"Tentang Lathia ...?" tanya Sean pelan, sekaligus ragu. Lelaki itu beralih menatap Crish serius.
Crish terdiam saat melihat ketertarikan Sean ketika mendengar bahwa ia ingin mencurahkan hatinya tentang Lathia. "Ya, aku akan mengatakannya saat kamu sudah selesai belajar," ujar Crish.
"Aku sudah selesai," mantap Sean menutup buku dan mematikan laptopnya. Lelaki itu juga langsung meminum susu dari Crish sampai habis tak tersisa. Ia lalu segera merebahkan diri di samping Crish, menatap kakaknya antusias.
"Silakan, aku sudah siap," seru Sean semangat.
Crish menatap Sean aneh. Entah karena Crish sudah lama tak bertemu dengan adiknya itu, atau karena Sean kentara senang saat ia mengatakan perihal Lathia. Entahlah, tujuan Crish ke sini memang bukan sekedar ingin berbagi cerita dengan Sean, lelaki itu juga ingin memancing lelaki itu sekaligus jujur tentang apa yang Crish pikirkan selama ini.
Tak langsung menjawab, Crish lebih memilih membenahi posisi terbaringnya dan mengambil ponsel, Crish mulai memainkan sebuah permainan sederhana dan mulai bercerita. "Langsung saja, aku tak ingin bertele-tele. Sean, Lathia bilang tak ingin tinggal di rumah ini lebih lama lagi," ungkap Crish, maniknya terfokus pada layar ponsel dengan jemari yang juga sibuk menekan layar yang tengah melangsungkan permainan.
Sean sedikit terkejut. "Tak ingin ... tinggal di sini? Kenapa?" tanya Sean ragu.
Crish menghela nafas. "Entahlah. Aku tak tau pasti apa alasan Lathia. Mungkin ada yang membuat gadis itu tak nyaman di rumah ini. Atau bisa jadi, dia memberi kode padaku untuk segera menikahinya," balas Crish.
"Menikah?!" Sean kembali terkejut, kali ini terlalu belebihan sampai membuat Crish terheran-heran. Namun, Crish tau alasan Sean bersikap seperti itu.
"Ya, menikah. Aku tak bisa membiarkan Lathia sendirian di luar sana. Kamu tau 'kan Lathia tak memiliki keluarga? Aku selalu mengkhawatirkan dia setiap saat. Tak ada pilihan lain, sepertinya aku harus segera menikahinya dan berpisah rumah dengan Mama Papa. Aku juga sudah dapat pekerjaan, tadi Papa memberiku pekerjaan di perusahaan kita," ungkap Crish. "Tapi, persiapan pernikahan akan mendadak. Sedangkan Lathia ingin pisah rumah dari sekarang." Crish beralih menatap Sean serius. "Jadi Sean, menurutmu kakakmu ini harus bagaimana?" tanya Crish.
Sean terhenyak. Tidak, lelaki itu seperti termenung, memikirkan perkataan Crish. Dalam benaknya, Sean bertanya-tanya sekaligus merasa panas saat tau Crish ingin menikahi Lathia. Tidak bisa, Sean baru saja ingin memperjuangkan cintanya pada Lathia, jika Crish lebih dulu daripada Sean, Sean akan merasa benar-benar frustasi.
Sean masih sekolah, dan ia tak memiliki harta sebanyak Crish di tabungan miliknya. Jika Sean tak segera mendapatkan Lathia, maka Crish akan berhasil menikahi gadis itu.
"Ah, ya ampun ...." Sean berdesis sembari mengusap rambutnya ke belakang.
"Ada apa?" tanya Crish heran.
"Entahlah." Ucapan Sean berubah dingin. "Aku rasa, Kak Crish hanya perlu membujuk Lathia untuk tetap tinggal di sini, dan meyakinkan dia bahwa Kak Crish akan menepati janjinya untuk keluar dari rumah ini. Setidaknya menunda keinginannya untuk beberapa saat, mungkin tak akan memberatkan Lathia. Jangan asal memutuskan dan menuruti keinginan wanita, nanti kamu bisa dicampakkan, Kak," ujar Sean dengan menggerutu.
Crish tersenyum kecil mendengarnya. "Aku juga ingin mencoba membujuknya." Meski dalam hati, Crish masih memutar otak untuk memancing lelaki itu. "Terimakasih atas sarannya, Sean. Aku rasa kamu sudah berbeda, dan beranjak dewasa. Aku melewatkan pertumbuhanmu. Dulu kamu anak yang sangat manja padaku, tapi sekarang kamu sudah mandiri, itu membuatku kagum." Crish kembali tersenyum.
