Sean terbelalak saat tubuhnya tak sengaja jatuh ke atas kasur, ia juga semakin terkejut saat menyadari tubuh seseorang yang masuk ke kamarnya tadi kini berasa di atasnya. Lelaki itu merasakan nafas hangat menerpa lehernya.
Wajah seseorang tadi, tepat berada di samping Sean! Sean melirik sekilas. "Siapa kau?" tanya Sean dingin.
Seseorang itu tak menjawab dan hanya berusaha melepaskan lengannya yang kini dipegang dengan erat oleh Sean.
"Kutanya, siapa kau? Aku belum pernah melihat seseorang seperti ini. Apalagi berpakaian tertutup. Aneh sekali, apa kamu pencuri?" tanya Sean lagi. "Ah, mana mungkin. Kamu mengantarkan sesuatu ke sini." Sean melirik ke arah nakas, di mana ada sebuah bingkisan berbentuk dadu yang dibawa seseorang itu ke kamarnya.
"Apa itu berisi bom waktu?" tebak Sean.
Lelaki itu menghela nafas, ia bisa merasakan deru nafas hangat seseorang itu. Sean lalu mengangkat sebelah tangannya dan melingkarkannya ke punggung seseorang itu. Sean terpejam, berusaha berpikir. Ia lalu melirik kembali pada seseorang yang wajahnya tepat di sampingnya.
"Kamu seorang perempuan, ya ...," ujar Sean berbisik rendah. Ia tersenyum sinis. "Karena ini masih terlalu pagi, dan kamu datang ke sini, mau kah kamu tidur sebentar denganku? Menemaniku," lanjut lelaki itu memancing.
Reaksi seseorang yang Sean yakini sebagai seorang gadis itu kentara jelas terlihat panik. Ia langsung menjauhkan wajahnya dari Sean dan hendak bangkit, namun dengan sigap Sean menarik topi yang dipakainya, hingga rambut terurai langsung menjuntai, membuat Sean terhenyak.
Ternyata benar tebakannya. Seorang gadis, orang berpakaian tertutup yang datang ke kamarnya adalah seorang gadis. Gadis itu nampak memalingkan tatapannya sembari berusaha melepaskan diri dari Sean. Namun, tenaganya tak sebanding dengan Sean.
"Hey, bisa katakan apapun? Tolong jawab pertanyaanku, untuk apa kamu ke sini?" tanya Sean mengulang, dengan nada yang sedikit ditekankan, seolah ancaman dari lelaki itu.
"Aku tak segan-segan melaporkanmu ke orang tuaku, bahwa kamu menyusup ke sini. Dan aku juga tak segan segan untuk melakukan hal hal buruk padamu," ancam Sean lagi. Jujur saja, melihat gadis yang kini sedang menunduk itu, Sean semakin tertarik untuk memancingnya.
Rambut yang cukup panjang. Ya, walaupun Sean tak bisa melihat dengan jelas walaupun kondisi kamarnya agak sedikit gelap. "Aku bisa mengenalimu," ujar Sean lagi. "Kamu ... Lathia, 'kan?" tanya Sean.
Gadis itu langsung terdiam dan berhenti bereaksi. Hal itu membuat Sean tersenyum kecil. "Aku mengenali bentuk tubuhmu, kecil dan mungil. Rambutmu, dan juga bau parfum milikmu. Meskipun sudah lama aku tak berjumpa denganmu." Sean menghela nafas. "Lathia ... Aku yakin ini dirimu, karena perkataanmu kemarin malam pasti membuatmu berpikir bahwa kamu telah menyakitiku. Ya, aku sangat terakiti." Sean lalu menarik tubuh gadis tersebut ke dalam pelukannya, memeluknya erat. Erat sekali. "Aku sangat merindukanmu ...."
Gadis itu hanya terdiam, tak mengatakan apapun. Pelukan dari Sean membuatnya merasakan perasaan Sean yang mengalir padanya. Sean diam-diam menyesap aroma rambut gadis itu, dan mencium pucuk kepalanya. "Aku ingin memelukmu, seperti ini. Sudah lama aku ingin memelukmu. Tapi aku bingung, aku frustasi. Kak Crish, akan menikahimu ...," lirih Sean, memejam mata. Terisak kecil.
Puk! Puk! Puk!
Terasa, gadis itu menepuk pelan punggung Sean, berusaha menenangkan lelaki itu. Beberapa menit kemudian, saat dirasa emosi Sean benar-benar terluapkan, Sean melepaskan pelukannya. Lelaki itu kembari terbaring sembari menghadap ke samping.
