Asya terbelalak. Bagaimana bisa Lathia tahu bahwa ia tinggal di sana?
"Kenapa terkejut? Aku tau kamu masuk dan keluar dari pintu belakang. Apa kamu anak pelayan?" tanya Lathia lagi, tanpa memberi Asya sedikit ruang untuk berpikir. Gadis itu tersenyum sinis.
"Wajahmu memang sangat cantik, Asyara." Lathia memanggil nama asli Asya, karena saat kejadian kemarin ketika Asya tertabrak, Lathia sempat membaca name tag yang ada di seragam gadis itu. "Namun, menjadi anak pelayan tak membuatmu cukup layak menjadi menantu keluarga Alexander," tambah Lathia.
Asya menatapa Lathia dingin. Jadi seperti ini Lathia, tak berbeda jauh dengan Sean yang suka merendahkan orang seperti Asya.
"Dan kamu juga harus tau, Asyara. Hanya gadis sepertiku yang layak bersanding dengan Sean, ataupun Crish. Aku juga sempat melihatmu di ruang pelayan di malam kemarin." Lathia tertawa kecil, meremehkan. "Coba tebak, Sean memacarimu bukan karena murni cinta, 'kan? Sebenarnya kami sudah berpacaran, dan kamu tak lebih dari sekedar selingkuhan yang menjadi pelampiasan Sean selama aku tak ada," lanjut Lathia, terus melontarkan ejekan.
Namun, Asya masih menanggapinya dengan tatapan dingin. Gadis itu lalu mendelik. "Tak ada gunanya aku berdiri di sini. Ya ampun," desis Asya, sejurus kemudian ia berbalik ke belakang dan melanjutkan perjalanannya ke sekolah yang sempat tertunda.
"Asyara! Kau hanya anak pelayan! Jangan harap bisa dicintai dengan tulus oleh Sean! Dia mencintaiku! Dan ikatanmu dan dia itu, palsu!" ujar Lathia kembali, diiringi tawa kecil di akhir. Tawa yang meremehkan.
Asya tak bergeming dengan ocehan Lathia. Gadis itu lebih memilih memasangkan earphone ke telinga, lalu menyalakan musik genre hip hop. Aneh sekali Lathia. Asya tak menyangka gadis itu akan mengejeknya seperti itu.
Padahal, Asya kira Lathia ini lemah lembut. Namun ternyata, jauh dari dugaannya, Lathia akan mengejeknya. Asya merenung, saat sadar bahwa Lathia tengah merendahkan dan mengejek harga dirinya.
Hanya karena ia anak pelayan, apakah Asya tak layak mendapatkan cinta? Walaupun memang benar. Hubungan Sean dan Asya adalah palsu. Mau Lathia salah menebak tentang hubungan mereka pun, semuanya berakhir sama. Palsu, dan Sean tak akan mencintai gadis seperti Asya. Sean juga tak memacarinya. Yang ia dan Sean lakukan itu, hanyalah pura-pura.
Asya menggeleng cepat. Sudahlah. Tiada gunanya ia memikirkan ejekan para orang kaya yang tak memiliki hati itu. Dan percuma juga jika Asya melawan. Asya tak ingin memulai sebuah masalah baru, ia takut Alma akan terkena dampaknya dan Asya tak ingin memperpanjang hal yang tak penting meskipun orang-orang kaya itu meremehkannya.
***
"Asya! Kamu gak apa-apa, 'kan?" Reina memeriksa kondisi gadis itu sembari menangkup wajah Asya, menatap wajah gadis itu dengan miris. "Apa yang terjadi padamu? Kenapa wajahmu luka luka begini?" tanya Reina panik sekaligus khawatir.
Asya melepaskan kedua tangan Reina. Ya ampun, Reina berlebihan sekali. "Aku kecelakaan kemarin, saat mencari buku PR." Asya menunduk sedih. "Bagaimana pelajarannya? Aku belum sempat mengumpulkan tugasku."
"Pak Tendi mengurangi poin untukmu." Reina menatap Asya dengan sedih. "Aku berusaha menjelaskan bahwa kamu pergi untuk mencari buku PR. Bahkan aku menunjukkan tas-mu yang tertinggal. Tapi, tetap saja. Tak bisa bernegosiasi. Mungkin, jika kamu menjelaskannya pada Pak Tendi nanti dan memperlihatkan keadaanmu, mungkin poinmu akan dikembalikan," saran Reina.
Reina baik sekali. Asya jadi senang memiliki sahabat sebaik itu. "Terima kasih. Nanti aku jelaskan," ujar Asya tersenyum.