"Ya, aku memang sudah berbeda," balas Sean. Selanjutnya lelaki itu berdiri dari posisi awal. "Aku ke kamar mandi dulu. Jika Kak Crish ingin tidur di sini, tidurlah. Aku senang. Kamar besar seperti ini sangat menyeramkan jika ditiduri sendirian," lanjut Sean. Ia lalu menghilang di balik pintu kamar mandi.
Crish bangkit. Lelaki itu menatap pintu kamar mandi untuk waktu yang lama, termenung dan menerawang. Selanjutnya, ia mengetikkan sesuatu di ponselnya.
Dzzzzzrt! Dzzzzzrt!
Ponsel yang berada di nakas bergetar. Crish barusan menelpon nomor Sean, lelaki itu lalu mendekat dan meraih ponsel adiknya itu. Crish makin termenung saat menyadari bahwa lockscreen ponsel Sean adalah foto Lathia yang tengah tersenyum manis, senyum yang selalu Crish sukai dari gadis itu. Ia tersenyum miris.
"Sean, apa aku harus mengalah? Ataukah aku harus berjuang?" gumam Crish. "Lalu, siapa gadis yang berdansa denganmu kemarin malam? Gadis bernama Asyara itu ... apakah dirimu dan dia hanyalah pura-pura?"
***
Pagi pagi sekali, alarm berbunyi. Sean terbangun dari tidurnya. Lelaki itu mengerjap beberapa kali sampai kesadarannya kembali. Sean melirik ke arah samping, ia tak menemukan Crish. Bantal di sebelahnya sudah tertata rapi, pasti karena Crish sudah mulai bekerja di perusahaan Alexander, jadinya lelaki itu harus disiplin dan terbiasa disibukkan setiap pagi.
Tok! Tok! Tok!
Pintu kamarnya diketuk seseorang. Sean mengerling. Ia berdecak. "Pagi pagi begini siapa yang ganggu, sih!" keluh Sean kesal. Namun, terpaksa lelaki itu bangun dari posisi awal.
"Masuk saja, aku tak pernah mengunci kamarku!" teriak Sean malas. Selanjutnya lelaki itu mengambil ponselnya dari nakas sembari mendaratkan kepalanya di bantal.
Klek!
Pintu kamarnya telah dibuka. Pasti orang yang mengetuk pintu itu telah masuk ke kamarnya. Jangan bilang kalau orang yang baru saja masuk adalah Crish yang membawa segelas susu? Seperti kemarin malam? Tapi, Sean tak peduli.
Tuk!
Segelas susu telah disimpan di atas nakas, tepat di hadapan pandangan Sean. Sean terdiam dan langsung menatap segelas susu itu. Ia melirik ke arah seseorang yang telah masuk tersebut. Wajah memakai masker dan topi serta baju hoodie berwarna hitam membuat seseorang itu sangat tertutup, bahkan wajahnya saja Sean tak dapat melihatnya.
Hal itu membuat Sean mengerutkan keningnya. Ia lalu bangkit dari posisi berbaring. "Hey, siapa kau?" tanya Sean, menatap seseorang itu aneh sekaligus kesal.
Seseorang itu tak menjawab. Ia hanya berjalan mendekat ke arah Sean sembari memberikan sembuah bingkisan, entah apa isinya. Yang jelas bingkisan itu berbentuk dadu. Sean terlonjak saat menerima bingkisan itu.
"Apa apaan ini?" protes Sean. "Ini apa?" Sean tau ia banyak bicara. Ia terlihat seperti orang bodoh sekarang. Karena terkejut sekaligus tak mengerti, sebab tak ada orang yang berani datang ke kamarnya sembari membawa bingkisan seperti ini.
Seseorang itu nampak tak berniat menjawab pertanyaan Sean. Ia hanya menunduk, dan tanpa berpikir panjang lantas melangkahkan kaki dengan cepat menuju pintu untuk keluar dari sana.
Namun, sebelum seseorang yang terlihat pendek dan mungil itu benar-benar keluar, Sean menarik lengannya dan berhasil menahannya. Hal itu membuat seseorang tersebut berbalik dan menghantam tubuh Sean cukup kuat, hingga tubuh Sean mundur dan jatuh ke atas kasur.
***
—Bersambung—