letaknya cukup dekat dari sini. Berarti, Sean sekolah di sana juga, 'kan? Kalau begitu mau tak mau Asya harus ke sekolah Sean untuk mengambil buku PR-nya, meskipun tak ada jaminan bukunya benar-benar ada di tangan Sean.

Tanpa pikir panjang, Asya memutuskan untuk menyebrangi zebra cross. Ia tak memiliki waktu banyak sekarang. Pikirannya dilanda kekhawatiran sebab Asya membutuhkan nilai bagus untuk mempertahankan bea siswanya, dan karena itu Asya harus menemukan buku PR-nya.

TIIIIIIINNNNN!!!

Asya berhenti melangkah, saat suara klaksok mobil menembus telinganya. Terasa mendadak, hingga membuat Asya membatu di tempat, Asya melirik ke arah samping kanannya, sebuah mobil mewah berwarna putih kini melaju ke arahnya. Tidak, terlalu dekat. Bahkan, satu meter-pun tidak, Asya tak bisa menghindar. Ia hanya bisa terbelalak dengan degup jantung yang rasanya berhenti berdetak, untuk berteriak-pun Asya tak sempat.

BRAK!!

Mobil menghantam tubuh Asya. Tubuh gadis itu terpental ke atas mobil cukup keras, lalu mendarat di aspal sedetik kemudian. Nafas Asya terengah, tubuhnya terasa mati rasa. Manik gadis itu perlahan mulai tertutup. Hanya satu hal yang dipikirkan gadis itu sekarang.

'Mama ... tolong aku!' batinnya.

***

~Bersambung~