"Eh, Sya! Kamu tau? Ada pengumuman terbaru di papan mading. Kelas kita akan melaksanakan perlombaan yang diikuti beberapa sekolah!" seru Reina mengalihkan topik.
"Benarkah?!" Asya cukup terkejut, sekaligus senang.
Reina mengangguk antusias. "Benar. Sekolah ini akan segera merayakan anniversary, dan supaya perayaannya lebih meriah, lombanya diikuti banyak sekolah. Dan final day, para alumni akan hadir," seru Reina semangat.
Asya tersenyum. "Sepertinya akan seru. Aku ingin mengikuti banyak perlombaan," ujar Asya. "Ah, aku harus ikut lomba apa?" Asya menatap Reina penuh harap.
Reina memutar bola matanya kesal. "Ikut kontes kecantikan sekolah! Kalau kamu jadi juaranya kamu bisa jadi ikon sekolah ini," saran Reina. "Kamu juga pintar, bisa ikut lomba pidato. Cerdas cermat, cerpen, hm ... sepertinya kamu bisa mengikuti banyak lomba," Reina masih berpikir.
"Sebaiknya aku ikuti semua perlombaannya," ujar Asya terkikik geli, diikuti Reina yang juga tertawa gemas.
"Aku tak sabar ingin perlombaan segera dilaksanakan. Aku ingin melihat seseorang," gumam Reina tiba-tiba.
"Eh, seseorang? Kamu menyukai seseorang?" tanya Asya menatap Reina serius. "Siapa?"
Reina menerawang. "Aku hanya tau namanya dari media sosial, dari sekolah elit. Aku menganguminya, karena sangat keren! Ah, dia juga pintar!" Reina nampak berbunga-bunga saat membayarkan seseorang yang ia kagumi.
Asya memicingkan mata. "Boleh aku tau namanya?" tanya Asya, entah mengapa Asya bisa penasaran begini.
"Namanya ... Leoniel," ujar Reina ragu. "Ah, aku tak tahu nama panjangnya. Yang jelas, nama depannya adalah Leoniel. Itu nama akun media sosialnya. Dia cukup populer untuk anak sekolahan kota ini," lanjut Reina.
"Leoniel ...," gumam Asya. "Jika nanti sewaktu lomba orang bernama Leoniel itu datang, kenalkan padaku, oke?"
Reina membalasnya dengan anggukan cepat. Keduanya pun kembali tertawa. Asya benar-benar senang memiliki sahabat sebaik Reina.
***
Bel tanda pulang berbunyi cukup nyaring, membuat para murid berseru senang, karena pelajaran yang sudah membuat pikiran mereka lelah akhirnya berakhir untuk hari ini. Asya dan Reina berjalan di tengah koridor, dengan tas yang sudah melekat di bahu mereka sembari mengobrolkan hal sekecil apapun yang membuat mereka tertawa.
Setelah mereka berdua keluar dari gerbang bersamaan dengan para murid lain, Asya terpisan dengan Reina. Sebab gadis itu berlainan arah pulang dengan Asya.
"Good bye, Sya. Sampai jumpa besok!" seru Reina melambai. Asya membalasnya dengan senyuman kecil.
"Bye!" Gadis itu melambai.
Sesaat setelah kepergian Reina, Asya lalu berjalan menyusuri trotoar untuk pulang. Ia selalu ingin berjalan kaki, selain menyehatkan Asya juga bisa mengulur waktu untuk tak pulang ke rumah lebih awal. Rumah Alexander lebih tepatnya.
Gadis itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Pikirannya tertuju pada sesuatu. Asya mengingat kembali saat ia menghirup aroma mint kuat yang menyegarkan sekaligus membuatnya tenang. Aroma yang ia hirup dari seseorang. Gadis itu memegang dadanya. Cukup berdegup kencang.
"Aku menyukai aroma itu," gumam Asya.
Namun, di saat Asya memikirkan hal tersebut, pandangannya tiba-tiba terasa berputar. Asya merasa energi dan tenaganya menguap dari tubuh sekaligus, hal itu membuat Asya langsung merasa dan lesu seketika. Gadis itu hendak ambruk, kepala yang berdenyut tak bisa Asya tahan lagi.
Namun, sesaat sebelum Asya mendarat di atas trotoar, seseorang terlebih dahulu menahan punggung Asya, memegang kedua bahu Asya dari belakang. "Kamu tak apa-apa?" tanya seseorang itu.
***
~Bersambung~