"Pergilah. Akan bahaya jika Crish tau kamu di sini," titah Sean.
Tak ada jawaban. Hanya ada suara langkah kaki gadis itu yang terdengar menjauh, dan akhirnya menghilang di balik pintu.
Sean mengangkat tangannya, menatap telapak tangan yang ia gunakan untuk memeluk gadis tadi, Lathia. Sean tau, Lathia tak akan banyak berbicara. Namun menemuinya seperti ini, membuat Sean benar-benar senang, sekaligus merasa pedih. Tapi Sean lega, sebab semua emosinya ia luapkan.
Lelaki itu melirik ke samping, sebuah topi berwarna hitam tergeletak di sana. Topi milik Lathia, yang tertinggal. Sean mengambilnya, dan tersenyum kecil. "Besok, akan kukembalikan," gumamnya.
***
"Asya, kamu yakin akan berangkat sekolah? Kamu masih sakit, lho," tanya Alma khawatir. Mereka berdua kini berada di dapur, tentunya khusus pelayan.
Asya tersenyum kecil. "Aku tidak apa-apa, Ma. Jangan khawatir," ujar Asya berusaha menenangkan. Benar, Asya tak memiliki schedule apapun jika tinggal di rumah ini. Sepertinya, Asya lebih suka pergi dan menghabiskan waktu di luar, daripada berdiam diri di rumah ini. Perkataan Sean masih membekas di hatinya, meskipun Asya berulang kali mengingatkan dirinya sendiri agar tak terlalu memikirkan ucapan lelaki menyebalkan yang asal bicara seenaknya seperti Sean.
Asya kembali menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Lagi pula, wajahmu pucat, Sya." Bu Tina ikut menimbrung. Wanita itu sudah berusia sekitar 50 tahun. Ia bekerja di sini untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang kini sedang bersekolah SMA, sama seperti Asya. Anaknya tinggal bersama kakaknya. Kalau saja Asya punya kakak, ia mungkin lebih memilih tinggal bersama kakaknya dari pada di sini.
Tidak! Asya salah. Ia sejujurnya memiliki kakak, kakak laki-laki. Namun Asya sudah lama tak mendengar kabar darinya, jadi Asya tak bisa bertemu dengan kakaknya itu.
"Aku sudah meminum obat. Mungkin tiga hari ke depan aku sembuh total," balas Asya.
"Baiklah, sepertinya aku harus berangkat." Asya memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Selanjutnya, ia menyambut tangan Alma dan menciumnya, dilanjutkan mencium tangan Bu Tina yang saat itu hanya ada mereka di dapur.
"Asya berangkat," pamit gadis itu. Sejurus kemudian, dia keluar dari sana sembari mengikat tali sepatu.
"Aku harus berangkat pagi lagi. Dan ah! Buku PR-ku. Entah kemana buku itu." Asya bergumam frustasi. "Sepertinya aku harus merelakannya dan membuat buku baru." Gadis itu melangkah.
Hari ini, Asya berangkat agak siang. Selain karena ia masih merasa lesu, Asya juga tak ingin kejadian serupa kemarin terjadi padanya. Kejadian saat Crish dan Sean memergokinya. Asya sedang tak minat bertemu dengan Sean, lelaki itu 'kan menyebalkan, membuat Asya muak dan sangat ingin memukulnya. Ya, jika saja Asya berani.
Gadis itu berjalan santai menyusuri jalanan komplek, pohon pohon berukuran sedang nampak menghiasi tepian. Asya tersenyum, udara segar membuat Asya bersemangat untuk hari ini.
"Hey, kau," panggil seseorang.
Asya refleks menghentikan langkahnya. Gadis itu melirik ke belakang dan mendapati seorang gadis berdiri di belakangnya. Asya terbelalak, namun sebisa mungkin gadis itu menetralisir rasa keterkejutannya.
Tadi itu, gadis yang memanggilnya adalah Lathia. Kini, Lathia berdiri dengan rambut terurai sembari menatap Asya dengan tatapan yang sulit ditebak.
"Oh, selamat pagi," sapa Asya berbasa basi. Ia juga tersenyum garing.
Lathia menatap Asya dingin. Ia menatap setiap sudut wajah Asya lamat-lamat. Kemudian tersenyum sinis. "Kamu, keluar dari rumah Alexander. Apa kamu salah satu penghuninya?"
DEG!
***
~Bersambung~